26.7 C
Medan
Saturday, June 1, 2024

Mutu Perguruan Tinggi

Oleh:
Dian Syahfitri *

Di perguruan tinggi, seorang dosen memegang peran sangat penting bagi kemajuan institusinya. Hal ini telah lama disadari dosen itu sendiri. Kesadaran ini ditunjukkan oleh upaya-upaya pribadi untuk manjadikan dirinya memiliki kompetensi dan kepakaran yang sesuai dengan minat dan bidang yang ditekuni.

Dia menjadi terkenal di masyarakat tentang kepakarannya tersebut. Banyak presentasi di berbagai seminar yang semakin menunjukkan kepakarannya sehingga dikenal luas di masyakarat.

Adakah kontribusi dosen tersebut terhadap kualitas pembelajaran di perguruan tinggi tempat dosen tersebut bernaung? Jawabnya ada. Karena perguruan tinggi tempat dosen berasal jadi semakin dikenal luas oleh masyarakat. Banyak mahasiswa yang bangga karena diajar oleh dosen yang sangat terkenal dan dikenal di masyarakat luas. Akhirnya, banyak mahasiswa termotivasi untuk dapat bercita-cita ingin menjadi seorang dosen yang terkenal tersebut. Semakin banyak perguruan tinggi tersebut memiliki dosen-dosen pakar yang terkenal, akan banyak mahasiswa yang termotivasi. Kuliah selalu penuh, banyak seminar dan diskusi. Debat kepakaran antardosen melingkupi atmosfer akademik di perguruan tinggi tersebut, mahasiswa pun terbawa suasana akademik yang baik tersebut, sungguh sangat membanggakan. Dimanakah letak keberhasilan seorang dosen dalam meningkatkan kualitas mahasiswanya?

Langkah-langkah yang perlu untuk dapat merealisasikan ini, diawali dengan desain dari kurikulum, proses pembelajaran sampai dengan standard penilaiannya. Penyusunan disain kurikulum diarahkan pemenuhan kepuasan dan kebutuhan pungguna. Pelaksanaan pembelajaran dibagi dalam beberapa tahapan aktivitas belajar. Di setiap tahapan aktivitas belajar ditetapkan indikator capaiannya dan indikator-indikator capaian ini menjadi komponen dasar peni-laian. Berdasarkan komponen penilaian ini, maka dapat ditentukan dan ditetapkan nilai akhir mahasiswa. Untuk mengukur tingkat keberhasilan seorang dosen dalam proses pembelajaran, maka diperlukan sasaran mutu pembelajaran dari mata kuliah yang diampunya (Kesit, 2010).

Jika setiap dosen menyusun sasaran mutu pembelajaran yang dilakukan di setiap semester maka secara keseluruhan proses di suatu program studi dapat diketahui. Berdasar sasaran mutu pembelajaran ini maka program studi mampu menilai tingkat keberhasilan proses pembelajaran semua mata kuliah yang diselenggarakan.  Bila semua dosen telah melakukan demikian, sasaran mutu pembelajaran ini dapat ditingkatkan lagi menjadi sasaran mutu pembelajaran untuk program studi. Selanjutnya, ke tingkat fakultas dan pada akhirnya ke tingkat universitas.

Di sinilah letak peran dosen dalam meningkatkan capaian sasaran mutu universitas atau perguruan tinggi. Dengan kata lain, peran dosen dalam meningkatkan capaian sasaran mutu universitas diawali dengan menyusun sasaran mutu pembelajaran mata kuliah yang diampunya.  Sasaran mutu pembelajaran ini perlu dituangkan dalam pedoman perkuliahan untuk mahasiswa, hal ini dimaksudkan agar mahasiswa pun mengetahui dan mampu melakukan kontrol terhadap dosen dalam mengajar.

Seiring dengan itu, tokoh cendikiawan muslim, Nurcholis Madjid mengakui bahwa di Amerika, Jepang, dan negara-negara lain baik di Asia dan Eropa, perkembangan pendidikan hampir merata. Sebab, anggaran yang dialokasikan ke pendidikan besar dan berjalan lancar. Tentu saja, pendapat ini tidak begitu saja dilontarkan. Menurutnya, paling tidak 65 persen penduduk Indonesia berpendidikan SD, bahkan tidak tamat. Selain itu kualitas pendidikan di negara ini juga dinilai masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Tak heran jika Indonesia hanya menempati urutan 102 dari 107 negara di dunia dan urutan 41 dari 47 negara di Asia.

Cak Nur, panggilan akrab sang profesor, menegaskan dalam laporan statistik, penyandang gelar doktor (S-3) di Indonesia sangat rendah. Dari satu juta penduduknya, yang bergelar S-3 (diraih secara prosedur) hanya 65 orang. Amerika dari satu juta penduduknya, 6.500 orang bergelar S-3, Israel 16.500, Perancis 5.000, Jerman 4.000, India 1.300 orang. Semua itu hasil dari pendidikan yang bermutu. Bolehlah kita berkaca pada Korea Selatan. Negara ini memberikan prioritas untuk memajukan pendidikan. Pengadaan sandang, pangan, dan papan perlu tapi pembangunan pendidikan jangan sampai dianaktirikan. Kemajuan sebuah negara sangat ditentukan tingkat pendidikan sumber daya manusianya. Contoh lainnya, Malaysia yang pada tahun 1970-an, masih mengimpor tenaga pengajar dari Indonesia. Kini, pendidikan di Malaysia jauh di atas Indonesia. Mengapa? Pemerintahnya memberikan perhatian yang sangat serius. Tidak seperti di Indonesia, pendidikan kurang diperhatikan.

“Kualitas bukanlah suatu tindakan, tetapi kebiasaan,” demikian pesan Aristoteles (Alwasilah, 2008: 90). Kebiasaan untuk memulai dari diri sendiri, memulai dari yang kecil, dan memulai segera. (*)

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan
Duta Bahasa Sumatera Utara 2008

Oleh:
Dian Syahfitri *

Di perguruan tinggi, seorang dosen memegang peran sangat penting bagi kemajuan institusinya. Hal ini telah lama disadari dosen itu sendiri. Kesadaran ini ditunjukkan oleh upaya-upaya pribadi untuk manjadikan dirinya memiliki kompetensi dan kepakaran yang sesuai dengan minat dan bidang yang ditekuni.

Dia menjadi terkenal di masyarakat tentang kepakarannya tersebut. Banyak presentasi di berbagai seminar yang semakin menunjukkan kepakarannya sehingga dikenal luas di masyakarat.

Adakah kontribusi dosen tersebut terhadap kualitas pembelajaran di perguruan tinggi tempat dosen tersebut bernaung? Jawabnya ada. Karena perguruan tinggi tempat dosen berasal jadi semakin dikenal luas oleh masyarakat. Banyak mahasiswa yang bangga karena diajar oleh dosen yang sangat terkenal dan dikenal di masyarakat luas. Akhirnya, banyak mahasiswa termotivasi untuk dapat bercita-cita ingin menjadi seorang dosen yang terkenal tersebut. Semakin banyak perguruan tinggi tersebut memiliki dosen-dosen pakar yang terkenal, akan banyak mahasiswa yang termotivasi. Kuliah selalu penuh, banyak seminar dan diskusi. Debat kepakaran antardosen melingkupi atmosfer akademik di perguruan tinggi tersebut, mahasiswa pun terbawa suasana akademik yang baik tersebut, sungguh sangat membanggakan. Dimanakah letak keberhasilan seorang dosen dalam meningkatkan kualitas mahasiswanya?

Langkah-langkah yang perlu untuk dapat merealisasikan ini, diawali dengan desain dari kurikulum, proses pembelajaran sampai dengan standard penilaiannya. Penyusunan disain kurikulum diarahkan pemenuhan kepuasan dan kebutuhan pungguna. Pelaksanaan pembelajaran dibagi dalam beberapa tahapan aktivitas belajar. Di setiap tahapan aktivitas belajar ditetapkan indikator capaiannya dan indikator-indikator capaian ini menjadi komponen dasar peni-laian. Berdasarkan komponen penilaian ini, maka dapat ditentukan dan ditetapkan nilai akhir mahasiswa. Untuk mengukur tingkat keberhasilan seorang dosen dalam proses pembelajaran, maka diperlukan sasaran mutu pembelajaran dari mata kuliah yang diampunya (Kesit, 2010).

Jika setiap dosen menyusun sasaran mutu pembelajaran yang dilakukan di setiap semester maka secara keseluruhan proses di suatu program studi dapat diketahui. Berdasar sasaran mutu pembelajaran ini maka program studi mampu menilai tingkat keberhasilan proses pembelajaran semua mata kuliah yang diselenggarakan.  Bila semua dosen telah melakukan demikian, sasaran mutu pembelajaran ini dapat ditingkatkan lagi menjadi sasaran mutu pembelajaran untuk program studi. Selanjutnya, ke tingkat fakultas dan pada akhirnya ke tingkat universitas.

Di sinilah letak peran dosen dalam meningkatkan capaian sasaran mutu universitas atau perguruan tinggi. Dengan kata lain, peran dosen dalam meningkatkan capaian sasaran mutu universitas diawali dengan menyusun sasaran mutu pembelajaran mata kuliah yang diampunya.  Sasaran mutu pembelajaran ini perlu dituangkan dalam pedoman perkuliahan untuk mahasiswa, hal ini dimaksudkan agar mahasiswa pun mengetahui dan mampu melakukan kontrol terhadap dosen dalam mengajar.

Seiring dengan itu, tokoh cendikiawan muslim, Nurcholis Madjid mengakui bahwa di Amerika, Jepang, dan negara-negara lain baik di Asia dan Eropa, perkembangan pendidikan hampir merata. Sebab, anggaran yang dialokasikan ke pendidikan besar dan berjalan lancar. Tentu saja, pendapat ini tidak begitu saja dilontarkan. Menurutnya, paling tidak 65 persen penduduk Indonesia berpendidikan SD, bahkan tidak tamat. Selain itu kualitas pendidikan di negara ini juga dinilai masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Tak heran jika Indonesia hanya menempati urutan 102 dari 107 negara di dunia dan urutan 41 dari 47 negara di Asia.

Cak Nur, panggilan akrab sang profesor, menegaskan dalam laporan statistik, penyandang gelar doktor (S-3) di Indonesia sangat rendah. Dari satu juta penduduknya, yang bergelar S-3 (diraih secara prosedur) hanya 65 orang. Amerika dari satu juta penduduknya, 6.500 orang bergelar S-3, Israel 16.500, Perancis 5.000, Jerman 4.000, India 1.300 orang. Semua itu hasil dari pendidikan yang bermutu. Bolehlah kita berkaca pada Korea Selatan. Negara ini memberikan prioritas untuk memajukan pendidikan. Pengadaan sandang, pangan, dan papan perlu tapi pembangunan pendidikan jangan sampai dianaktirikan. Kemajuan sebuah negara sangat ditentukan tingkat pendidikan sumber daya manusianya. Contoh lainnya, Malaysia yang pada tahun 1970-an, masih mengimpor tenaga pengajar dari Indonesia. Kini, pendidikan di Malaysia jauh di atas Indonesia. Mengapa? Pemerintahnya memberikan perhatian yang sangat serius. Tidak seperti di Indonesia, pendidikan kurang diperhatikan.

“Kualitas bukanlah suatu tindakan, tetapi kebiasaan,” demikian pesan Aristoteles (Alwasilah, 2008: 90). Kebiasaan untuk memulai dari diri sendiri, memulai dari yang kecil, dan memulai segera. (*)

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan
Duta Bahasa Sumatera Utara 2008

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/