Oleh: Amos Simanungkalit
“Petani Sumatera Utara semakin terpukul menyusul membanjirnya sayur-mayur dan buah-buahan impor di pusat pasar di daerah ini. Bahkan dikuatirkan lahan petani berpotensi beralih fungsi jika hasil produksi mereka terus tertekan produk hortikultura impor.
Dia melihat di sejumlah pasar tradisional maupun swalayan membludaknya sayur dan buah impor dari sehingga menggeserkan produk lokal. Lihat saja di pasar buah pepaya, mangga, jeruk, melon, durian, bahkan bibit ubi juga impor. Begitu pula sayur-mayur seperti kubis dan lainnya diimpor dari China maupun Jepang. Jika terus menerus komoditas impor tersebut mengalir ke Sumut, petani kita bukan lagi terpukul telak, tapi juga bisa alih fungsi lahan pertanian”, Hal itu diungkapkan, H BP Rambe, Ketua Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI) Sumut Jumat (20/7).
Hari ini kita menyaksikan bahwa betapa petani tidak menjadi focus dari arah pembangunan pemerintah hari ini. Dengan berbagai fakta yang terjadi hari ini di dunia pertanian semakin menguatkan begitu lemahnya elemen petani di mata penguasa negeri ini. Untuk itu perlu kiranya kita teguhkan dalam hati kita hari ini bahwa Bangsa ini besar dengan potensi agrarianya, bukan dengan potensi yang hanya menjadi urutan seterusnya seteleh potensi sektor pertanian.
Nasib Petani
Mengurai keberadaan petani yang secara sistemik telah dilemahkan, dapat kita lihat dari torehan sejarah panjang negara ini. Sebaliknya sejarah perjuangan petani memberikan gambaran khusus pada sejarah bangsa. Menguraikan kebijakan negara dari beberapa kurun waktu dapat membantu kita melihat lebih utuh bagaimana posisi petani di negeri ini.
Mulai dari ketika masyarakat mulai mengenal bercocok tanam, masa kerajaan, masa kolonial, orde lama, orde baru, sampai era reformasi saat ini. Selama itu pula telah terjadi pasang surut di sektor pertanian kita. Meskipun selalu, petani menjadi kelompok masyarakat yang ter-subordinat. Bukan hanya secara ekonomi, petani juga seringkali menjadi korban tragedi politik sekaligus sapi perahan politik. Sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja di Sumatera Utara pada tahun 2011 meningkat hampir mencapai 51 persen, yaitu mencapai 50,90 persen per Februari 2011. Jumlah angkatan kerja di Sumut pada Februari 2011 mengalami peningkatan sebanyak 11.061 dari periode sama tahun 2010 atau mencapai 6.413.952 orang.
Setelah pertanian, sektor terbesar kedua penyerap tenaga kerja adalah perdagangan dan sektor jasa kemasyarakatan, masing-masing 17,62 sampai 14,65 persen. Dalam hal ini sektor petani petani menyerap hampir 32,35 persen dari jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 13,248 juta jiwa berdasarkan hasil sensus 2010. Tentu petani menjadi elemen penentu dalam hal lumbung suara disetiap hajatan demokrasi setiap lima tahun di provinsi Sumatera Utara.
Sumatera Utara akan menjalani hajatan demokrasi terbesar ditingkatan pemilihan demokrasi yang jatuh pada awal tahun 2013. Tentunya hajatan ini telah mengundang begitu banyak para putra terbaik Sumatera Utara bertarung dalam perebutan orang nomor satu di provinsi Sumatera Utara. Hal ini mau tidak mau menjadikan petani sebagai elemen yang cukup potensial di dalam penentuan peta suara di Sumatera Utara.
Secara politis, kedudukan petani pasca kemerdekaan terbilang cukup istimewa. Kebebasan berorganisasi seperti pembentukan Persatuan Tani Nasional Indonesia (Petani), Sarekat Kaum Tani Indonesia (Sakti), dan Sarekat Tani Indonesia (STII), semakin memperkuat posisi mereka. Apalagi masing masing organisasi tani tersebut berafiliasi pada partai politik sehingga akses dan perjuangan politik yang mereka lakukan semakin besar. Terbukti, pada kasus pendudukan tanah perkebunan Deli Planters Vereeniging (DPV) tahun 1951 yang mengakibatkan terbunuhnya lima petani sanggup membuat guncang pusat pemerintahan. Malah, kejadian yang disebut Peristiwa Tanjungmorawa itu harus berakhir dengan bubarnya Kabinet Wilopo akibat mosi tidak percaya yang dilancarkan oleh Sidik Kertapati dari Sarekat Tani Indonesia.
Berbagai pihak menyebut, politik agraria masa Orde Lama bercorak populis. Dengan semangat anti-imperialisme, berbagai kebijakan pertanahan pemerintah diupayakan selalu berpihak kepada rakyat. Pada masa ini, konsep revolusioner perombakan hak tanah (land reform) digulirkan sebagai pilihan dalam menciptakan keadilan dalam pertanahan. Maka, pada masa inilah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang segera diikuti oleh pembentukan panitia land reform. Salah satu inti dalam produk perundangan ini menyangkut pembatasan penguasaan tanah agar tidak merugikan kepentingan umum.
Belum banyak berjalan, perubahan kepemimpinan negara terjadi. Sebagai konsekuensi, politik agraria pemerintah pun berubah, meninggalkan kebijakan populis. Pada pemandangan lain, organisasi politik maupun organisasi petani yang selama ini menjadi saluran perjuangan para petani dibekukan.
Ada apa pada Pilgubsu 2013?
Dalam bursa pencalonan Gubernur Sumatera 2013-2018 ada serangkaian nama muncul diantaranya Rustam Effendi Nainggolan yang merupakan mantan Sekretaris Daerah Sumatera Utara dengan ekonomi kerakyatannya, Gus Irawan Pasaribu dengan berbagai kebijakan kredit usaha rakyatnya ketika ia menjabat sebagai Direktur Bank Sumut 3 periode, Jenderal AY Nasution dengan latar belakang militernya, serta Chairuhman dengan slogan pembangunan infrastruktur Sumatera Utara lebih baik.
Hal ini tentu saja menjadi cukup miris untuk para petani Sumatera Utara dimana ke semua calon Gubernur tersebut hampir tidak memiliki komitmen yang jelas tentang nasib petani Sumatera yang masih saja menjadi korban dalam setiap hiruk-pikuk bangsa hari ini.
Kita tentu tidak lupa akan begitu banyak kasus yang mendera petani di Sumatera Utara hari ini yang belum juga menemukan titik temu hingga hari ini. Di Sumatera Utara, ada berbagai titik yang menjadi daerah konflik. Diantaranya Sei Mencirim, Padang Halaban, Padang Lawas, Pulo Rakyat, dan sebagainya. Kasusnya sama: Petani kecil yang hanya makan dari tanah yang digarapnya, melawan perusahaan-perusahaan mayor yang ingin merampas tanah-cari-makan tersebut. Belum lagi menyangkut proteksi terhadap produk-produk hasil pertanian hari ini yang masih saja terus mengalami pembiaran dimana pemerintah provinsi Sumatera Utara masih saja membuka keran impor terhadap berbagai produk pertanian luar negeri hari ini.
Sebut saja jagung impor dikhawatirkan membuat harga jual jagung lokal yang sedang bagus Rp2.200 per kg anjlok, padahal musim panen masih berlangsung hingga September sejak dimulai Juni,” kata Ketua Himpunan Petani Jagung Indonesia (Hipajagin), Jemat Sebayang, di Medan, Sabtu (4/8). Tentu hal ini menjadi langkah yang cukup memprihatinkan mengingat hari ini Sumatera Utara harusnya menjadi salah satu daerah potensial dalam hal pengembangan sektor pertanian.
Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 tentu saja sudah waktunya petani Sumatera menunjukkan bahwa Petani menjadi elemen penentu dalam setiap pengambilan keputusan daerah Sumatera Utara kedepan. Sudah saatnya petani mulai cerdas dengan memilih Gubernur yang memiliki komitmen terhadap pengembangan sektor pertanian secara intens dan terpadu. Sudah saatnya kita masyarakat tani menyatukan gerakan yang selama ini tercerai-berai oleh berbagai perbedaan pandangan politik untuk menjadikan Pertanian sebagai penentu dari setiap kebijakan dari negeri Agraris ini.
Penulis: Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara