32 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Korupsi jadi Kompetisi

Saat ini, korupsi seakan menjadi ajang kompetisi bagi para pejabat. Mengapa demikian? Karena semakin besar korupsi yang dilakukan para pejabat, maka semakin dianggap pula ia “hebat”. Ironisnya, dalam hal ini rakyat  yang akan terkena getahnya. Rakyat akan semakin dirugikan dan bahkan akan tertiadakan.

Oleh: Ibnu Anshori

Berbicara tentang korupsi, tentu tidak akan menemukan ujung pangkalnya. Sebab, maraknya kasus korupsi yang semakin lama semakin meningkat, seakan menjadi budaya di negara-negara berkembang, terutama negara Indonesia yang menempati peringkat kedua di Dunia dalam hal korupsi.
Dalam hal ini, korupsi dilakukan oleh politikus maupun pegawai negeri yang berorientasi untuk memuaskan dirinya semata, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang telah disandangkan dan dipercayakan kepada mereka.

Walaupun kasus korupsi masih tersentuh hangat ditelinga publik, akan tetapi masyarakat tidak heran lagi dengan adanya kasus tersebut. Sebab, kasus ini sudah ada sejak masa orde baru, yaitu sejak tahun 1950-an, yang pada saat itu Indonesia mengalami degradasi ekonomi, yang konsekuensinya adalah Indonesia mengalami krisis multidimensi.

Bahkan, saat itu korupsi bisa dikatakan sebagai elemen dari kehidupan, yang menjadi suatu sistem yang menyatu padu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Ironisnya, selain menjadi ajang kompetisi, korupsi dijadikan sebuah tradisi yang sampai saat ini masih dijalankan oleh birokrat negara yang berpandangan hidup materialistis dan menganut sistem kapitalis.

Dengan demikian, semakin jelas, bahwa penyebab terjadinya korupsi khususnya bagi kaum Elit Indonesia adalah karena gerak reflek yang dihasilkan dari pandangan hidup yang bersifat materi dan bersistem kapitalis. Akhirnya,  lambat laun pada diri pelaku (Koruptor) akan timbul rasa ketidak puasan terhadap apa yang telah didapatkan dari pemerintah.

Tanpa berfikir panjang, bagi mereka yang haus akan kehidupan duniawi, mereka dengan mudah merealisasikan praktik haram tersebut, dengan tanpa memikirkan keadaan negaranya yang tengah terlilit hutang dengan negara lain, karena akibat degradasi ekonomi yang semakin menjalar hingga pada tulang rusuk negara.

Refleksi Sosial

Meratanya kasus korupsi dikalangan pejabat yang sampai saat ini belum terentaskan atau belum menemukan titik temu bagaimana cara untuk menyelesaikannya, seakan Indonesia menjadi surga dunia bagi para koruptor. Mengapa demikian ? tentunya karena para pejabat bejat negara masih bisa bernafas lega dan berkeliaran bebas menikmati hasil korupsi yang didapatkannya, tanpa ada hukuman yang setimpal dan tindakan lebih lanjut dari pemerintah.

Dalam konteks  ini menyebabkan masyarakat kecewa dengan pemerintahan sekarang ini. Dan akhirnya merespons dengan sikap acuh tak acuh terhadap pemerintah, karena mereka berasumsi bahwa pemerintah tidak mampu  memberantas praktik haram yang dilakukan oleh para pejabatnya sendiri.
Demikian pula respon para Mahasiswa, mereka mengimplementasikan aspirasinya dengan aksi demonstrasi. Sebab, sangat mustahil bagi pemerintah akan mendengarkan jeritan hati rakyat akibat praktik haram yang dilakukan para pejabat nakal dalam negeri, kecuali melalui aksi. Oleh karena itu, Mahasiswa pada umumnya melakukan aksi demonstrasi,  yang semuanya itu tidak lain dan tidak bukan agar pemerintah mau mendengarkan aspirasi mereka, tanpa mengenal letih dan lelah mereka menuntut keadilan dan kebijkan pemerintah, demi kesejehteraan dan kemaslahatan bersama.

Upaya Pemberatasan

Tradisi korupsi yang dilakukan oleh birokrat negara, menyebabkan bertambah sulitnya pemerintah dalam memberantas masalah yang saat ini semakin menyebarkan virus yang semakin hari semakin membudidaya dikalangan kaum elit. Hal ini dikarenakan daya tarik korupsi telah mewabah dikalangan masyarakat, khususnya bagi para bejabat yang haus akan materi.

Tentunya dalam memberantas praktik haram semacam ini membutuhkan keprihatinan semua orang. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Jeremy Pope dalam bukunya Confronting Coruption: The Element of National Integrity System, bahwasanya “korupsi merupakan permasalahan global yang harus menjadi keprihatinan semua orang”.

Memang benar, korupsi merupakan masalah yang membutuhkan keprihatinan bersama. Sebab, sangat mustahil rasanya untuk memberantas masalah yang telah mendarah daging di negara indonesia ini, tanpa adanya solidaritas yang tinggi dan persatuan yang konverensif dari seluruh elemen masyarakat untuk memusnahkanya.

Namun, dalam upaya pemberantasannya tidak cukup hanya mengandalkan peran seluruh elemen masyarakat saja, akan tetapi diperlukan sikap tegas para aparat yang bertugas di dalamnya. Tanpa mengenal dan memandang siapa pelakunya, meskipun koruptor tersebut mempunyai kuasa diatasnya, seperti Presiden maupun Menteri yang sejajar dengannya.

Sejatinya, upaya pemberantasan korupsi sudah lama dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan cara membentuk  institusi-institusi atau badan hukum yang memang berperan dalam mengatasi kasus korupsi, seperti KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) yang terbentuk di tahun 2003, Operasi Militer tahun 1957,  Tim Pemberantasan Korupsi tahun 1967, Operasi Tertib pada tahun 1977, Tim Optimalisasi Penerimaan Negara tahun 1987,  Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan dibentuknya Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) tahun 2005.

Namun, semua itu tidak cukup untuk menyapu bersih kasus korupsi.  Tentunya dalam hal ini diperlukan intervensi dan tindakan intensif yang jelas dari seluruh kalangan masyarakat, khususnya komisi pemberantasan korupsi (KPK) untuk mengungkap dan menyingkap tabir praktik-praktik haram tersebut. Sebab dengan begitu, perlahan tapi pasti kasus korupsi akan teratasi. Dan akhirnya, negara akan bersih dari praktik-praktik haram yang selama ini telah merugikan banyak kalangan, terutama masyarakat. Wallahu a’lam bil ashwab

Mahasiswa IAIN Walisongo
Semarang dan Penerima Beasiswa
Unggulan di Monash Institute

Saat ini, korupsi seakan menjadi ajang kompetisi bagi para pejabat. Mengapa demikian? Karena semakin besar korupsi yang dilakukan para pejabat, maka semakin dianggap pula ia “hebat”. Ironisnya, dalam hal ini rakyat  yang akan terkena getahnya. Rakyat akan semakin dirugikan dan bahkan akan tertiadakan.

Oleh: Ibnu Anshori

Berbicara tentang korupsi, tentu tidak akan menemukan ujung pangkalnya. Sebab, maraknya kasus korupsi yang semakin lama semakin meningkat, seakan menjadi budaya di negara-negara berkembang, terutama negara Indonesia yang menempati peringkat kedua di Dunia dalam hal korupsi.
Dalam hal ini, korupsi dilakukan oleh politikus maupun pegawai negeri yang berorientasi untuk memuaskan dirinya semata, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang telah disandangkan dan dipercayakan kepada mereka.

Walaupun kasus korupsi masih tersentuh hangat ditelinga publik, akan tetapi masyarakat tidak heran lagi dengan adanya kasus tersebut. Sebab, kasus ini sudah ada sejak masa orde baru, yaitu sejak tahun 1950-an, yang pada saat itu Indonesia mengalami degradasi ekonomi, yang konsekuensinya adalah Indonesia mengalami krisis multidimensi.

Bahkan, saat itu korupsi bisa dikatakan sebagai elemen dari kehidupan, yang menjadi suatu sistem yang menyatu padu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Ironisnya, selain menjadi ajang kompetisi, korupsi dijadikan sebuah tradisi yang sampai saat ini masih dijalankan oleh birokrat negara yang berpandangan hidup materialistis dan menganut sistem kapitalis.

Dengan demikian, semakin jelas, bahwa penyebab terjadinya korupsi khususnya bagi kaum Elit Indonesia adalah karena gerak reflek yang dihasilkan dari pandangan hidup yang bersifat materi dan bersistem kapitalis. Akhirnya,  lambat laun pada diri pelaku (Koruptor) akan timbul rasa ketidak puasan terhadap apa yang telah didapatkan dari pemerintah.

Tanpa berfikir panjang, bagi mereka yang haus akan kehidupan duniawi, mereka dengan mudah merealisasikan praktik haram tersebut, dengan tanpa memikirkan keadaan negaranya yang tengah terlilit hutang dengan negara lain, karena akibat degradasi ekonomi yang semakin menjalar hingga pada tulang rusuk negara.

Refleksi Sosial

Meratanya kasus korupsi dikalangan pejabat yang sampai saat ini belum terentaskan atau belum menemukan titik temu bagaimana cara untuk menyelesaikannya, seakan Indonesia menjadi surga dunia bagi para koruptor. Mengapa demikian ? tentunya karena para pejabat bejat negara masih bisa bernafas lega dan berkeliaran bebas menikmati hasil korupsi yang didapatkannya, tanpa ada hukuman yang setimpal dan tindakan lebih lanjut dari pemerintah.

Dalam konteks  ini menyebabkan masyarakat kecewa dengan pemerintahan sekarang ini. Dan akhirnya merespons dengan sikap acuh tak acuh terhadap pemerintah, karena mereka berasumsi bahwa pemerintah tidak mampu  memberantas praktik haram yang dilakukan oleh para pejabatnya sendiri.
Demikian pula respon para Mahasiswa, mereka mengimplementasikan aspirasinya dengan aksi demonstrasi. Sebab, sangat mustahil bagi pemerintah akan mendengarkan jeritan hati rakyat akibat praktik haram yang dilakukan para pejabat nakal dalam negeri, kecuali melalui aksi. Oleh karena itu, Mahasiswa pada umumnya melakukan aksi demonstrasi,  yang semuanya itu tidak lain dan tidak bukan agar pemerintah mau mendengarkan aspirasi mereka, tanpa mengenal letih dan lelah mereka menuntut keadilan dan kebijkan pemerintah, demi kesejehteraan dan kemaslahatan bersama.

Upaya Pemberatasan

Tradisi korupsi yang dilakukan oleh birokrat negara, menyebabkan bertambah sulitnya pemerintah dalam memberantas masalah yang saat ini semakin menyebarkan virus yang semakin hari semakin membudidaya dikalangan kaum elit. Hal ini dikarenakan daya tarik korupsi telah mewabah dikalangan masyarakat, khususnya bagi para bejabat yang haus akan materi.

Tentunya dalam memberantas praktik haram semacam ini membutuhkan keprihatinan semua orang. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Jeremy Pope dalam bukunya Confronting Coruption: The Element of National Integrity System, bahwasanya “korupsi merupakan permasalahan global yang harus menjadi keprihatinan semua orang”.

Memang benar, korupsi merupakan masalah yang membutuhkan keprihatinan bersama. Sebab, sangat mustahil rasanya untuk memberantas masalah yang telah mendarah daging di negara indonesia ini, tanpa adanya solidaritas yang tinggi dan persatuan yang konverensif dari seluruh elemen masyarakat untuk memusnahkanya.

Namun, dalam upaya pemberantasannya tidak cukup hanya mengandalkan peran seluruh elemen masyarakat saja, akan tetapi diperlukan sikap tegas para aparat yang bertugas di dalamnya. Tanpa mengenal dan memandang siapa pelakunya, meskipun koruptor tersebut mempunyai kuasa diatasnya, seperti Presiden maupun Menteri yang sejajar dengannya.

Sejatinya, upaya pemberantasan korupsi sudah lama dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan cara membentuk  institusi-institusi atau badan hukum yang memang berperan dalam mengatasi kasus korupsi, seperti KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) yang terbentuk di tahun 2003, Operasi Militer tahun 1957,  Tim Pemberantasan Korupsi tahun 1967, Operasi Tertib pada tahun 1977, Tim Optimalisasi Penerimaan Negara tahun 1987,  Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan dibentuknya Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) tahun 2005.

Namun, semua itu tidak cukup untuk menyapu bersih kasus korupsi.  Tentunya dalam hal ini diperlukan intervensi dan tindakan intensif yang jelas dari seluruh kalangan masyarakat, khususnya komisi pemberantasan korupsi (KPK) untuk mengungkap dan menyingkap tabir praktik-praktik haram tersebut. Sebab dengan begitu, perlahan tapi pasti kasus korupsi akan teratasi. Dan akhirnya, negara akan bersih dari praktik-praktik haram yang selama ini telah merugikan banyak kalangan, terutama masyarakat. Wallahu a’lam bil ashwab

Mahasiswa IAIN Walisongo
Semarang dan Penerima Beasiswa
Unggulan di Monash Institute

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/