29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Separatisme di Negeri Rawan Konflik

Indonesia kembali bergejolak. Negeri kita bak karang yang diterjang ombak terus-terusan. Kita lihat saja apakah karang itu mampu bertahan atau justru terkikis oleh kerasnya badai lautan. Di tengah hangat-hangatnya kisruh politik di Ibu Kota, di seberang timur Papua terjadi serangan oleh kelompok separatis yang menewaskan 8 anggota TNI.

Oleh:  Muhammad Ali Murtadlo

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menpolhukam), Djoko Suyanto menduga kuat, Penembakan yang terjadi pada Kamis (21/02) di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, itu merupakan penyerangan yang dilakukan kelompok Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) pimpinan Goliath Tabuni. Sementara penembakan yang terjadi di Distrik Sinak diduga dilakukan kelompok bersenjata pimpinan Murib.

Akhir-akhir ini memang banyak sekali kasus konflik yang mengancam integritas bangsa Indonesia, baik yang bernuasa politik, sosial, ekonomi, atau bahkan agama. Konflik tambang batu-bara di Papua, kekerasan agama di Sampang, konflik lahan di Lampung, konflik tambang emas di Bima, dan terakhir penyerangan oleh kelompok separatis di Papua ini.

Kekerasan dengan berbagai modus ternyata masih saja marak terjadi. Selama delapan tahun belakang ini, kasus kekerasan diskriminasi meningkat menjadi 1.483 kasus. Direktur Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar, mengatakan, berdasarkan catatan yayasan yang bergerak di bidang keberagaman itu, setidaknya ada 915 kasus kekerasan diskriminasi yang terjadi pascareformasi tahun 1998-2004. Dari jumlah itu, kekerasan diskriminasi per tahun mencapai 150 kasus.

Kasus penembakan di Papua ini bukan hal yang baru. Pada akhir tahun 2012, penembakan juga terjadi terhadap 3 Polisi di Mapolsek Pirime, Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Bahkan, pada akhir Mei 2012, seorang turis warga negara Jerman, Dietmar Pieper, menjadi korban penembakan orang tak dikenal di Pantai Base G, Jayapura, Papua. Sebelumnya juga sudah sering terjadi konflik di daerah ini. Seperti konflik tambang, konflik antarsuku, sampai aksi Organisasi Papua Merdeka (OPM) pernah terjadi. Ini menandakan bahwa keberagaman di negeri ini belum sepenuhnya aman. TNI yang notabene adalah alat pertahanan malah menjadi korban.

Separatisme

Penembakan yang terjadi di Papua ini diindikasikan adalah gerakan separatis kelompok yang dulu menamakan diri sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM ditengarai sering melakukan aksi kekerasan dan melakukan penyerangan bersenjata terhadap warga sipil termasuk TNI dan Polri di berbagai wilayah Papua untuk menciptakan ketidakstabilan.

Gerakan separatis biasanya berbasis nasionalisme atau kekuatan religius. Separatisme juga bisa terjadi karena perasaan kurangnya kekuatan politis dan ekonomi suatu kelompok. Sebagai contoh, di daerah Basque di Spanyol, yang belum merdeka selama berabad-abad lamanya, mereka mengembangkan kelompok separatis yang kasar sebagai reaksi terhadap aksi penindasan oleh rezim Francisco Franco.

Di Indonesia gerakan ingin memisahkan diri dari NKRI sudah sering terjadi. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memiliki tujuan supaya Aceh merdeka dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah salahsatu contohnya. Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa.

Di Maluku Selatan juga terjadi gerakan separatis. Pada 25 April 1950, telah dideklarasikan Republik Maluku Selatan (RMS) dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950.

Problem Kesejahteraan

Kita sebagai penduduk Indonesia tentu miris melihat problematika bangsa yang semakin akut. Belum selesai satu masalah, timbul masalah lain yang justru lebih membahayakan. Bahkan menjadi tumpukan masalah yang berserakan dan tak kunjung terselesaikan.

Menjadi sangat penting bagi kita untuk merefleksikan diri atas beragam bentuk persoalan konflik yang bisa mengancam integritas bangsa Indonesia. Fakta di atas jelas mengancam keutuhan wilayah NKRI. Jangan sampai, peristiwa Timur Leste yang memisahkan diri dari Indonesia terulang kembali.
Peristiwa pemisahan Timor Leste itu sungguh menjadi catatan kelam dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Ini pertanda bahwa kita masih belum bisa merangkul semua elemen bangsa dari beragam suku, ras, pulau, daerah, agama, bahasa, dan budaya yang berbeda. Pemisahan Timur Leste tidak akan terjadi jika kesejahteraan bisa merata. Karena salah satu penyebab pemisahan Timur Lesta adalah kurangnya perhatian pemerintah atas kesejahteraan.

Pemerataan pembangunan dan sebagainya hanya terpusat di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan beberapa daerah lain, sedangkan di Timur Leste sering terabaikan. Maka pemerataan pembangunan dan kesejahteraan serta perangkulan atas berbagai elemen bangsa menjadi bagian penting dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar kesatuan dan keutuhan NKRI tetap terjaga.

Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kembali mencuat ini bisa jadi adalah kekesalan mereka karena tidak merasakan kesejahteraan dan kenyamanan hidup menjadi bagian NKRI. Selama ini pembangunan di Papua terkesan lambat dibanding dengan provinsi-provinsi lain di tanah air. Sehingga tidak perlu heran bila rakyat Papua menginginkan dirinya bebas dari kungkungan bangsa Indonesia. Karena tidak ada bedanya, Papua yang menjadi bagian NKRI dengan Papua yang dijajah Belanda. Sungguh bila Papua memisahkan diri dari NKRI merupakan kecelakaan tragis di era reformasi. Jika dulu Papua direbut mati-matian oleh para pahlawan dalam operasi Trikora, hari ini karena sikap tidak adil pemerintah mereka akan melepaskan diri dari NKRI. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu merangkul mereka dengan bersikap adil terhadap pembangunan dan penyejahteraan tanpa melihat perbedaan suku, etnis, ras, agama, pulau, daerah, bahasa, maupun budaya.

Peristiwa ingin memisahkan diri dan membentuk negara sendiri ini akan terjadi tidak saja di Papua, di beberapa daerah lain pun akan terjadi gerakan pemisahan diri dari NKRI, bila pemerintah tidak bisa bersikap adil dalam pemerataan kesejahteraan terhadap semua daerah yang ada di seluruh tanah air.(*)

Penulis adalah Aktivis Laskar Ambisius, serta Pustakawan di Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya

Indonesia kembali bergejolak. Negeri kita bak karang yang diterjang ombak terus-terusan. Kita lihat saja apakah karang itu mampu bertahan atau justru terkikis oleh kerasnya badai lautan. Di tengah hangat-hangatnya kisruh politik di Ibu Kota, di seberang timur Papua terjadi serangan oleh kelompok separatis yang menewaskan 8 anggota TNI.

Oleh:  Muhammad Ali Murtadlo

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menpolhukam), Djoko Suyanto menduga kuat, Penembakan yang terjadi pada Kamis (21/02) di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, itu merupakan penyerangan yang dilakukan kelompok Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) pimpinan Goliath Tabuni. Sementara penembakan yang terjadi di Distrik Sinak diduga dilakukan kelompok bersenjata pimpinan Murib.

Akhir-akhir ini memang banyak sekali kasus konflik yang mengancam integritas bangsa Indonesia, baik yang bernuasa politik, sosial, ekonomi, atau bahkan agama. Konflik tambang batu-bara di Papua, kekerasan agama di Sampang, konflik lahan di Lampung, konflik tambang emas di Bima, dan terakhir penyerangan oleh kelompok separatis di Papua ini.

Kekerasan dengan berbagai modus ternyata masih saja marak terjadi. Selama delapan tahun belakang ini, kasus kekerasan diskriminasi meningkat menjadi 1.483 kasus. Direktur Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar, mengatakan, berdasarkan catatan yayasan yang bergerak di bidang keberagaman itu, setidaknya ada 915 kasus kekerasan diskriminasi yang terjadi pascareformasi tahun 1998-2004. Dari jumlah itu, kekerasan diskriminasi per tahun mencapai 150 kasus.

Kasus penembakan di Papua ini bukan hal yang baru. Pada akhir tahun 2012, penembakan juga terjadi terhadap 3 Polisi di Mapolsek Pirime, Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Bahkan, pada akhir Mei 2012, seorang turis warga negara Jerman, Dietmar Pieper, menjadi korban penembakan orang tak dikenal di Pantai Base G, Jayapura, Papua. Sebelumnya juga sudah sering terjadi konflik di daerah ini. Seperti konflik tambang, konflik antarsuku, sampai aksi Organisasi Papua Merdeka (OPM) pernah terjadi. Ini menandakan bahwa keberagaman di negeri ini belum sepenuhnya aman. TNI yang notabene adalah alat pertahanan malah menjadi korban.

Separatisme

Penembakan yang terjadi di Papua ini diindikasikan adalah gerakan separatis kelompok yang dulu menamakan diri sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM ditengarai sering melakukan aksi kekerasan dan melakukan penyerangan bersenjata terhadap warga sipil termasuk TNI dan Polri di berbagai wilayah Papua untuk menciptakan ketidakstabilan.

Gerakan separatis biasanya berbasis nasionalisme atau kekuatan religius. Separatisme juga bisa terjadi karena perasaan kurangnya kekuatan politis dan ekonomi suatu kelompok. Sebagai contoh, di daerah Basque di Spanyol, yang belum merdeka selama berabad-abad lamanya, mereka mengembangkan kelompok separatis yang kasar sebagai reaksi terhadap aksi penindasan oleh rezim Francisco Franco.

Di Indonesia gerakan ingin memisahkan diri dari NKRI sudah sering terjadi. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memiliki tujuan supaya Aceh merdeka dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah salahsatu contohnya. Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa.

Di Maluku Selatan juga terjadi gerakan separatis. Pada 25 April 1950, telah dideklarasikan Republik Maluku Selatan (RMS) dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950.

Problem Kesejahteraan

Kita sebagai penduduk Indonesia tentu miris melihat problematika bangsa yang semakin akut. Belum selesai satu masalah, timbul masalah lain yang justru lebih membahayakan. Bahkan menjadi tumpukan masalah yang berserakan dan tak kunjung terselesaikan.

Menjadi sangat penting bagi kita untuk merefleksikan diri atas beragam bentuk persoalan konflik yang bisa mengancam integritas bangsa Indonesia. Fakta di atas jelas mengancam keutuhan wilayah NKRI. Jangan sampai, peristiwa Timur Leste yang memisahkan diri dari Indonesia terulang kembali.
Peristiwa pemisahan Timor Leste itu sungguh menjadi catatan kelam dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Ini pertanda bahwa kita masih belum bisa merangkul semua elemen bangsa dari beragam suku, ras, pulau, daerah, agama, bahasa, dan budaya yang berbeda. Pemisahan Timur Leste tidak akan terjadi jika kesejahteraan bisa merata. Karena salah satu penyebab pemisahan Timur Lesta adalah kurangnya perhatian pemerintah atas kesejahteraan.

Pemerataan pembangunan dan sebagainya hanya terpusat di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan beberapa daerah lain, sedangkan di Timur Leste sering terabaikan. Maka pemerataan pembangunan dan kesejahteraan serta perangkulan atas berbagai elemen bangsa menjadi bagian penting dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar kesatuan dan keutuhan NKRI tetap terjaga.

Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kembali mencuat ini bisa jadi adalah kekesalan mereka karena tidak merasakan kesejahteraan dan kenyamanan hidup menjadi bagian NKRI. Selama ini pembangunan di Papua terkesan lambat dibanding dengan provinsi-provinsi lain di tanah air. Sehingga tidak perlu heran bila rakyat Papua menginginkan dirinya bebas dari kungkungan bangsa Indonesia. Karena tidak ada bedanya, Papua yang menjadi bagian NKRI dengan Papua yang dijajah Belanda. Sungguh bila Papua memisahkan diri dari NKRI merupakan kecelakaan tragis di era reformasi. Jika dulu Papua direbut mati-matian oleh para pahlawan dalam operasi Trikora, hari ini karena sikap tidak adil pemerintah mereka akan melepaskan diri dari NKRI. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu merangkul mereka dengan bersikap adil terhadap pembangunan dan penyejahteraan tanpa melihat perbedaan suku, etnis, ras, agama, pulau, daerah, bahasa, maupun budaya.

Peristiwa ingin memisahkan diri dan membentuk negara sendiri ini akan terjadi tidak saja di Papua, di beberapa daerah lain pun akan terjadi gerakan pemisahan diri dari NKRI, bila pemerintah tidak bisa bersikap adil dalam pemerataan kesejahteraan terhadap semua daerah yang ada di seluruh tanah air.(*)

Penulis adalah Aktivis Laskar Ambisius, serta Pustakawan di Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/