26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Semua Indah Pada Waktunya

Catatan di Hari Pelantikan BOSUR Tapteng

Catatan: Sutomo Samsu

Selalu panas. Mirip sekali dengan pilkada 11 Desember 2005. Saat itu, pasangan Tuani Lumbantobing-Effendi Pohan sebagai pemenang, harus rela menanti keluarnya Surat Keputusan (SK) pengesahan hampir enam bulan. Tepatnya,
30 Mei 2006.

Ya, memang mirip. Saat itu, panasnya persoalan juga dipicu manuver KPU Tapteng, yang ketika itu dipimpin HT Lumban Tobing. KPU Tapteng mencoret pencalonan Roslila Sitompul yang dijagokan Golkar. Mendagri Moh Ma’ruf sempat mengeluarkan surat permintaan agar tahapan pemilukada ditunda dengan alasan keamanan, namun sikap KPU Tapteng melenggang. Pilkada jalan terus dan Tuani-Effendi menang.

Berbeda dengan belakangan yang sudah ada Mahmakah Konstitusi (MK) dengan kewenangannya memutus perkara dan bersifat final, kala itu ‘bola panas’ berada di tangan mendagri.

Dorong-mendorong intervensi politik dari dua orang petinggi Istana, sempat membuat mendagri pusing. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua Dewan Pembina PD dan Jusuf Kalla wapres dari Golkar itu, sama-sama berupaya menelusupkan kepentingan partai ke tangan mendagri. Mes ki DPP Golkar saat itu ngotot agar pemilukada diulang dengan mengikutsertakan Roslila, tapi pada akhirnya jari mendagri bergerak meneken SK untuk Tuani.
Tuani-Effendi lantas dilantik. Dan setelah itu, suasana adem-adem saja. Tak ada gejolak. Ketua DPP Golkar Burhanuddin Napitupulu (almarhum) yang sebelumnya bicara keras, akhirnya hanya mengatakan, “bahwa kasus ini akan menjadi catatan hitam DPP PG dalam hal proses pilkada”.

Inilah hebatnya politik. Ibarat lomba pukul bantal di atas sungai, masing-masing berupaya sekuat lengan menghantam agar lawan kehilangan keseimbangan. Tidak mempan dihantam kaki, hantam badan. Tak goyang dihantam badan, dihajarlah kepala. Tapi begitu sudah ada yang jatuh terjerembab, semua tertawa. Tiada dendam. Selesai!

“Tapi ini curang! Curangnya telanjang!”. Begitu kira-kira suara amarah para pendukung calon yang merasa dipermainkan KPU Tapteng. Bung, pemilukada itu ajang politik. Tabiat politik itu sudah terkenal jelek. Jika sebagai politisi selalu teriak merasa dicurangi, itu bukan seorang politisi. Lebih afdol jika langsung memilih tiket jalur hukum, agar yang tega mengkhianati kepercayaan publik masuk penjara! Yang lebih penting lagi, agar pemilukada 2016 nanti tidak mirip lagi dengan 2005 dan 2011. Untuk menjaga agar suara rakyat tidak terus-terusan dipermainkan mereka-mereka yang menjadi anggota KPUD. Agar ada preseden yang selalu diingat.

Saya tak ingin mengulang cerita dan berita tentang hiruk-pikuk pemilukada Tapteng 2011. Sudah jelas apa dan siapa yang menjadi sumber masalah. Saya hanya ingin berbagi sedikit cerita bagaimana reaksi Bonaran Situmeang tatkala mendengar putusan MK, yang mengesahkan kemenangannya, bersama Sukran Tanjung.

Bonaran yang mengikuti sidang dengan duduk di balkon atas, terlihat begitu tenang. Tak ada perubahan ekspresi di wajahnya, kecuali hanya senyum yang sedikit saja. Begitu pembacaan putusan usai, tetap saja dia duduk, tidak beranjak. Malah mengikuti sidang pembacaan putusan perkara pemilukada di daerah lain. Padahal, kala itu para pendukungnya sudah tumpah ruah di lobi gedung MK. Bersalaman, berpelukan, tak sedikit yang matanya basah.
Begitu keluar ruang MK, Bonaran makan siang di sebuah restoran di Jakarta dengan para pendukungnya. Di sana, saat diwawancarai koran ini, barulah terlihat ekspresi emosi Bonaran. Dengan suara berat, dia berucap terimakasih kepada masyarakat Tapteng. Dia menilai perjuangan rakyat Tapteng menghendaki perubahan, begitu hebat.

“Ini bukan kemenangan biasa, karena melalui proses yang panjang. Tuhan selalu berpihak kepada yang benar,” ujar Bonaran, tanpa didampingi Sukran.(*)

Catatan di Hari Pelantikan BOSUR Tapteng

Catatan: Sutomo Samsu

Selalu panas. Mirip sekali dengan pilkada 11 Desember 2005. Saat itu, pasangan Tuani Lumbantobing-Effendi Pohan sebagai pemenang, harus rela menanti keluarnya Surat Keputusan (SK) pengesahan hampir enam bulan. Tepatnya,
30 Mei 2006.

Ya, memang mirip. Saat itu, panasnya persoalan juga dipicu manuver KPU Tapteng, yang ketika itu dipimpin HT Lumban Tobing. KPU Tapteng mencoret pencalonan Roslila Sitompul yang dijagokan Golkar. Mendagri Moh Ma’ruf sempat mengeluarkan surat permintaan agar tahapan pemilukada ditunda dengan alasan keamanan, namun sikap KPU Tapteng melenggang. Pilkada jalan terus dan Tuani-Effendi menang.

Berbeda dengan belakangan yang sudah ada Mahmakah Konstitusi (MK) dengan kewenangannya memutus perkara dan bersifat final, kala itu ‘bola panas’ berada di tangan mendagri.

Dorong-mendorong intervensi politik dari dua orang petinggi Istana, sempat membuat mendagri pusing. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua Dewan Pembina PD dan Jusuf Kalla wapres dari Golkar itu, sama-sama berupaya menelusupkan kepentingan partai ke tangan mendagri. Mes ki DPP Golkar saat itu ngotot agar pemilukada diulang dengan mengikutsertakan Roslila, tapi pada akhirnya jari mendagri bergerak meneken SK untuk Tuani.
Tuani-Effendi lantas dilantik. Dan setelah itu, suasana adem-adem saja. Tak ada gejolak. Ketua DPP Golkar Burhanuddin Napitupulu (almarhum) yang sebelumnya bicara keras, akhirnya hanya mengatakan, “bahwa kasus ini akan menjadi catatan hitam DPP PG dalam hal proses pilkada”.

Inilah hebatnya politik. Ibarat lomba pukul bantal di atas sungai, masing-masing berupaya sekuat lengan menghantam agar lawan kehilangan keseimbangan. Tidak mempan dihantam kaki, hantam badan. Tak goyang dihantam badan, dihajarlah kepala. Tapi begitu sudah ada yang jatuh terjerembab, semua tertawa. Tiada dendam. Selesai!

“Tapi ini curang! Curangnya telanjang!”. Begitu kira-kira suara amarah para pendukung calon yang merasa dipermainkan KPU Tapteng. Bung, pemilukada itu ajang politik. Tabiat politik itu sudah terkenal jelek. Jika sebagai politisi selalu teriak merasa dicurangi, itu bukan seorang politisi. Lebih afdol jika langsung memilih tiket jalur hukum, agar yang tega mengkhianati kepercayaan publik masuk penjara! Yang lebih penting lagi, agar pemilukada 2016 nanti tidak mirip lagi dengan 2005 dan 2011. Untuk menjaga agar suara rakyat tidak terus-terusan dipermainkan mereka-mereka yang menjadi anggota KPUD. Agar ada preseden yang selalu diingat.

Saya tak ingin mengulang cerita dan berita tentang hiruk-pikuk pemilukada Tapteng 2011. Sudah jelas apa dan siapa yang menjadi sumber masalah. Saya hanya ingin berbagi sedikit cerita bagaimana reaksi Bonaran Situmeang tatkala mendengar putusan MK, yang mengesahkan kemenangannya, bersama Sukran Tanjung.

Bonaran yang mengikuti sidang dengan duduk di balkon atas, terlihat begitu tenang. Tak ada perubahan ekspresi di wajahnya, kecuali hanya senyum yang sedikit saja. Begitu pembacaan putusan usai, tetap saja dia duduk, tidak beranjak. Malah mengikuti sidang pembacaan putusan perkara pemilukada di daerah lain. Padahal, kala itu para pendukungnya sudah tumpah ruah di lobi gedung MK. Bersalaman, berpelukan, tak sedikit yang matanya basah.
Begitu keluar ruang MK, Bonaran makan siang di sebuah restoran di Jakarta dengan para pendukungnya. Di sana, saat diwawancarai koran ini, barulah terlihat ekspresi emosi Bonaran. Dengan suara berat, dia berucap terimakasih kepada masyarakat Tapteng. Dia menilai perjuangan rakyat Tapteng menghendaki perubahan, begitu hebat.

“Ini bukan kemenangan biasa, karena melalui proses yang panjang. Tuhan selalu berpihak kepada yang benar,” ujar Bonaran, tanpa didampingi Sukran.(*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/