Oleh: Chairil Huda
Optimalisasi nilai-nilai kebangsaan pada era reformasi belum terwujud, fenomena tersebut dikhawatirkan bisa berlanjut jika gelora kebangkitan kebangsaan tak digagas sejak dini.
Menurunnya nilai-nilai kebangsaan warga negara di awali ada rasa sakit hati atas kepemimpinan Presiden Soeharto pada era Orde Baru selama 32 tahun. Masyarakat merasa tak ada perubahan kesejahteraan, bahkan lowongan kerja bagi para sarjana semakin sulit.
Berkecemuknya pemikiran masyarakat disusul karena harga-harga kebutuhan pokok meningkat pada akhir 1997, sementara gaji buruh, karyawan perkebunan, dan pegawai negeri sipil (PNS) tak ada kenaikan. Bukan itu saja, harga pendidikan semakin tinggi.
Mahasiswa mulai berteriak di setiap provinsi menuntut penyamarataan kesejahteraan. Tapi, ketika itu ada perlawanan dari aparat penegak hukum dengan memberikan penindakan tegas. Dorongan mahasiswa dibantu masyarakat secara massal terus bergelora di setiap provinsi.
Tuntutan berujung kepada desakan agar mundurnya Presiden Soeharto karena tak bisa memberikan kesejahteraan merata kepada masyarakat, melainkan memberikan kekayaan kepada kroni-kroninya. Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Indonesia memasuki era reformasi atau era perubahan karena Presiden Soeharto mundur dari jabatannya dan wakil presiden ketika itu, BJ Habibie secara otomatis menjadi presiden.
Desakan massal berubah menjadi damai, pemerintahan mulai dari nol. Tapi, BJ Habibie berakhir kepemimpinannya pada 1999, sebelumnya melepas Provinsi Timor Timur menjadi negara. Muncul kembali keributan dan desakan agar dilaksanakannya Pemilu.
Indonesia terus bergolak, massa terus bergelora menunjukkan kekuatannya melakukan penekanan terhadap pemerintah. Bahkan, hasil pemilu memutuskan Abdurahman Wahid menjadi presiden RI, tapi akhirnya lengser karena ada beberapa persoalan mengenai tuduhan pelanggaran aturan.
Tak berhenti di situ, Ketua Umum PDI-P Megawati akhirnya duduk menjadi Presiden RI. Ternyata, massa tak juga diam muncul berbagai tuduhan atas berbagai pemanfaatan kekuasaan untuk kekayaan kelompoknya. Tapi, masa jabatannya terus berlanjut hingga dilaksanakannya Pemilu 2004.
Rentetan berubahnya era orde baru ke era reformasi membuat kehilangan pamong, sehingga masyarakat tak begitu peduli dengan apa yang dilakukan pemerintah. Pasalnya, masyarakat pun menginginkan bisa sejahtera. Jaminan kesejahteraan dari pemerintah tak datang dengan sendirinya.
Di tengah perubahan era, pemerintah dan masyarakat berjalan sendiri-sendiri. Alhasil, semboyan kebangsaan yakni Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu) dilupakan. Praktis, masyarakat berada dalam posisi memperbaiki perekonomian dan pendidikannya.
Ajaran Bhineka Tunggal Ika yang bersumber dari buku Sutasoma karya Mpu Tantular untuk menyelenggarakan pemerintahan yang adil dan bijaksana, yang dapat menjaga hubungan antarwarga secara harmonis dan saling menjaga/menguatkan memiliki kandungan, nilai harmonisasi dan nilai keadilan serta nilai gotong-royong.
Mengacu kepada nilai dasar yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika itu, bisa dilihat sekarang ini. Banyak siswa, mahasiswa dan generasi muda yang tak peduli dengan harmonisasi. Apalagi, prinsip keadilan jarang diwujudkan oleh setiap pemerintah daerah, hasilnya partisipasi untuk melakukan gotong-royong semakin rendah.
Kondisi tersebut membutuhkan suatu institusi untuk menghubungkan pemerintah dengan masyarakat, sehingga rasa kesakitan masyarakat pada era orde baru sama-sama sembuh di era reformasi.
Satu-satunya intitusi yang bisa menghubungkannya, seperti amanat dalam UU Pokok Pers No.40/1999 disebutkan, pada pasal 6 mengamanatkan, pers nasional melaksanakan peranannya, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam amanat aturan tersebut, wartawan sebagai pekerja pers memiliki tanggungjawab sosial seperti diatur dalam kode etik wartawan Indonesia versi sejumlah organisasi profesi wartawan. Pertanggungjawaban itu diwajibkan karena wartawan harus independen dan membuat pemberitaan faktual, benar dan actual.
Peranan wartawan semakin penting di tengah kondisi kesakitan masyarakat dan lunturnya semboyan bangsa. Wartawan yang bertugas mencari, mengumpulkan, menulis dan melaporkan informasi kepada masyarakat bisa memberikan pencerahan tentang gelora kebangsaan.
Hanya saja, wartawan tak bisa memberikan pencerahan untuk membangkitkan gelora nilai kebangsaaan jika pemerintah tak melakukan perubahan dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Pasalnya, sekarang ini masyarakat butuh pelayanan dari pemerintah.
Sesuai kode etik wartawan Indonesia, wartawan memiliki tugas menggelorakan kebangkitan kebangsaan sesuai dengan kaedah nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan dan lima sila pancasila. Di mana, masyarakat berketuhanan, berkemanusiaan, menjaga persatuan Indonesia, merakyat dan bermusyawarah serta berkeadilan.
Kelengkapan aturan itu sebenarnya sudah memiliki kekuatan jika aparatur pemerintah bersama wartawan giat menggelorakan kebangkitan nilai kebangsaan di tengah masa kebebasan dalam era reformasi. Sebelum adanya kebablasan yang parah, ada baiknya pemerintah membuat pendidikan mendalam tentang kebangsaan. Pasalnya, pendidikan tentang berkebangsaan juga kian terabaikan.
Pada kesempatan pendidikan ini, pemerintah dan wartawan sebenarnya berbagi tugas. Pemerintah bertugas memberikan pendidikan kepada generasi muda yang masih mengecam pendidikan formal, sedangkan wartawan memberikan pendidikan dan pengetahuan bagi usia dewasa karena bisa mengkonsumsi berita lewat media cetak serta elektronik.
Pentingnya pendidikan bagi usia dini, guna memutus mata rantai buruknya pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai kebangsaan. Sementara, informasi tentang beragam perubahan undang-undang lainnya disampaikan oleh wartawan melalui pemberitaan. Sinergi tugas inilah yang seharusnya terus diwujudkan demi menegakkan nilai-nilai kebangsaan.
Penulis: Chairil Huda
Wartawan Sumut Pos
Tulisan ini ikut serta dalam lomba Cipta Karya Tulis Badan Kesatuan Bangsa
Politik dan Perlindungan Masyarakat Kota Medan.