Oleh: Sahida Ayu Fajjari
(Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara)
DEWASA ini, konsep perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) mulai memudar dalam tatanan praktik. HAM tiap-tiap warga negara kian tergerus. Pengakuan dan penghormatan atas HAM bukan merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh masyarakat secara luas. Salah satu faktor penyebabnya adalah krisis kemanusiaan, yang seringkali ditekankan pada kaum minoritas.
Dalam dunia internasional, HAM diatur secara universal dalam United Nations Declaration on Human Rights. Norma-norma yang terdapat dalam UDHR merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima negara-negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam dunia internasional, pengaturan mengenai hak-hak anak diatur dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Di Indonesia, pengaturan hak anak diatur dalam UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Ketentuan hukum mengenai hak anak yang diatur dalam KHA adalah survival rights (hak terhadap kelangsungan hidup), protection rights (hak perlindungan), development rights (hak untuk tumbuh kembang) dan participation rights (hak untuk berpartisipasi).
Indonesia tergolong negara yang belum efektif dalam hal perlindungan anak. Jika dibandingkan dengan Australia yang memiliki pengalaman yang baik dalam hal perlindungan anak dalam menggunakan sistem yang optimal. Salah satu masalah anak-anak yang harus mendapat perhatian khusus adalah pekerja anak.
Berdasarkan data dari Publikasi Tahunan Badan Pusat Statistik Republik Indonesia pada 2022, ada 1,05 juta anak di Indonesia yang masuk dalam kategori pekerja anak sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Hak-hak anak diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Tindakan asusila, pembunuhan, pemaksaan, kelalaian, perdagangan, prostitusi dan prilaku yang tidak benar adalah risiko konkret yang dapat dialami anak yang bekerja sebagai badut jalanan. Karena itu, perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi yang mempekerjakan anak-anak merupakan bagian dari perlindungan hak kelangsungan hidup dalam melindungi pelanggaran hak-hak anak.
Melalui Sasaran 8,7 dalam Development Goals Berkelanjutan (SDGs), masyarakat dunia berkomitmen menghilangkan semua bentuk pekerja anak pada tahun 2025. Target ini hanya dapat dicapai jika suatu negara focus untuk memerangi pekerja anak. Tidak peduli seberapa sulit dan menantang situasi.
Namun, sesuai dengan Konvensi ILO Nomor 138 yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang usia minimum untuk bekerja, anak-anak berusia 15 tahun dapat digunakan secara normal sehingga kelompok usia 13-17 tahun dibagi menjadi dua yaitu 13-14 tahun dan 15-17 tahun. Ketidakmampuan ekonomi keluarga menyebabkan anak-anak dipaksa untuk mengikuti jejak orang tua mereka bekerja bahkan tanpa pemberian keterampilan.
Anak yang bekerja sebagai badut jalanan adalah tanggung jawab negara dimana anak merupakan suatu aset atau penerus bangsa nantiya. UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 berbunyi: “Bahwa anak dan hak anak agar dapat hidup tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusian serta mendapat hak perlindungan dan kekerasan serta diskriminasi.” Memberantas mereka adalah apriori ekonomi global yang disepakati secara internasional. (*)