25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Murtad Era Modern

Oleh: Samsul Nizar

Tatkala mendengar kata “murtad” hampir semua orang berasumsi bahwa telah terjadi perpindahan agama atau seseorang telah keluar dari agama yang diyakini sebelum ini ke agama lain di luar agamanya. Istilah murtad dikenal oleh semua agama. Secara sederhana, istilah ini dipahami :keluarnya seorang pemeluk agama dari keyakinan agamanya dan berpindah pada agama lain.

Dalam Islam, murtad adalah termasuk salah satu dosa besar yang utama. Bagi mereka yang murtad akan kekal selamanya di neraka sebagai balasan atas kedurhakaannya terhadap Allah dan akan kekal bersama iblis laknatullah.

Murtad selalu hanya dibahas pada saat ia terjadi, akan tetapi tak pernah dibicarakan dalam dataran proses terjadinya pemurtadan. Agaknya, upaya untuk memurtadkan seseorang bukanlah pekerjaan mudah. Hal ini disadari oleh kelompok luar yang sangat membenci Islam bahwa sulitnya untuk memurtadkan umat Islam dalam arti pindah agama.

Untuk itu, meraka berusaha melakukan aktivitas memurtadkan umat Islam dengan cara yang semakin halus dan sistemtis.

Pada tataran modern, murtad dalam arti klasik perlu diperbincangkan kembali. Jika makna klasik akan tetap dipertahankan, maka generasi Islam akan tidak mampu diselamatkan.

Sebab, upaya pemurtadan saat ini bukan lagi dengan mengajak generasi Islam untuk pindah agama, sebab hal tersebut akan sulit terjadi. Saat ini, upaya memurtadkan generasi Islam dilakukan dengan merusak karakter generasi Islam. Ibaratkan sebuah rumah, kelompok luar yang sangat membenci Islam tidak lagi berusaha merusak rumah karena mereka sadar akan mendapat tantangan keras dari umat Islam.

Oleh karenanya, yang mereka lakukan adalah merusak pondasi dan isi rumah. Mungkin rumah cantik dan megah, namun pondasi dan isi sangat rapuh. Hal inilah yang perlu diwaspadai terhadap upaya-upaya pemurtadan era modern.

Umat Islam lupa bahwa upaya pemurtadan era modern terhadap generasi Islam telah berlangsung terus-menerus. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bentuk, yaitu: Pertama, mengambil peduli terhadap orang-orang miskin.

Bukankah Rasulullah pernah berpesan, bahawa “kemiskinan lebih dekat kepada kekufuran”. Di sinilah upaya awal yang dilakukakan yaitu denga  mengambil kira terhadp orang-orang miskin.

Mereka tak segan-segan turun langsung ke akar umbi dan mengeluarkan uang jutaan ringgit untuk mengambil hati orang-orang yang terhimpit ekonominya. Kepedulian mereka tak jarang mendapat simpati dari umat Islam dari kelas ekonomi rendah. Sementara, umat Islam terkadang lengah dengan kondisi ekonomi saudara seimannya. Kita kadang terlupa dengan saudara kita yang kurang bernasib baik.

Akibatnya, mereka terlantarkan dengan himpitan ekonomi. Kondisi psikologis ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani untuk mengambil hati, sekaligus secara perlahan memasukkan jarum jahat ajaran agamanya.

Untuk itu, umat Islam dan lembaga dakwah sudah saatnya menyelamatkan kaum dhuafa dan turun padang yang selama ini kurang mendapat perhatian.
Kedua, upaya mendangkalkan akidah generasi Islam melalui berbagai publikasi melalui media massa yang secara terang-terangan menjurus pada terjadinya pemurtadan, seperti publikasi perdukunan, publikasi ramalan, dan sejenisnya.

Anehnya, para ulama dan institusi keulamaan justru tak pernah ambil pusing dengan iklan seperti ini dan tak pernah terdengar mereka melakukan somasi atas stasiun tv yang menayangkannya.

Persoalan yang vital ini justru kalah oleh isu pengaharaman rokok yang sampai hari ini kurang efektif.

Ketiga, merusak budaya Islam dengan budaya kapitalis yang bermuara pada menjadikan jabatan, harta, pangkat dan pergaulan bebas sebagai “tuhan” baru yang dikemas dengan bentuk budaya modern.

Keempat, merubah orientasi umat Islam kepada kehidupan materialistik dan paham hedonistik. Pandangan ini menjadikan “Barat” yang disusupi oleh strategi musuh Islam sebagai pandangan dan kiblat modern.

Akibatnya, seluruh sistem umat Islam kehilangan sendi agama (tauhid). Asumsi ini merubah pandangan hidup generasi Islam untuk tidak begitu peduli dengan pendidikan agama, akan tetapi sangat peduli dengan pendidikan modern yang kekurangan nilai Islamnya.

Bahkan, kurikulum pendidikan sudah disusupi upaya menjauhkan Islam dari pemeluknya. Teori-teori ilmiah dianggap hanya milik Barat. Sumber rujukan lebih diagungkan dari Barat. Generasi Islam lebih kenal dengan teori Big Bang yang dikembangkan Barat ketimbang teori emanasi yang dikembangkan oleh Al-Farabi yang juga mengetengahkan teori penciptaan alam.

Generasi Islam lebih kenal dengan Maslow, Harbert Spencer, Elizabeth B Horlock dengan teori psikologinya ketimbang teori Ibnu Sina yang lebih lengkap membicarakan tentang psikologi.

Di sini secara jelas bahwa generasi Islam sengaja dijauhkan dari pemikiran Islam dan dijauhkan dari mengenal pemikir Islam agar generasi Islam hanya mengenal pemikir Yahudi dan Nasrani. Akhirnya, kita menjadi sangat mendewakan mereka.
Sudah saatnya isu pemurtadan ini menjadi topik yang patut diperbincangkan secara serius. Bila kita terlalu memahami murtad hanya seseorang berpindah agama, maka kita akan terlalaikan.

Sebab, upaya memurtadkan generasi Islam yang dilancarkan kelompok luar yang sangat membenci Islam tidak lagi dalam bentuk upaya klasik.
Justru mereka saat ini telah memainkan upaya yang halus. Mereka tidak lagi menjadikan pindah agama sebagai matlamat murtad, akan tetapi membiarkan generasi Islam untuk tetap pada agama yang diyakininya, namun jati diri dan kepribadiannya yang terlepas dari agama yang diyakininya.
Kesemua ini merupakan tanggung jawab kita bersama yang peduli untuk menyelamatkan akidah dan keperibadian generasi. Wa Allahua’lam bi al-shawwab.(*)

*Samsul Nizar, Guru Besar pada
Fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN
Suska Riau dan Ketua Yayasan
STAI al-Kautsar Bengkalis.

Oleh: Samsul Nizar

Tatkala mendengar kata “murtad” hampir semua orang berasumsi bahwa telah terjadi perpindahan agama atau seseorang telah keluar dari agama yang diyakini sebelum ini ke agama lain di luar agamanya. Istilah murtad dikenal oleh semua agama. Secara sederhana, istilah ini dipahami :keluarnya seorang pemeluk agama dari keyakinan agamanya dan berpindah pada agama lain.

Dalam Islam, murtad adalah termasuk salah satu dosa besar yang utama. Bagi mereka yang murtad akan kekal selamanya di neraka sebagai balasan atas kedurhakaannya terhadap Allah dan akan kekal bersama iblis laknatullah.

Murtad selalu hanya dibahas pada saat ia terjadi, akan tetapi tak pernah dibicarakan dalam dataran proses terjadinya pemurtadan. Agaknya, upaya untuk memurtadkan seseorang bukanlah pekerjaan mudah. Hal ini disadari oleh kelompok luar yang sangat membenci Islam bahwa sulitnya untuk memurtadkan umat Islam dalam arti pindah agama.

Untuk itu, meraka berusaha melakukan aktivitas memurtadkan umat Islam dengan cara yang semakin halus dan sistemtis.

Pada tataran modern, murtad dalam arti klasik perlu diperbincangkan kembali. Jika makna klasik akan tetap dipertahankan, maka generasi Islam akan tidak mampu diselamatkan.

Sebab, upaya pemurtadan saat ini bukan lagi dengan mengajak generasi Islam untuk pindah agama, sebab hal tersebut akan sulit terjadi. Saat ini, upaya memurtadkan generasi Islam dilakukan dengan merusak karakter generasi Islam. Ibaratkan sebuah rumah, kelompok luar yang sangat membenci Islam tidak lagi berusaha merusak rumah karena mereka sadar akan mendapat tantangan keras dari umat Islam.

Oleh karenanya, yang mereka lakukan adalah merusak pondasi dan isi rumah. Mungkin rumah cantik dan megah, namun pondasi dan isi sangat rapuh. Hal inilah yang perlu diwaspadai terhadap upaya-upaya pemurtadan era modern.

Umat Islam lupa bahwa upaya pemurtadan era modern terhadap generasi Islam telah berlangsung terus-menerus. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bentuk, yaitu: Pertama, mengambil peduli terhadap orang-orang miskin.

Bukankah Rasulullah pernah berpesan, bahawa “kemiskinan lebih dekat kepada kekufuran”. Di sinilah upaya awal yang dilakukakan yaitu denga  mengambil kira terhadp orang-orang miskin.

Mereka tak segan-segan turun langsung ke akar umbi dan mengeluarkan uang jutaan ringgit untuk mengambil hati orang-orang yang terhimpit ekonominya. Kepedulian mereka tak jarang mendapat simpati dari umat Islam dari kelas ekonomi rendah. Sementara, umat Islam terkadang lengah dengan kondisi ekonomi saudara seimannya. Kita kadang terlupa dengan saudara kita yang kurang bernasib baik.

Akibatnya, mereka terlantarkan dengan himpitan ekonomi. Kondisi psikologis ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani untuk mengambil hati, sekaligus secara perlahan memasukkan jarum jahat ajaran agamanya.

Untuk itu, umat Islam dan lembaga dakwah sudah saatnya menyelamatkan kaum dhuafa dan turun padang yang selama ini kurang mendapat perhatian.
Kedua, upaya mendangkalkan akidah generasi Islam melalui berbagai publikasi melalui media massa yang secara terang-terangan menjurus pada terjadinya pemurtadan, seperti publikasi perdukunan, publikasi ramalan, dan sejenisnya.

Anehnya, para ulama dan institusi keulamaan justru tak pernah ambil pusing dengan iklan seperti ini dan tak pernah terdengar mereka melakukan somasi atas stasiun tv yang menayangkannya.

Persoalan yang vital ini justru kalah oleh isu pengaharaman rokok yang sampai hari ini kurang efektif.

Ketiga, merusak budaya Islam dengan budaya kapitalis yang bermuara pada menjadikan jabatan, harta, pangkat dan pergaulan bebas sebagai “tuhan” baru yang dikemas dengan bentuk budaya modern.

Keempat, merubah orientasi umat Islam kepada kehidupan materialistik dan paham hedonistik. Pandangan ini menjadikan “Barat” yang disusupi oleh strategi musuh Islam sebagai pandangan dan kiblat modern.

Akibatnya, seluruh sistem umat Islam kehilangan sendi agama (tauhid). Asumsi ini merubah pandangan hidup generasi Islam untuk tidak begitu peduli dengan pendidikan agama, akan tetapi sangat peduli dengan pendidikan modern yang kekurangan nilai Islamnya.

Bahkan, kurikulum pendidikan sudah disusupi upaya menjauhkan Islam dari pemeluknya. Teori-teori ilmiah dianggap hanya milik Barat. Sumber rujukan lebih diagungkan dari Barat. Generasi Islam lebih kenal dengan teori Big Bang yang dikembangkan Barat ketimbang teori emanasi yang dikembangkan oleh Al-Farabi yang juga mengetengahkan teori penciptaan alam.

Generasi Islam lebih kenal dengan Maslow, Harbert Spencer, Elizabeth B Horlock dengan teori psikologinya ketimbang teori Ibnu Sina yang lebih lengkap membicarakan tentang psikologi.

Di sini secara jelas bahwa generasi Islam sengaja dijauhkan dari pemikiran Islam dan dijauhkan dari mengenal pemikir Islam agar generasi Islam hanya mengenal pemikir Yahudi dan Nasrani. Akhirnya, kita menjadi sangat mendewakan mereka.
Sudah saatnya isu pemurtadan ini menjadi topik yang patut diperbincangkan secara serius. Bila kita terlalu memahami murtad hanya seseorang berpindah agama, maka kita akan terlalaikan.

Sebab, upaya memurtadkan generasi Islam yang dilancarkan kelompok luar yang sangat membenci Islam tidak lagi dalam bentuk upaya klasik.
Justru mereka saat ini telah memainkan upaya yang halus. Mereka tidak lagi menjadikan pindah agama sebagai matlamat murtad, akan tetapi membiarkan generasi Islam untuk tetap pada agama yang diyakininya, namun jati diri dan kepribadiannya yang terlepas dari agama yang diyakininya.
Kesemua ini merupakan tanggung jawab kita bersama yang peduli untuk menyelamatkan akidah dan keperibadian generasi. Wa Allahua’lam bi al-shawwab.(*)

*Samsul Nizar, Guru Besar pada
Fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN
Suska Riau dan Ketua Yayasan
STAI al-Kautsar Bengkalis.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/