Oleh: Razman Arif Nasution
Minggu-minggu ini kita disuguhkan dengan berita-berita panas (hot news), ada berita tentang Suap Sapi (Luthfi Hasan Ishaq) yang sudah sampai pada tahap pemeriksaan saksi, ada juga ‘amputasi’ kekuasaan Anas oleh SBY di Partai Demokrat. Dan, tidak kalah menarik, menggoda, dan seksi tentang pajak (SPT) keluarga SBY di Cikeas, di mana keluarga ‘Y’ (Yudhoyono) ini diduga tidak membayar pajak keluarganya secara sengaja.
Sebagaimana kita mafhum bahwa membayar pajak adalah kewajiban setiap warga negara tanpa kecuali dan akan halnya membayar pajak ini tergolong biasa saja, apalagi hal ini hanya dilakukan oleh masyarakat biasa dengan per kapita pendapatan di bawah rata-rata pendapatan nasional. Tapi, akan menjadi ‘menggoda dan seksi’ jika itu dilakukan oleh seorang kepala negara dan kepala pemerintahan yang selalu mengaku sebagai warga negara taat asas dan taat hukum. Hal ini seakan menjadi panggung betapa kontraduktifnya sikap seorang SBY yang dengan senyum khas penuh kharisma membawa seberkas surat tanda bukti pembayaran pajak dan diliput media massa. Sementara, di sisi lain, SBY diduga justru menyembunyikan sesuatu yang melanggar asas kepatutan dan kepantasan dan bahkan pelanggaran hukum yang serius dengan tidak membayar pajak keluarganya. Maka, jadilah suasana ini menjadi gaduh dan makanan empuk para awak media dan juga para pegiat demokrasi dan pegiat antikorupsi di negeri ini.
Memang pekan lalu saya bersama teman-teman aktivis seperti Adhie Massardi, Ratna Sarumpaet, Adian Napitupulu, Boni Hargens dan juga Fuad Bawazier melaporkan kasus dugaan pajak (SPT) keluarga SBY ke KPK dan diliput hampir semua media di tanah air, bertambah ‘seksi’ karena kami juga memberikan keterangan pers di tangga Gedung KPK termasuk Fuad Bawazier sang mantan menteri keuangan dan mantan ditjen pajak di zaman Soeharto.
Perlu dan penting saya tegaskan, bahwa Fuad Bawazier memang sudah lama termasuk dalam gerakan kami yakni Gerakan Menegakkan Kedaulatan Negara (GMKN) bersama Din Syamsuddin, Fahmi Idris, Rizal Ramli, Wiranto, dan sejumlah nama tokoh lain. GMKN ini bergandengan tangan dengan Majelis Kedaulatan Negara Indonesia (MKRI) sebagai wadah menuju pemerintahan transisi. Saya tak ingin mengulas tentang GMKN dan MKRI, tetapi saya lebih kepada tajuk ‘Pajak Cikeas Versus Fuad Bawazier’.
Menggoda memang tajuk ini, kenapa? Karena Fuad adalah mantan pejabat di bidang keuangan dan pajak yang tentu saja tidak mudah mengkritisi seseorang apalagi itu melibatkan keluarga dengan nomor satu Indonesia. Tetapi, itulah Fuad Bawazier, seorang ekonom dan eksekutor bidang keuangan beberapa waktu lalu, ternyata jiwa dan nuraninya belum mati ketika melihat negeri yang dia cintai ini semakin hari kian memburuk kondisinya, seolah tak ada lagi yang bisa diharapkan dari seorang SBY, karena jangankan penyimpangan kekuasaan yang gede-gede akan terselesaikan, tapi hal sesederhana SPT pajak saja sudah mulai tak transparan. “Untuk diketahui SPT pajak rahasia negara dan bahkan internasional, tetapi kenapa bisa bocor keluar (The Jakarta Post), itulah akibat kalau selama ini Direktorat Jenderal Pajak diduga selalu dijadikan transaksi oleh orang-orang tertentu di negeri ini untuk biaya politiknya,” ucap Fuad pada pertemuan dengan wartawan, beberapa waktu lalu.
Bahasa Fuad inilah membuat ‘panas’ telinga Cikeas. Mereka seolah tidak terima dan seolah menuduh Fuad adalah informan bagi kami dipergerakan. Dan terbukti besoknya ramailah diberitakan bahwa Fuad Bawazier pernah punya masalah pajak sehingga gagal masuk kabinet di era reformasi. Berita yang hinggar bingar itu membuat Fuad terheran-heran dan kenapa justru dia yang diserang. “Saya heran kenapa saya yang diserang dan dituduh seolah bicara tanpa fakta, padahal kan The Jakarta Post yang mengungkapkanya,” kata Fuad kepada saya sesaat setelah kami secara bersama menghadiri pelantikan Majelis Nasional Kahmi di JCC Jakarta.
Menurut Fuad, tidak ada relavansi antara dirinya dengan pajak Cikeas. Jika itu menyangkut dirinya, Fuad mengatakan siap mempertanggungjawabkan, tetapi sesuai janji KPK bahwa pajak SBY itu segera diusut dan memang kami sebagai pegiat akan senantiasa mengikuti perkembangannya. Untuk informasi, keluarga SBY diduga mengemplang pajak terutama dua puteranya Mayor TNI Agus Harimurti Yudhoyono senilai 1,6 miliar dan Edhie Baskoro Yudhoyono sebanyak 6,2 miliar.
Apapun yang terjadi dari situasi ini, patut dicatat, pertama bahwa SBY harus membuktikan bahwa keluarganya benar-benar membayar pajak dan menjelaskan secara transparan lisan dan tulisan. Kedua SBY harus bisa membedakan bahwa bahasa Fuad tentang pajak SBY adalah hal yang sangat berbeda dengan diri pribadi Fuad sendiri. Kami para aktivis memang sudah membaca bahwa, jika sesuatu terungkap di dalam keluarga SBY maka responnya sangat cepat, tidak kurang dari 2 kali SBY menjawab tentang pajak ini, padahal sesunguhnya yang kita mau SBY menjelaskan secara utuh dengan bukti tertulis bukan bahasa yang bias ke mana-mana seperti bola salju. Kini saatnya memang rakyat harus cerdas menyikapi semua bahasa yang dilontarkan SBY karena SBY akan siap memotong setiap lawan poltiknya. Muncul pertanyaan ‘apakah SBY pembunuh berdarah dingin?’ Semoga tidak wahai presiden …. (*)
Penulis adalah Direktur Eksekutif Icon Watch Jakarta