26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kiamat Tidak Jadi

Masyarakat dunia kembali lega, karena Hari Kiamat yang diprediksi tanggal 21 Desember 2012 tidak jadi. Sejak tahun 2009 prediksi Kiamat 2012 sudah menjadi isu yang seksi diperbincangan dalam dunia nyata dan dunia maya (internet).

Oleh: Masduri

Kekhawatiran dan rasa takut terkait isu Hari Kiamat sempat merebak di berbagai belahan dunia. Bahkan menjelang tanggal 21 Desember kemarin banyak orang galau dan mengelami ketakutan yang luar biasa.

Meskipun sejak awal sudah banyak juga yang menyangkal kebenaran prediski Hari Kiamat 2012. Sebab dalam teologi agama Samawi, Hari Kiamat itu tidak ada yang tahu kapan akan terjadi. Misalnya dalam teologi Islam, Allah SWT. berfirman:

Mereka menanyakan kepadamu tentang Kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (hura-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat tidak akan datang kepadamu melainkan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesunggunya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah pada sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Al-A’raf ayat 187).

Secara eksplisit dari ayat tersebut jelas jika Kiamat tidak ada yang tahu. Pengetahuan tentang Kiamat itu hanya ada pada sisi Tuhan. Salah satu hikmah dari tidak diberitahukannya Hari Kiamat kepada manusia, agar ia senantiasa menjaga ketakwaan kepada diriNya.

Seandainya manusia tahu kapan Kiamat akan terjadi, pasti semua umat manusia akan mendadak menjadi baik. Tetapi Tuhan hendak menguji kita sebagai hambaNya, sampai di mana manusia mampu menjaga ketakwaannya. Kira-kira seperti kematian, seandainya manusia tahu kapan kematian tiba, pastilah semua manusia mendadak baik. Tetapi lagi-lagi Tuhan hendak menguji ketakwaan manusia. Oleh karena itu, sikap yang perlu kita ambil dari dirahasiakannya Hari Kiamat adalah senantiasa menjaga ketakwaan kepadanNya.

Kesadaran Eksistensi

Kita tidak perlu risau dan mempertanyakan kapan Kiamat itu akan datang? Itu hanya akan membuat kegalauan dalam hidup. Juga seperti kematian, kita tidak perlu merisaukan kapan kematian itu akan datang. Tindakan seperti itu hanya akan mengganggu aktivitas keseharian kita. Biarkanlah semua realitas di luar nalar kemanusiaan, seperti Kiamat dan kematian, terjadi secara tiba-tiba. Hal yang penting kita pikirkan dan lakukan adalah bagaimana agar eksitensi kehidupan kita benar-benar bermakna bagi kemanusiaan.

Hassan Hanafi dalam rekonstruksi teologisnya, memberikan pencerahan yang menarik tentang eksistensi manusia. Ia menegaskan bahwa sifat wujud Allah SWT. dalam teologi Islam bukan untuk menjelaskan wujud Tuhan, karena Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Tanpa manusia, Tuhan tetap wujud. Wujud disini berarti tajribah wujidiyah pada manusia, tuntutan pada umat manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya. Inilah yang dimaksud dalam sebuah syair, kematian bukanlah ketiadaan nyawa, kematian adalah ketidak mampun untuk menunjukkan eksistensi diri.

Gagasan Hanafi ini penting dikemukakan kembali di tengah kegalauan masyarakat dunia akan Hari Kiamat ataupun kematian. Sebab berbicara kiamat berbanding lurus dengan kematian. Dalam teologi Islam ketika Kiamat itu terjadi maka semua makhluk ciptaan Allah akan binasa. Kiamat adalah kehancuran dunia sebagai proses menuju alam akhirat. Oleh sebab itu, sebelum Kiamat ataupun kematian itu datang, manusia penting membaca eksistensi dirinya sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Agar kehadirannya ke dunia benar-benar bermakna.

Dalam kajian filsafat eksitensialisme, kesadaran cogito, aku berpikir, yang dikemukakan Rene Descartes, tidak hanya menghadirkan eksistensi dirinya sendiri, namun juga orang lain. Maka kemudian, Jean Paul Sartre, menyebut hal itu sebagai humanisme, bahwa manusia bukan hanya memiliki tanggung jawab atas individualitasnya sendiri, melainkan juga bertanggung jawab atas semua umat manusia. Kesadaran eksistensi diri, tidak lain untuk menggerakkan kita menjadi manusia yang bermakna.

Lebih dalam lagi, seperti dikutip A. Kuhdori Soleh dalam bukunya Wacana Baru Filsafat Islam (Pustaka Pelajar, 2004), Hassan Hanafi menjelaskan bahwa deskripsi Tuhan tentang dzatNya sendiri memberi pelajaran kepada manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri (cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self feeling).

Penyebutan Tuhan akan dzatNya sendiri sama persis dengan kesadaran akan keberadaanNya, sama sebagaimana cogito yang ada dalam diri manusia berarti penunjukan akan keberadaannya.

Karena itu menurut Hanafi, mengapa deskripsi pertama tentang Tuhan (aushaf) adalah wujud (keberadaan). Adapun deskripNya tentang sifat-sifatNya (aushaf) berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu pada kesadaran diri sendiri (cogito), maka sifat-sifat mengacu pada kesadaran lingkungan (cogitotum). Keduanya adalah pelajaran dan ‘harapan’ Tuhan pada manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan lingkungannya.

Dengan demikian, karena kita tidak pernah tahu kapan datangnya Kiamat ataupun kematian, kita hanya bisa membangun keyakinan bahwa jalan hidup masih panjang. Maka disisa kesempatan umur yang diberikan oleh Tuhan tersebut, kita harus selalu menyadarkan eksistensi diri yang sebenarnya. Agar kita menjadi manusia yang bermakna dalam hidup. Kesadaran eksitensi diri penting kita bangun bukan hanya untuk kebahagian atau keselamatkan diri kita sendiri, tetapi semua masyarakat di lingkungan kita.

Secara khusus kesadaran lingkungan dalam konteks kebangsaan. Negara kita sekarang ini dalam kegalauan berat menuju kehancuran, atau kalau boleh saya menyebut Indonesia sedang menuju “kiamat” kebangsaan. Beragam kasus korupsi, kekerasan dari beragam modusnya, diskrimnasi, ketidakadilan, kebodohan, dan kemiksinan yang terus bermunculan, adalah pertanda yang sangat jelas jika bangsa Indonesia benar-benar akan mengalami “kiamat” kebangsaan jika semua itu tidak segera diselesaikan dengan baik.

Oleh sebab itu, kita penting menyadarakan eksitensi kita sebagai pribadi dan juga sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Untuk melakukan perbaikan diri dan kondisi bangsa, agar kehidupan di dunia damai dan menyejaherakan. Sehingga terbentuknya Indonesia sebagai sebuah negara benar-benar hadir sebagai instrumen penyejahteraan rakyat.

Semua ini dilakukan tidak lain sebagai bekal kehidupan kelak di kahirat, sebab walaupun kiamat tidak terjadi pada tanggal 21 Desember seperti diprediksiakan Suku Maya. Tapi Kiamat pada saatnya pasti terjadi. Hanya saja kita tidak pernah tahun kapan waktunya. Pengetahuan tentang Hari Kiamat itu hanya ada pada sisi Tuhan.

Penulis adalah Peneliti di Jurusan Teologi dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pustakawan Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Masyarakat dunia kembali lega, karena Hari Kiamat yang diprediksi tanggal 21 Desember 2012 tidak jadi. Sejak tahun 2009 prediksi Kiamat 2012 sudah menjadi isu yang seksi diperbincangan dalam dunia nyata dan dunia maya (internet).

Oleh: Masduri

Kekhawatiran dan rasa takut terkait isu Hari Kiamat sempat merebak di berbagai belahan dunia. Bahkan menjelang tanggal 21 Desember kemarin banyak orang galau dan mengelami ketakutan yang luar biasa.

Meskipun sejak awal sudah banyak juga yang menyangkal kebenaran prediski Hari Kiamat 2012. Sebab dalam teologi agama Samawi, Hari Kiamat itu tidak ada yang tahu kapan akan terjadi. Misalnya dalam teologi Islam, Allah SWT. berfirman:

Mereka menanyakan kepadamu tentang Kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (hura-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat tidak akan datang kepadamu melainkan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesunggunya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah pada sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Al-A’raf ayat 187).

Secara eksplisit dari ayat tersebut jelas jika Kiamat tidak ada yang tahu. Pengetahuan tentang Kiamat itu hanya ada pada sisi Tuhan. Salah satu hikmah dari tidak diberitahukannya Hari Kiamat kepada manusia, agar ia senantiasa menjaga ketakwaan kepada diriNya.

Seandainya manusia tahu kapan Kiamat akan terjadi, pasti semua umat manusia akan mendadak menjadi baik. Tetapi Tuhan hendak menguji kita sebagai hambaNya, sampai di mana manusia mampu menjaga ketakwaannya. Kira-kira seperti kematian, seandainya manusia tahu kapan kematian tiba, pastilah semua manusia mendadak baik. Tetapi lagi-lagi Tuhan hendak menguji ketakwaan manusia. Oleh karena itu, sikap yang perlu kita ambil dari dirahasiakannya Hari Kiamat adalah senantiasa menjaga ketakwaan kepadanNya.

Kesadaran Eksistensi

Kita tidak perlu risau dan mempertanyakan kapan Kiamat itu akan datang? Itu hanya akan membuat kegalauan dalam hidup. Juga seperti kematian, kita tidak perlu merisaukan kapan kematian itu akan datang. Tindakan seperti itu hanya akan mengganggu aktivitas keseharian kita. Biarkanlah semua realitas di luar nalar kemanusiaan, seperti Kiamat dan kematian, terjadi secara tiba-tiba. Hal yang penting kita pikirkan dan lakukan adalah bagaimana agar eksitensi kehidupan kita benar-benar bermakna bagi kemanusiaan.

Hassan Hanafi dalam rekonstruksi teologisnya, memberikan pencerahan yang menarik tentang eksistensi manusia. Ia menegaskan bahwa sifat wujud Allah SWT. dalam teologi Islam bukan untuk menjelaskan wujud Tuhan, karena Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Tanpa manusia, Tuhan tetap wujud. Wujud disini berarti tajribah wujidiyah pada manusia, tuntutan pada umat manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya. Inilah yang dimaksud dalam sebuah syair, kematian bukanlah ketiadaan nyawa, kematian adalah ketidak mampun untuk menunjukkan eksistensi diri.

Gagasan Hanafi ini penting dikemukakan kembali di tengah kegalauan masyarakat dunia akan Hari Kiamat ataupun kematian. Sebab berbicara kiamat berbanding lurus dengan kematian. Dalam teologi Islam ketika Kiamat itu terjadi maka semua makhluk ciptaan Allah akan binasa. Kiamat adalah kehancuran dunia sebagai proses menuju alam akhirat. Oleh sebab itu, sebelum Kiamat ataupun kematian itu datang, manusia penting membaca eksistensi dirinya sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Agar kehadirannya ke dunia benar-benar bermakna.

Dalam kajian filsafat eksitensialisme, kesadaran cogito, aku berpikir, yang dikemukakan Rene Descartes, tidak hanya menghadirkan eksistensi dirinya sendiri, namun juga orang lain. Maka kemudian, Jean Paul Sartre, menyebut hal itu sebagai humanisme, bahwa manusia bukan hanya memiliki tanggung jawab atas individualitasnya sendiri, melainkan juga bertanggung jawab atas semua umat manusia. Kesadaran eksistensi diri, tidak lain untuk menggerakkan kita menjadi manusia yang bermakna.

Lebih dalam lagi, seperti dikutip A. Kuhdori Soleh dalam bukunya Wacana Baru Filsafat Islam (Pustaka Pelajar, 2004), Hassan Hanafi menjelaskan bahwa deskripsi Tuhan tentang dzatNya sendiri memberi pelajaran kepada manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri (cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self feeling).

Penyebutan Tuhan akan dzatNya sendiri sama persis dengan kesadaran akan keberadaanNya, sama sebagaimana cogito yang ada dalam diri manusia berarti penunjukan akan keberadaannya.

Karena itu menurut Hanafi, mengapa deskripsi pertama tentang Tuhan (aushaf) adalah wujud (keberadaan). Adapun deskripNya tentang sifat-sifatNya (aushaf) berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu pada kesadaran diri sendiri (cogito), maka sifat-sifat mengacu pada kesadaran lingkungan (cogitotum). Keduanya adalah pelajaran dan ‘harapan’ Tuhan pada manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan lingkungannya.

Dengan demikian, karena kita tidak pernah tahu kapan datangnya Kiamat ataupun kematian, kita hanya bisa membangun keyakinan bahwa jalan hidup masih panjang. Maka disisa kesempatan umur yang diberikan oleh Tuhan tersebut, kita harus selalu menyadarkan eksistensi diri yang sebenarnya. Agar kita menjadi manusia yang bermakna dalam hidup. Kesadaran eksitensi diri penting kita bangun bukan hanya untuk kebahagian atau keselamatkan diri kita sendiri, tetapi semua masyarakat di lingkungan kita.

Secara khusus kesadaran lingkungan dalam konteks kebangsaan. Negara kita sekarang ini dalam kegalauan berat menuju kehancuran, atau kalau boleh saya menyebut Indonesia sedang menuju “kiamat” kebangsaan. Beragam kasus korupsi, kekerasan dari beragam modusnya, diskrimnasi, ketidakadilan, kebodohan, dan kemiksinan yang terus bermunculan, adalah pertanda yang sangat jelas jika bangsa Indonesia benar-benar akan mengalami “kiamat” kebangsaan jika semua itu tidak segera diselesaikan dengan baik.

Oleh sebab itu, kita penting menyadarakan eksitensi kita sebagai pribadi dan juga sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Untuk melakukan perbaikan diri dan kondisi bangsa, agar kehidupan di dunia damai dan menyejaherakan. Sehingga terbentuknya Indonesia sebagai sebuah negara benar-benar hadir sebagai instrumen penyejahteraan rakyat.

Semua ini dilakukan tidak lain sebagai bekal kehidupan kelak di kahirat, sebab walaupun kiamat tidak terjadi pada tanggal 21 Desember seperti diprediksiakan Suku Maya. Tapi Kiamat pada saatnya pasti terjadi. Hanya saja kita tidak pernah tahun kapan waktunya. Pengetahuan tentang Hari Kiamat itu hanya ada pada sisi Tuhan.

Penulis adalah Peneliti di Jurusan Teologi dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pustakawan Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/