Oleh: Amos Simanungkalit
Gerakan reformasi yang telah bergulir sebagai manifestasi kehendak rakyat untuk menciptakan tatanan yang demokratis dan berkeadilan ditanah pertiwi, pada kondisi terkini secara nyata telah kehilangan ruh kesejatiannya.
Manipulasi semangat reformasi oleh elit politik, bandit-bandit politik, dan kaum oportunis merupakan pengingkaran terhadap martabat rakyat Indonesia sebagai pemilik sah kedaulatan rakyat. Saat ini peristiwa-peristiwa politik yang picik bahkan keji serta tak beradab, masih saja menjadi tontonan memuakan bagi rakyat Indonesia. Pemberantasan, pengusutan serta pengadilan atas pemegang kekuasaan yang terlibat korupsi hanya merupakan kosmetik politik belaka. Hal tersebut telah menunjukan kepada kita, bahwa penguasa negeri ini tidak ada itikad baik untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
Dalam konteks substansi demokrasi, pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Namun pada tataran praktis dapat dijadikan sebagai politik pembalasan pada pihak yang ingkar. Dalam konteks Sumatera Utara pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada)Sumatera Utara telah di depan mata, pembalasan pada pihak yang ingkar bisa saja terjadi.
Hal lain yang mungkin terjadi, rakyat menggunakan pilihannya untuk tidak memilih karena menganggap hal itu hanya dagelan periodik. Terlepas pada pilihan tersesebut pada ruang ini seakan tiba waktunya rakyat untuk merebut kembali kepemilikannya yang sah atas kedaulatan rakyat. Sehingga, dibutuhkan kecerdasan rakyat untuk dapat melihat potensi para kandidat.
Terutama ketika rakyat kembali diperhadapkan pada hiruk-pikuk, intrik, manuver politik yang marak untuk memenuhi ambisi rakusnya kepentingan pribadi ataupun kelompok yang acapkali membingungkan.
Dalam konteks pertarungan politik pemilukada Sumatera Utara, pemimpin seperti apa yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi harapan rakyat Sumatera Utara. Menyoroti kepemimpinan hari ini tentunya rakyat semakin frustasi menghadapi situasi terhadap berbagai problematika kebangsaan dewasa ini.
Pemerintah sebagai pimpinan rakyat, pada berbagai keputusan politiknya menyatakan kehendak yang berbeda dengan apa yang diinginkan rakyat. Mengindikasikan bahwa “kekuasaan – kratos” seakan tanpa aspirasi dari “rakyat – demos. Sehingga yang terjadi adalah ada presiden namun tiada kepemimpinan negara, ada Gubernur namun tiada kepemimpinan daerah atau dalam konteks organisasi sosial, ada Ketua namun tanpa kepemimpinan organisasi.
Hal ini terjadi karena para elit tersebut (presiden, gubernur atau ketua) menjaga jarak dengan rakyat/anggota. Terdapat ruang yang berbeda antara pemimpin dengan. Lantas pemimpin yang bagaimana yang diharapkan rakyat, Joseph C. Rost, 1993, menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya.
Dalam konteks suksesi kepemimpinan di Sumatera Utara setidaknya pemimpin tersebut memiliki syarat, pertama, pemimpin harus memiliki spiritualitas yang teguh, hal ini cukup mendasar bahwa hakikatnya seorang pemimpin harus memiliki landasan spiritualitas.
Dengan menjalankan ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh, seseorang akan lebih memiliki jiwa kepemimpinan yang melayani. Melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat merupakan cerminan dari kesungguhannya menjalankan agama yang diyakininya. Dengan kata lain rakyat tidak menginginkan seorang pemimpin hanya dengan jargon dan menjadikan keyakinan sebagai hanya simbol tanpa dibarengi perwujudan menjalankan agama dengan sesungguhnya.
Kedua, pemimpin harus dapat menjadi teladan ditengah-tengah rakyat, pada saat ini kita sangat membutuhkan seseorang yang dapat menjadi teladan. Seseorang yang sesuai antara perkataan dengan perbuatan dan melakukannya secara konsisten. Munculnya berbagai konflik di elit kekuasaan hingga ke akar rumput, ditengarai terjadi karena tidak ada lagi orang yang menjadi teladan. Sehingga ketika seseorang mencoba untuk memberikan jalan tengah sebagai solusi terhadap konflik tersebut, semua cenderung mengabaikan, sebab orang yang memberikan solusi tersebut dipandang bukan orang yang berintegritas sehingga tidak pantas untuk didengar. Implikasinya, konflik yang pada dasarnya hal kecil dapat berujung pada konflik lebih luas antar kampung, antar organisasi, atau antar sekolah. Sehingga untuk dimasa mendatang sangat diharapkan kehadiran pemimpin yang dapat menjadi teladan bagi setiap generasi.
Ketiga, pemimpin harus dapat menjadi motivator, untuk menjawab begitu banyak pertanyaan terhadap berbagai permasalahan bangsa, hendaknya pemimpin memiliki semangat untuk menjadi batu pendorong terhadap tiap generasi bangsa ini sehingga dapat meningkatkan etos kerja. Belajar dari bangsa Jepang, ketika Nagasaki dan Hirosima hancur, mereka memiliki kesadaran yang tinggi untuk bangkit kembali. Kebangkitan Jepang dengan cepat dan dapat sejajar dengan bangsa maju lainnya merupakan salah satu buah dari kepemimpinan Kaisar Hirohito yang mengambil peran sebagai pembangkit semangat bangsa Jepang.
Keempat, pemimpin harus memiliki integritas. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana masa depan bangsa Jepang seandainya Kaisar Hirohito bukan seorang yang berintegritas tinggi. Ditengah kehancuran bangsa Jepang, Kaisar Hirohito begitu dirasakan kehadirannya oleh bangsa Jepang, menunjukkan kepemimpinannya yang berintegritas dan berkualitas tinggi. Hari ini “integritas” menjadi hal yang amat langka kita temui diseluruh negeri ini, semua seakan-akan mengedepankan citra terutama menjelang pemilu/pemilukada. Terlihat dari begitu banyak jargon-jargon yang mengusung bahwa “Partai Bersih”, “Calon Gubernur Bersih”, dan lain sebagainya, namun pada akhirnya banyak hal semakin membuktikan bahwa semua hanya kamuflase semata.
Seseorang yang berintegritas sudah pasti akan mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan dirinya sendiri. Sebab seseorang yang berintegritas memahami dengan jelas bahwa kalaupun dia memiliki kepentingan peribadi, dia sangat mengetahui bahwa didalam kepentingan orang banyak itu dipastikan telah menampung kepentingannya. Dengan demikian sudah pasti bahwa seseorang pemimpin yang berintegritas, setidaknya merupakan sosok yang tidak korupsi/kolusi/nepotisme, tidak diskriminatif, tidak arogan dan tidak sombong.
Kelima, pemimpin harus aspiratif. Salah satu pendiri bangsa ini, Ir. Soekarno dalam salah satu bukunya mengungkapkan bahwa pemimpin harus serta merta menjalankan seluruh roda kekuasaanya (Kratos) namun harus dalam tetap tahapan menjalankan amanat rakyat (Demos). Hal ini semakin menguatkan bahwa pada hakikatnya seorang pemimpin harus semakin mempertegas dirinya sebagai “Penyambung Lidah Rakyat”. Sebagai pemimpin yang aspiratif, maka seyogyanya pemimpin tidak boleh menjaga jarak dengan rakyat. Seorang pemimpin harus senantiasa bersama denga rakyat, sehingga mengetahui denyut nada suka duka rakyat yang dipimpin, dengan demikian akan mengetahui apa yang harus diperbuat.
Setidaknya kelima hal tersebut masih relevan untuk dapat menjadi syarat bagi pemimpin Sumatera Utara yang pada saat ini akan memasuki tahapan pemilihan. Setidaknya para calon yang sedang mempersiapkan diri dapat berkaca pada terhadap kelima hal tersebut. Resultan dari kelima hal itu, bahwa sosok pemimpin merupakan sosok yang menyerahkan hidupnya sebagai pelayan rakyat. Sebagai seorang pelayan, seorang pemimpin setidaknya harus memiliki spritualitas yang teguh, menjadi teladan, menjadi seorang motivator, berintegritas, dan aspiratif. Rakyat Sumatera Utara mendambakan sosok seorang pemimpin yang melayani, bukan dilayani.
Penulis Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara