29 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Dari Elektabilitas ke Krisis Kepemimpinan (1)

Politik Pemilu 2014:

Oleh:
Prof DR HM Arif Nasution

Tahun 2012 diprediksi sebagai tahun konsolidasi politik awal bagi para elit politik dan partai politik hingga mencapai titik kulminasinya di 2014 mendatang. Sebagai sebuah konsolidasi politik awal, tentu iklim politik dengan tingkat dinamika politik yang tinggi akan kerap menghiasi perjalanan hari-hari pemerintahan SBY. Dalam konteks itulah, wajar apabila SBY khawatir dinamika poltik dalam demokrasi Indonesia kedepan kan berimplikasi kepada timbulnya kegaduhan politik yang berdampak pada terjadinya distabilitas di berbagai sektor.

Tingginya dinamika politik di 2012 ini, diperdiksi cenderung dipengaruhi sejumlah ekspektasi partai politik dan berbagai instrument atau UU sistem politik yang mewarnai dan mempengaruhi quo vadis parpol dalam mendulang suara di Pemilu 2014 –termasuk berbagai kasus-kasus hukum korupsi yang juga akan diprediksi akan dijadikan angle kelompok elit untuk masuk ke dalam ruang yang lebih produktif melegitimasi eksistensi. Baik eksistensi partai politik, maupun eksistensi politik untuk berkiprah di panggung politik formal di senayan melalui Pemilu legislatif maupun Pilpres 2014 mendatang.
Indikator naiknya prinsip politik di 2012 ini dipengaruhi pula oleh sejumlah agenda-agenda krusial yang dijadikan barometer bagi elit politik untuk semakin fokus merancang strategi pencapaian target politiknya di 2014 mendatang. Dan tahun 2012 adalah momentum paling tetap untuk mengelaborasi kebutuhan sejumlah keinginan dan peluang yang tersedia itu.

Ketersedia peluang mengkontruksi peran dan eksistensi Parpol di 2012 ini dapat dilihat dari dua faktor. Yakni faktor keberadaan swing voter dan kondisi floating mass yang disebabkan karena implikasi politik kebijakan pemerintah yang bertalian kelindan dengan kepentingan rakyat.

Faktor swing voter dalam kondisi dan konstelasi politik saat ini menjadi momentum strategis partai politik untuk mengkondisikan pimilih yang tadinya memiliki ekspetasi positif terhadap partai politik yang sebelumnya menjadi pilihan masyarakat. Dalam konteks ini partai politik berupa memanfaatkan momentum berbagai kasuk dan konflik dimasyarakat yang belum atau tidak pernah tuntas.

Kasus kasus hukum (korupsi) maupun konflik sosial yang terjadi di masyarakat yang ditengarai karena lemahnya peran dan kebijakan negara terhadap penuntasan berbagai kasus tersebut, akan secara umum dijadikan pintu masuk bagi parpol untuk mendorong legitimasi dan kepentingan politiknya.
Legitimasi pencitraan parpol dengan merebut swing voter akan dicapai dengan cara mendestrukturisasi peran dan eksistensi partai penguasa saat ini yang tercederai oleh banyaknya fakta kedar politik partai penguasa yang terlibat berbagai kasus.

Pengakusisian swing voter melalui penggalangan opini untuk merubah atau menggeser paradigma keberpihakan kepada partai politik tertentu diprediksi akan dilakukan dengan mensubmasi kebijakan politik pemerintah saat ini yang sejatinya dianggap tidak perpihak pada kepentingan rakyat.

Berbagai kelemahan fundamental pemerintah dalam menjalankan program-program kerakyatan, selama ini akan dieksploitasi oleh parpol dan politisi untuk dan merubah mind set pemilih, yang tadinya berpihak pada partai penguasa untuk beralih kepartai politik lain. Apalagi diduga saat ini makin banyak terurai para pemilih labil yang kecewa atas berbagai sikap dan perilaku politik Partai Demokrat serta kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Diprekdiksi dengan pola ini tingkat kegaduhan politik akan semakin  distrosif, mengingat secara defensif partai politik penguasa (Partai Demokrat) tidak akan tinggal diam.

Menyoal fenomena tersebut, tentunya Partai Demokrat secara internal akan menerapkan kebijakan dengan memberlakukan  “darurat politik partai” bagi para kader-kadernya. Di mana segenap kader partai akan senantiasa melibatkan berbagai spektrum kesempatan dan momentum untuk mendemarkasi segala kemungkinan pressure parpol lain untuk menarik pemilih. Baik masa pemilih yang sudah menyatakan kekecewaannya terhadap Partai Democrat, maupun menggoyang masa pemilih laten Partai Demokrat agar mengurungkan niatnya kembali untuk memilih partai tersebut di Pemilu 2014.

Elektebiitas Menjelang Pemilu 2014

Lembaga Survei Indonesia (LSI) memperkirakan tingkat partisipasi pemilih yang menggunakan hak suaranya pada Pemilu legislatif akan terus menurun dan bisa sampai kurang dari 50 persen. Penurunan tingkat partisipasi masyarakat pada Pemilu legislatif disebabkan tingkat kepercayaan terhadap partai politik terus menurun. Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 sebesar 93,3 persen, pada Pemilu 2004 turun menjadi 84,9 persen, kemudian pada Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99 persen. Dalam 10 tahun, tingkat partisipasi pemilih sudah turun sekitar 50 persen dari 90,33 persen menjadi 70,99 persen. Jika penurunan tingkat partisipasi pemilih tersebut secara linier, maka diperkirakan tingkat partisipasi pemilih pada 2014 akan turun lagi menjadi sekitar 60 persen dan Pemilu 2019 menjadi kurang dari 50 persen. Jika sampai pada titik ini menunjukan tanda-tanda partai politik sama sekali tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Terus menurunya tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu, menunjukan bahwa hubungan emosional antara partai politik, dengan pemilihnya sangat lemah, karena sebagian besar pemilih adalah pemilih mengambang. Dari seluruh pemilih di Indonesia, hanya sekitar 20 persen yang loyal dan menyatakan dekat dengan partai politik secara keseluruhan, serta sebanyak 78,8 persen menyatakan tidak dekat dengan partai politik atau massa mengambang. Dari jumlah 20 persen pemilih yang merasa dekat dengan partai poltik, sebarannya meliputi, PDI Perjuangan sebanyak 5,1 persen, Partai Golkar 3,7 persen partai democrat 3,5 persen PKS 1,7 persen, PPP 1,3 persen, dan PKB 1,1 persen. Partai politik yang ada ideology dan program kerjannya juga tidak jelas. Partai politik, tidak melakukan pendidikan politik secara kontinyu, tidak lebih banyak melakukan mobilisasi dukungan hanya beberapa bulan menjelang pemilu dengan pendekatan uang.(bersambung)

Penulis adalah Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sumut

Politik Pemilu 2014:

Oleh:
Prof DR HM Arif Nasution

Tahun 2012 diprediksi sebagai tahun konsolidasi politik awal bagi para elit politik dan partai politik hingga mencapai titik kulminasinya di 2014 mendatang. Sebagai sebuah konsolidasi politik awal, tentu iklim politik dengan tingkat dinamika politik yang tinggi akan kerap menghiasi perjalanan hari-hari pemerintahan SBY. Dalam konteks itulah, wajar apabila SBY khawatir dinamika poltik dalam demokrasi Indonesia kedepan kan berimplikasi kepada timbulnya kegaduhan politik yang berdampak pada terjadinya distabilitas di berbagai sektor.

Tingginya dinamika politik di 2012 ini, diperdiksi cenderung dipengaruhi sejumlah ekspektasi partai politik dan berbagai instrument atau UU sistem politik yang mewarnai dan mempengaruhi quo vadis parpol dalam mendulang suara di Pemilu 2014 –termasuk berbagai kasus-kasus hukum korupsi yang juga akan diprediksi akan dijadikan angle kelompok elit untuk masuk ke dalam ruang yang lebih produktif melegitimasi eksistensi. Baik eksistensi partai politik, maupun eksistensi politik untuk berkiprah di panggung politik formal di senayan melalui Pemilu legislatif maupun Pilpres 2014 mendatang.
Indikator naiknya prinsip politik di 2012 ini dipengaruhi pula oleh sejumlah agenda-agenda krusial yang dijadikan barometer bagi elit politik untuk semakin fokus merancang strategi pencapaian target politiknya di 2014 mendatang. Dan tahun 2012 adalah momentum paling tetap untuk mengelaborasi kebutuhan sejumlah keinginan dan peluang yang tersedia itu.

Ketersedia peluang mengkontruksi peran dan eksistensi Parpol di 2012 ini dapat dilihat dari dua faktor. Yakni faktor keberadaan swing voter dan kondisi floating mass yang disebabkan karena implikasi politik kebijakan pemerintah yang bertalian kelindan dengan kepentingan rakyat.

Faktor swing voter dalam kondisi dan konstelasi politik saat ini menjadi momentum strategis partai politik untuk mengkondisikan pimilih yang tadinya memiliki ekspetasi positif terhadap partai politik yang sebelumnya menjadi pilihan masyarakat. Dalam konteks ini partai politik berupa memanfaatkan momentum berbagai kasuk dan konflik dimasyarakat yang belum atau tidak pernah tuntas.

Kasus kasus hukum (korupsi) maupun konflik sosial yang terjadi di masyarakat yang ditengarai karena lemahnya peran dan kebijakan negara terhadap penuntasan berbagai kasus tersebut, akan secara umum dijadikan pintu masuk bagi parpol untuk mendorong legitimasi dan kepentingan politiknya.
Legitimasi pencitraan parpol dengan merebut swing voter akan dicapai dengan cara mendestrukturisasi peran dan eksistensi partai penguasa saat ini yang tercederai oleh banyaknya fakta kedar politik partai penguasa yang terlibat berbagai kasus.

Pengakusisian swing voter melalui penggalangan opini untuk merubah atau menggeser paradigma keberpihakan kepada partai politik tertentu diprediksi akan dilakukan dengan mensubmasi kebijakan politik pemerintah saat ini yang sejatinya dianggap tidak perpihak pada kepentingan rakyat.

Berbagai kelemahan fundamental pemerintah dalam menjalankan program-program kerakyatan, selama ini akan dieksploitasi oleh parpol dan politisi untuk dan merubah mind set pemilih, yang tadinya berpihak pada partai penguasa untuk beralih kepartai politik lain. Apalagi diduga saat ini makin banyak terurai para pemilih labil yang kecewa atas berbagai sikap dan perilaku politik Partai Demokrat serta kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Diprekdiksi dengan pola ini tingkat kegaduhan politik akan semakin  distrosif, mengingat secara defensif partai politik penguasa (Partai Demokrat) tidak akan tinggal diam.

Menyoal fenomena tersebut, tentunya Partai Demokrat secara internal akan menerapkan kebijakan dengan memberlakukan  “darurat politik partai” bagi para kader-kadernya. Di mana segenap kader partai akan senantiasa melibatkan berbagai spektrum kesempatan dan momentum untuk mendemarkasi segala kemungkinan pressure parpol lain untuk menarik pemilih. Baik masa pemilih yang sudah menyatakan kekecewaannya terhadap Partai Democrat, maupun menggoyang masa pemilih laten Partai Demokrat agar mengurungkan niatnya kembali untuk memilih partai tersebut di Pemilu 2014.

Elektebiitas Menjelang Pemilu 2014

Lembaga Survei Indonesia (LSI) memperkirakan tingkat partisipasi pemilih yang menggunakan hak suaranya pada Pemilu legislatif akan terus menurun dan bisa sampai kurang dari 50 persen. Penurunan tingkat partisipasi masyarakat pada Pemilu legislatif disebabkan tingkat kepercayaan terhadap partai politik terus menurun. Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 sebesar 93,3 persen, pada Pemilu 2004 turun menjadi 84,9 persen, kemudian pada Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99 persen. Dalam 10 tahun, tingkat partisipasi pemilih sudah turun sekitar 50 persen dari 90,33 persen menjadi 70,99 persen. Jika penurunan tingkat partisipasi pemilih tersebut secara linier, maka diperkirakan tingkat partisipasi pemilih pada 2014 akan turun lagi menjadi sekitar 60 persen dan Pemilu 2019 menjadi kurang dari 50 persen. Jika sampai pada titik ini menunjukan tanda-tanda partai politik sama sekali tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Terus menurunya tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu, menunjukan bahwa hubungan emosional antara partai politik, dengan pemilihnya sangat lemah, karena sebagian besar pemilih adalah pemilih mengambang. Dari seluruh pemilih di Indonesia, hanya sekitar 20 persen yang loyal dan menyatakan dekat dengan partai politik secara keseluruhan, serta sebanyak 78,8 persen menyatakan tidak dekat dengan partai politik atau massa mengambang. Dari jumlah 20 persen pemilih yang merasa dekat dengan partai poltik, sebarannya meliputi, PDI Perjuangan sebanyak 5,1 persen, Partai Golkar 3,7 persen partai democrat 3,5 persen PKS 1,7 persen, PPP 1,3 persen, dan PKB 1,1 persen. Partai politik yang ada ideology dan program kerjannya juga tidak jelas. Partai politik, tidak melakukan pendidikan politik secara kontinyu, tidak lebih banyak melakukan mobilisasi dukungan hanya beberapa bulan menjelang pemilu dengan pendekatan uang.(bersambung)

Penulis adalah Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sumut

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/