25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pemerintah Lakukan Survei Saat Musim Panen

Data Pengangguran dan Kemiskinan Dimanipulasi

Di Indonesia, seseorang bisa disebut bekerja atau tidak menganggur bila sudah bekerja satu jam per minggu. Sementara di seluruh dunia, seseorang bisa dinilai tidak menganggur bila sudah bekerja minimal 15 jam per minggu.
“Parahnya, survei yang dilakukan pemerintah pada saat musim panen, sehingga petani yang menganggur berbulan-bulan dinilai bukan pengangguran,”  kata dosen FISIP UI, Syamsul Hadi, dalam diskusi di Doekoen Coffee, Pancoran, Jakarta, Minggu (27/3).

Hal lain, kata Syamsul Hadi, pemerintah mengklaim telah mampu mengurangi jumlah pengangguran. Misalnya pada Februari 2007, pemerintah mengklaim jumlah tenaga kerja sekitar 97,6 orang. Sementara pada Desember 2008, jumlah tenaga kerja mencapai 102 juta. Artinya, pemerintah mengklaim telah menciptakan lapangan kerja bagi 4,4 juta orang.

“Namun pemerintah memanipulasi bahwa faktanya pekerja di sektor formal hanya 28 persen dan pekerja informal sebanyak 72 persen. Jadi 72 persen bukan karena kebijakan pemerintah melainkan karena usaha sendiri,” demikian Syamsul Hadi.

Selain itu, data resmi pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebutkan, jumlah angka kemiskinan terus menurun setiap tahun. Tepatnya, rata-rata tiap tahun menurun satu persen.

Pada 2006, jumlah kemiskinan mencapai 17,36 persen. Namun pada 2007, menurun menjadi 16 persen. Kemudian di tahun 2008, menurun kembali menjadi 15,45 persen. Sementara pada tahun 2009 jumlah kemiskinan mencapai 14,15 persen dan pada tahun 2010 jumlah kemiskinan hanya 13,33 persen.
“Angka ini penuh manipulasi, karena ada kesenjangan dengan standar angka kemiskinan,” kata Syamsul Hadi lagi.
Menurut Syamsul, standar angka kemiskinan yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2009 adalah pendapatan Rp226.000 per bulan. Sementara pada 2010 menjadi Rp211.000 per bulan.
“Sekarang orang yang berpenghasilan Rp250.000 per bulan dinilai tidak miskin. Padahal uang segitu cukup buat apa?” pungkasnya. (wid/rm/jpnn)

Dua Dosa Rezim SBY

Ada dua manipulasi terbesar yang dilakukan rezim Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono selama menjalankan pemerintahannya. Yaitu, manipulasi keuangan negara untuk mengisi kantong kekuasaan dan manipulasi indikator kesejahteraan dalam rangka pencitraan politik.

Menurut Direktur Institute for Global Justice, Salamuddin Daeng, bentuk manipulasi keuangan negara dilakukan dengan memperbesar keuangan pemerintah melalui cara mencetak surat utang.

Selama pemerintahannya, SBY sudah menjual surat utang hingga mencapai Rp488,77 triliun. Total peningkatan surat berharga negara selama 6 tahun terakhir mencapai 156,40 persen. Dan Gubernur BI Darmin Nasution memastikan cadangan devisa hingga awal Maret 2011 telah menembus angka 100 miliar dolar AS.
“Kebijakan pemerintah SBY menjual surat berharga negara, yang menjadi sebab mengapa devisa negara mengalami peningkatan secara tajam. Dari total devisa negara pada Januari 2011 sebesar 89.032 miliar dolar AS, sebanyak 92,7 persen bersumber dari surat utang,” kata Salamudin Daeng, dalam diskusi di Doekoen coffee, Pancoran, Jakarta, Minggu (27/3).

Menurut Salamudin, surat utang tersebut digunakan SBY untuk penyelenggaraan kekuasaan negara melalui APBN dan membiayai impor yang marak dalam enam tahun terakhir ini, termasuk impor pangan.
“Dengan demikian, pemerintahan ini sama sekali tidak menghidupkan negara dari produktivitas. Tetapi dari menjual aset-aset negara melalui surat utang,” demikian Salamuddin. (zul/rm/jpnn)

Data Pengangguran dan Kemiskinan Dimanipulasi

Di Indonesia, seseorang bisa disebut bekerja atau tidak menganggur bila sudah bekerja satu jam per minggu. Sementara di seluruh dunia, seseorang bisa dinilai tidak menganggur bila sudah bekerja minimal 15 jam per minggu.
“Parahnya, survei yang dilakukan pemerintah pada saat musim panen, sehingga petani yang menganggur berbulan-bulan dinilai bukan pengangguran,”  kata dosen FISIP UI, Syamsul Hadi, dalam diskusi di Doekoen Coffee, Pancoran, Jakarta, Minggu (27/3).

Hal lain, kata Syamsul Hadi, pemerintah mengklaim telah mampu mengurangi jumlah pengangguran. Misalnya pada Februari 2007, pemerintah mengklaim jumlah tenaga kerja sekitar 97,6 orang. Sementara pada Desember 2008, jumlah tenaga kerja mencapai 102 juta. Artinya, pemerintah mengklaim telah menciptakan lapangan kerja bagi 4,4 juta orang.

“Namun pemerintah memanipulasi bahwa faktanya pekerja di sektor formal hanya 28 persen dan pekerja informal sebanyak 72 persen. Jadi 72 persen bukan karena kebijakan pemerintah melainkan karena usaha sendiri,” demikian Syamsul Hadi.

Selain itu, data resmi pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebutkan, jumlah angka kemiskinan terus menurun setiap tahun. Tepatnya, rata-rata tiap tahun menurun satu persen.

Pada 2006, jumlah kemiskinan mencapai 17,36 persen. Namun pada 2007, menurun menjadi 16 persen. Kemudian di tahun 2008, menurun kembali menjadi 15,45 persen. Sementara pada tahun 2009 jumlah kemiskinan mencapai 14,15 persen dan pada tahun 2010 jumlah kemiskinan hanya 13,33 persen.
“Angka ini penuh manipulasi, karena ada kesenjangan dengan standar angka kemiskinan,” kata Syamsul Hadi lagi.
Menurut Syamsul, standar angka kemiskinan yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2009 adalah pendapatan Rp226.000 per bulan. Sementara pada 2010 menjadi Rp211.000 per bulan.
“Sekarang orang yang berpenghasilan Rp250.000 per bulan dinilai tidak miskin. Padahal uang segitu cukup buat apa?” pungkasnya. (wid/rm/jpnn)

Dua Dosa Rezim SBY

Ada dua manipulasi terbesar yang dilakukan rezim Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono selama menjalankan pemerintahannya. Yaitu, manipulasi keuangan negara untuk mengisi kantong kekuasaan dan manipulasi indikator kesejahteraan dalam rangka pencitraan politik.

Menurut Direktur Institute for Global Justice, Salamuddin Daeng, bentuk manipulasi keuangan negara dilakukan dengan memperbesar keuangan pemerintah melalui cara mencetak surat utang.

Selama pemerintahannya, SBY sudah menjual surat utang hingga mencapai Rp488,77 triliun. Total peningkatan surat berharga negara selama 6 tahun terakhir mencapai 156,40 persen. Dan Gubernur BI Darmin Nasution memastikan cadangan devisa hingga awal Maret 2011 telah menembus angka 100 miliar dolar AS.
“Kebijakan pemerintah SBY menjual surat berharga negara, yang menjadi sebab mengapa devisa negara mengalami peningkatan secara tajam. Dari total devisa negara pada Januari 2011 sebesar 89.032 miliar dolar AS, sebanyak 92,7 persen bersumber dari surat utang,” kata Salamudin Daeng, dalam diskusi di Doekoen coffee, Pancoran, Jakarta, Minggu (27/3).

Menurut Salamudin, surat utang tersebut digunakan SBY untuk penyelenggaraan kekuasaan negara melalui APBN dan membiayai impor yang marak dalam enam tahun terakhir ini, termasuk impor pangan.
“Dengan demikian, pemerintahan ini sama sekali tidak menghidupkan negara dari produktivitas. Tetapi dari menjual aset-aset negara melalui surat utang,” demikian Salamuddin. (zul/rm/jpnn)

Artikel Terkait

Gatot Ligat Permulus Jalan Sumut

Gatot-Sutias Saling Setia

Erry Nuradi Minta PNS Profesional

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/