Oleh: Harmada Sibuea
Di salah satu media sosial, seorang teman menuliskan sebuah status; “Adakah Cagubsu yang Peduli Dengan pendidikan dan Pendidik?” Sontak status itu menggelitik pikiran dan membuat saya kembali bertanya, iya ya, apakah akan ada dari lima pasangan calon Gubsu ini yang akan serius membangun pendidikan di Sumut? Ataukah pasangan kali ini cuma akan mengumbar janji-janji pembangunan pendidikan namun sekedar basa-basi seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya?
Tak ada yang membantah bahwa jika ingin membangun Sumut, harus dimulai dari pendidikan. Pendidikan berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup, baik individu, maupun masyarakatnya. Hipotesis, semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, maka semakin baik pula kualitas sumber daya manusianya, sangatlah kita yakini.
Hipotesis ini terbukti bukan sekedar asumsi, atau cuma sekedar mimpi apalagi utopia. Di berbagai negara, hipotesis itu telah terbukti sangat manjur. Rasanya tak ada negara yang mengalami kemajuan pesat saat pendidikannya mengalami kemunduran. Namun jika berkaca pada pembangunan di Sumut, rasanya hipotesis sekaligus impian itu, baru sekedar manis di bibir.
Sumut Perlu Kerja Keras
Tak perlu menyebut banyak data untuk membuktikan betapa Sumut perlu kerja keras lebih agar kualitas pendidikan dan kualitas manusianya kian lebih baik. Kita bisa lihat sendiri bahwa pendidikan di Sumut masih butuh banyak pembenahan. Selain ketersediaan sekolah yang perlu ditambah untuk meningkatkan partisipasi sekolah anak-anak usia sekolah.
Juga amat perlu meningkatkan kualitas sarana-prasarana pendidikan yang ada di Sumut ini. Sebagaimana terjadi di mayoritas daerah di Indonesia, sekolah yang rusak, roboh dan tidak layak pakai juga masih mudah kita temui di Sumut ini. Belum lagi ketersediaan sarana-prasarana belajar semisal alat-alat laboratorium, alat bantu mengajar, kelengkapan perpustakaan dan lain sebagainya.
Dan yang tidak kalah penting adalah bagaimana meningkatkan kualitas guru atau tenaga pendidik. Selain siswa, guru adalah faktor yang menentukan meningkat-Sayangnya, sebagaimana di Nasional, persoalan guru juga merupakan persoalan utama di Sumut. Baik dari segi kualitas, kuantitas maupun distribusinya. Hasil Uji Kompetensi Awal (UKA) guru tahun 2012 bahkan memposisikan provinsi Sumut sebagai peringkat sembilan terburuk di Indonesia.
Sebenarnya pendidikan sebagai prioritas, telah sering kita dengar dalam program-program para gubernur kita yang dulu. Hampir semua gubernur selalu menyematkan pendidikan dalam visi-misinya. Pasangan Syampurno adalah salah satu pasangan yang terkenal dengan visi “agar rakyat tidak bodoh”. Namun harus diakui, pergantian demi pergantian rezim di Sumatera Utara ini belum membuahkan hasil yang membanggakan khususnya di dunia pendidikan kita.
Bila berkaca pada pembangunan pendidikan pada lima tahun terakhir ini, harus diakui bahwa hampir tidak ada perkembangan berarti. Selain karena tak jelas fokus pembangunannya, juga karena hampir tidak ada terobosan. Tersangkutnya Gubsu Syamsul Arifin karena kasus korupsi dan wakilnya Gatot pun cuma berstatus sebagai Plt, barangkali bisa dijadikan sebagai dalih mengapa pembangunan pendidikan di Sumut agak terbengkalai.
Tetapi apakah cuma karena sekedar hal itu, atau ada persoalan krusial lain yang sebenarnya lebih mendasari? Semisal minimnya komitmen dan ketidaktahuan posisi provinsi dalam pembangunan pendidikan di era otonomi daerah.
Dalam era otonomi daerah, pendidikan dan segala perangkatnya kini berada di tangan kabupaten/kota, sementara pusat lebih bertindak sebagai pemberi dana dan “hakim” atau penilai -baik melalui UN, ujian kompetensi guru, dan standarisasi lainnya. Provinsi selain sebagai penuntun bagi kabupaten/kota mau dibawa kemana arah pendidikan kita, juga seharusnya lebih berfungsi sebagai pemback-up kabupaten/kota. Persoalan yang tak bisa ditangani kabupaten/kota harusnya bisa di back-up oleh provinsi. Sehingga terjadi share tanggung-jawab.
Apalagi dengan tidak adanya pos gaji guru (sebagai pos paling besar menyedot anggaran pendidikan di daerah), harusnya anggaran pendidikan bisa dialokasikan untuk peningkatan kualitas. Karena itulah, Pilgubsu kali ini merupakan momentum untuk menimbang pasangan mana yang paling serius membangun pendidikan.
Pasangan yang tidak hanya menyebutkan pendidikan dalam visi misinya, atau pasangan yang sesumbar dengan sejumlah program pendidikan. Tapi pasangan yang serius membangun pendidikan dengan alokasi anggaran yang mumpuni dan dengan sejumlah program terobosan yang terukur dan realistis. Tentu saja dengan menggandeng kabupaten/kota sebagai “pemilik” pendidikan.
Penulis adalah Mahasiswa
Pasca Sarjana UGM