31.7 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Roh Pendidikan Semakin Hilang

Benni Sinaga

Di zaman yang semakin edan ini tidaklah sesuatu hal yang mengherankan jika kita melihat bahwa biaya pendidikan relatif mahal. mulai pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai perguruan tinggi tengah beroperasi layaknya perusahaan yang berorientasi pada priofit (keuntungan).
Di berbagai tingkatan sekolah, saat ini kita kenal  dengan sekolah berbiaya tinggi seperti jalur internasional, ekstensi dan mandiri. Sayangnya biaya yang mahal itu justru dibebankan kepada rakyat.

Maka jalur-jalur seperti ini jelas tidak bersahabat dengan rakyat miskin karena penuh dengan diskriminasi antara yang miskin dan yang kaya, paling tidak kita dapat lihat dengan munculnya kelas-kelas sosial dalam sekolah. Dari tingkatan yang paling mahal yang diduduki oleh yang kaya sekaligus elit yakni Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

Jatah masyarakat kelas miskin hanyalah mengharapkan sekolah bertaraf lokal dan nasional (reguler). Benarkah pembukaan jalur-jalur bertaraf internasional ini menunjukkan langkah keseriusan pemerintah  dalam rangka peningkatan  kualiltas pendidikan nasional sehingga mampu mengejar ketertinggalan dan sejajar dengan kualitas pendidikan internasional atau malah hanya sekadar usaha menaikkan biaya pendidikan menjadi setara dengan harga internasional? (bertaraf internasional atau bertarif internasional?).

Keluarga besar guru di negeri ini patut berduka atas sandiwara ujian nasional (UN) yang sampai hari ini tetap dilaksanakan serta dijadikan “syarat mutlak” kelulusan dan satu-satunya penentu kelulusan siswa.

Pengalaman dari tahun ke tahun (sejak tahun 2003) ujian nasional jelas tidak meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan seperti yang dimaksudkan para pejabat yang terhormat yang memprakarsai program dan sistem ujian nasional ini.

Bahkan sebaliknya, cukup banyak pihak (sekolah, guru, siswa, orangtua siswa dan pihak lain) yang menjadi korban sebagai dampak dari ujian nasional tersebut. Banyak pihak terkait yang ikut ambil bagian “dipaksa” tunduk dan akhirnya berbuat curang bahkan menghalalkan segala cara untuk lulus dan meluluskan siswa di atas 90 persen.

Sehingga hal itu dianggap prestasi dalam pendidikan kita. Guru-guru dipaksa sistem untuk mengingkari hati nuraninya, dengan sadar ikut berbuat curang dengan membantu membocorkan soal, menjawab soal dan memberikan jawaban atau setidaknya mendiamkannya karena takut pada sistem dan ketidak berdayaan.

Di sisi lain guru-guru yang berani melawan kecurangan tersebut tidak mendapat jaminan perlindungan dari panitia penyelenggara UN ataupun pemerintah. Mereka dianggap pemberontak sehingga wajar bila diintimidasi, dilemahkan bahkan diberhentikan dari profesinya. Layakkah kecurangan dan pembodohan seperti ini dilakukan di lembaga pendidikan sebagai lembaga pembentuk generasi bangsa?

Sudah selayaknya kaum guru berduka atas beberapa kebijakan salah kaprah pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas guru, utamanya sertifikasi guru yang sampai kini masih berlangsung.

Sesungguhnya jika kita melihat secara langsung bahkan dari luar sekalipun tidak ada pihak bahkan seorang guru sekalipun yang berani dapat membuktikan peningkatan kualitas pendidikan melalui sertifikasi guru seperti saat ini.
Sertifikasi ini ternyata tidak menjawab lahirnya guru-guru berkualitas. Sebaliknya yang terjadi adalah bergesernya nilai-nilai keguruan yang sejatinya adalah pengabdian menjadi ke arah pengerukan uang semata, bahkan menimbulkan kesenjangan sosial di kalangan para guru yang mengakibatkan kemalasan dan melemahnya semangat guru dalam mengabdi di sekolah.

Betapa tidak, panitia penyelenggara tidak serius dalam mengerjakan tugas dan tanggungjawabnya masing-masing. Bahkan dalam serangkaian proses sertifikasi itu sendiripun hampir seluruhnya kita temukan praktik-praktik korupsi, kolusi maupun nepotisme. Sering juga disebut bahwa sertifikasi guru adalah ajang menghambur-hamburkan uang rakyat yang notabene berasal dari APBN. Hal senada juga marak terjadi dalam penyelengaraan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang sarat dengan penyimpangan dan penggunaan dana yang tidak tepat sasaran.

Bantuan yang diberikan pemerintah ke sekolah-sekolah mencapai Rp557.000/siswa/tahun. Coba kita bayangkan bila sebuah sekolah berjumlah 500 siswa maka uang yang diterima mencapai Rp278.500.000/tahun. Dana yang begitu menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan sekolah tersebut. Namun apa yang kita lihat, dan apa yang berubah dari sekolah tersebut, bukannya semakin maju atau jalan di tempat, melainkan semakin bobrok.

Daftar hitam prestasi pemerintah, yang sekaligus duka bagi guru-guru ditambah dengan kegagalan Lembaga Penghasil Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam memproduksi serta menghasilkan guru-guru yang berkualitas.

Dalam hal ini demi kemajuan bangsa serta lahirnya guru-guru berkualitas, sudah seharusnya setiap lembaga penghasil guru baik swasta maupun negeri dengan rendah hati berani introspeksi diri dan mengevaluasi lembaganya masing-masing serta bangkit melakukan perubahan lebih baik.
Dampak rusaknya dunia pendidikan. Apakah demikian rusaknya dunia pendidikan kita saat ini? benarkah manusia-manusia yang dihasikan oleh dunia pendidikan kita saat ini adalah orang-orang yang kerdil, pesimis, pecundang, buas dan serakah?, mengapa demikian? akan seperti apakah pendidikan di bangsa ini nantinya? kontribusi apa yang bisa kuberikan demi kemajuan pendidikan di bangsa ini? Sebagai guru khususnya serta sebagai anak-anak bangsa yang diproduksi dari dunia pendidikan, sudah selayaknya pertanyaan-pertanyaan serupa terlontar di benak kita, dan mari kita jawab bersama.
Pendidikan sejatinya adalah memanusiakan manusia. Namun semuanya itu tinggal simbol belaka dan menyisakan kehancuran yang berdampak kompleks dan sistemik, bukan hanya pada dunia pendidikan itu sendiri, melainkan ke seluruh sektor di negeri ini. Berbagai permasalahan serius di negeri ini yang tak kunjung usai.

Kemiskinan yang semakin beranak-pinak, kejahatan yang semakin merajalela, ketidakpastian hukum yang seenaknya diperjual-belikan, kepemimpinan yang tidak mau melayani, para wakil rakyat yang tidak peduli dengan jeritan rakyat, dipeliharanya para kaum kapitalis dan raja-raja kecil yang tidak memperdulikan nasib rakyat kecil dan masih banyak lagi. kalau saya boleh mengatakan bahwa kesemuanya itu adalah potret dari produk gagal dunia pendidikan kita.

Saatnya guru indonesia berani bangkit dan bertindak

Guru adalah ujung tombak pendidikan. Dari sekian banyak pelaku pendidikan di negeri ini hanya para gurulah yang bersentuhan langsung degan siswa. Setiap hari Selama enam tahun duduk di bangku Sekolah Dasar, tiga tahun di SMP, dan  tiga tahun dibangku SMA, siswa bersama-sama dengan guru, bercengkrama menghabiskan hari-hari dalam kegiatan belajar mengajar di dalam dan di luar kelas, bahkan di luar sekolah sekalipun. Peran seorang guru tentu cukup berpengaruh dan strategis dalam peningkatan mutu pendidikan.

Karena itu jika kita (para guru) masih punya hati nurani, masih punya akal sehat, jika guru indonesia hari ini masih punya mimpi besar bahwa suatu saat  cepat atau lambat pendidikan di bangsa ini akan mencapai titik puncak demokratis, pendidikan menjadi milik semua kalangan, maka bukan hal mustahil pendidikan kita  akan menghasilkan manusia-manusia cerdas, bermoral, beradab dan membebaskan maka peran strategis sang guru itu harusnya di kembalikan pada fungsi dan jalurnya tanpa mau diombang-ambingkan oleh pihak-pihak yang “berkepentingan”. (*)

Penulis adalah Dosen dan Ketua Investigasi
KAMG aktif di campus Concern Medan

Benni Sinaga

Di zaman yang semakin edan ini tidaklah sesuatu hal yang mengherankan jika kita melihat bahwa biaya pendidikan relatif mahal. mulai pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai perguruan tinggi tengah beroperasi layaknya perusahaan yang berorientasi pada priofit (keuntungan).
Di berbagai tingkatan sekolah, saat ini kita kenal  dengan sekolah berbiaya tinggi seperti jalur internasional, ekstensi dan mandiri. Sayangnya biaya yang mahal itu justru dibebankan kepada rakyat.

Maka jalur-jalur seperti ini jelas tidak bersahabat dengan rakyat miskin karena penuh dengan diskriminasi antara yang miskin dan yang kaya, paling tidak kita dapat lihat dengan munculnya kelas-kelas sosial dalam sekolah. Dari tingkatan yang paling mahal yang diduduki oleh yang kaya sekaligus elit yakni Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

Jatah masyarakat kelas miskin hanyalah mengharapkan sekolah bertaraf lokal dan nasional (reguler). Benarkah pembukaan jalur-jalur bertaraf internasional ini menunjukkan langkah keseriusan pemerintah  dalam rangka peningkatan  kualiltas pendidikan nasional sehingga mampu mengejar ketertinggalan dan sejajar dengan kualitas pendidikan internasional atau malah hanya sekadar usaha menaikkan biaya pendidikan menjadi setara dengan harga internasional? (bertaraf internasional atau bertarif internasional?).

Keluarga besar guru di negeri ini patut berduka atas sandiwara ujian nasional (UN) yang sampai hari ini tetap dilaksanakan serta dijadikan “syarat mutlak” kelulusan dan satu-satunya penentu kelulusan siswa.

Pengalaman dari tahun ke tahun (sejak tahun 2003) ujian nasional jelas tidak meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan seperti yang dimaksudkan para pejabat yang terhormat yang memprakarsai program dan sistem ujian nasional ini.

Bahkan sebaliknya, cukup banyak pihak (sekolah, guru, siswa, orangtua siswa dan pihak lain) yang menjadi korban sebagai dampak dari ujian nasional tersebut. Banyak pihak terkait yang ikut ambil bagian “dipaksa” tunduk dan akhirnya berbuat curang bahkan menghalalkan segala cara untuk lulus dan meluluskan siswa di atas 90 persen.

Sehingga hal itu dianggap prestasi dalam pendidikan kita. Guru-guru dipaksa sistem untuk mengingkari hati nuraninya, dengan sadar ikut berbuat curang dengan membantu membocorkan soal, menjawab soal dan memberikan jawaban atau setidaknya mendiamkannya karena takut pada sistem dan ketidak berdayaan.

Di sisi lain guru-guru yang berani melawan kecurangan tersebut tidak mendapat jaminan perlindungan dari panitia penyelenggara UN ataupun pemerintah. Mereka dianggap pemberontak sehingga wajar bila diintimidasi, dilemahkan bahkan diberhentikan dari profesinya. Layakkah kecurangan dan pembodohan seperti ini dilakukan di lembaga pendidikan sebagai lembaga pembentuk generasi bangsa?

Sudah selayaknya kaum guru berduka atas beberapa kebijakan salah kaprah pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas guru, utamanya sertifikasi guru yang sampai kini masih berlangsung.

Sesungguhnya jika kita melihat secara langsung bahkan dari luar sekalipun tidak ada pihak bahkan seorang guru sekalipun yang berani dapat membuktikan peningkatan kualitas pendidikan melalui sertifikasi guru seperti saat ini.
Sertifikasi ini ternyata tidak menjawab lahirnya guru-guru berkualitas. Sebaliknya yang terjadi adalah bergesernya nilai-nilai keguruan yang sejatinya adalah pengabdian menjadi ke arah pengerukan uang semata, bahkan menimbulkan kesenjangan sosial di kalangan para guru yang mengakibatkan kemalasan dan melemahnya semangat guru dalam mengabdi di sekolah.

Betapa tidak, panitia penyelenggara tidak serius dalam mengerjakan tugas dan tanggungjawabnya masing-masing. Bahkan dalam serangkaian proses sertifikasi itu sendiripun hampir seluruhnya kita temukan praktik-praktik korupsi, kolusi maupun nepotisme. Sering juga disebut bahwa sertifikasi guru adalah ajang menghambur-hamburkan uang rakyat yang notabene berasal dari APBN. Hal senada juga marak terjadi dalam penyelengaraan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang sarat dengan penyimpangan dan penggunaan dana yang tidak tepat sasaran.

Bantuan yang diberikan pemerintah ke sekolah-sekolah mencapai Rp557.000/siswa/tahun. Coba kita bayangkan bila sebuah sekolah berjumlah 500 siswa maka uang yang diterima mencapai Rp278.500.000/tahun. Dana yang begitu menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan sekolah tersebut. Namun apa yang kita lihat, dan apa yang berubah dari sekolah tersebut, bukannya semakin maju atau jalan di tempat, melainkan semakin bobrok.

Daftar hitam prestasi pemerintah, yang sekaligus duka bagi guru-guru ditambah dengan kegagalan Lembaga Penghasil Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam memproduksi serta menghasilkan guru-guru yang berkualitas.

Dalam hal ini demi kemajuan bangsa serta lahirnya guru-guru berkualitas, sudah seharusnya setiap lembaga penghasil guru baik swasta maupun negeri dengan rendah hati berani introspeksi diri dan mengevaluasi lembaganya masing-masing serta bangkit melakukan perubahan lebih baik.
Dampak rusaknya dunia pendidikan. Apakah demikian rusaknya dunia pendidikan kita saat ini? benarkah manusia-manusia yang dihasikan oleh dunia pendidikan kita saat ini adalah orang-orang yang kerdil, pesimis, pecundang, buas dan serakah?, mengapa demikian? akan seperti apakah pendidikan di bangsa ini nantinya? kontribusi apa yang bisa kuberikan demi kemajuan pendidikan di bangsa ini? Sebagai guru khususnya serta sebagai anak-anak bangsa yang diproduksi dari dunia pendidikan, sudah selayaknya pertanyaan-pertanyaan serupa terlontar di benak kita, dan mari kita jawab bersama.
Pendidikan sejatinya adalah memanusiakan manusia. Namun semuanya itu tinggal simbol belaka dan menyisakan kehancuran yang berdampak kompleks dan sistemik, bukan hanya pada dunia pendidikan itu sendiri, melainkan ke seluruh sektor di negeri ini. Berbagai permasalahan serius di negeri ini yang tak kunjung usai.

Kemiskinan yang semakin beranak-pinak, kejahatan yang semakin merajalela, ketidakpastian hukum yang seenaknya diperjual-belikan, kepemimpinan yang tidak mau melayani, para wakil rakyat yang tidak peduli dengan jeritan rakyat, dipeliharanya para kaum kapitalis dan raja-raja kecil yang tidak memperdulikan nasib rakyat kecil dan masih banyak lagi. kalau saya boleh mengatakan bahwa kesemuanya itu adalah potret dari produk gagal dunia pendidikan kita.

Saatnya guru indonesia berani bangkit dan bertindak

Guru adalah ujung tombak pendidikan. Dari sekian banyak pelaku pendidikan di negeri ini hanya para gurulah yang bersentuhan langsung degan siswa. Setiap hari Selama enam tahun duduk di bangku Sekolah Dasar, tiga tahun di SMP, dan  tiga tahun dibangku SMA, siswa bersama-sama dengan guru, bercengkrama menghabiskan hari-hari dalam kegiatan belajar mengajar di dalam dan di luar kelas, bahkan di luar sekolah sekalipun. Peran seorang guru tentu cukup berpengaruh dan strategis dalam peningkatan mutu pendidikan.

Karena itu jika kita (para guru) masih punya hati nurani, masih punya akal sehat, jika guru indonesia hari ini masih punya mimpi besar bahwa suatu saat  cepat atau lambat pendidikan di bangsa ini akan mencapai titik puncak demokratis, pendidikan menjadi milik semua kalangan, maka bukan hal mustahil pendidikan kita  akan menghasilkan manusia-manusia cerdas, bermoral, beradab dan membebaskan maka peran strategis sang guru itu harusnya di kembalikan pada fungsi dan jalurnya tanpa mau diombang-ambingkan oleh pihak-pihak yang “berkepentingan”. (*)

Penulis adalah Dosen dan Ketua Investigasi
KAMG aktif di campus Concern Medan

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/