30 C
Medan
Thursday, November 21, 2024
spot_img

Politik Sopan Santun: Jembatan Harmoni dan Kekuasaan dalam Politik Indonesia

Oleh: Odri Prince Agustinus D Sembiring, Mahasiswa S2 DPP UGM

Di Indonesia, keputusan politik sering kali tidak hanya dibuat di ruang sidang yang formal atau melalui debat terbuka. Sebaliknya, banyak keputusan penting dicapai di ruang-ruang informal seperti kedai kopi, kerja adat, atau diskusi pribadi.

Fenomena ini dikenal sebagai politik sopan santun, pendekatan khas Indonesia yang mengutamakan harmoni, hubungan personal, dan negosiasi yang nonkonfrontasional.

Namun, apakah politik sopan santun sekadar cerminan budaya atau justru menjadi mekanisme untuk melanggengkan kekuasaan elite? Bagaimana pendekatan ini memengaruhi kebijakan, lembaga formal, dan masa depan demokrasi Indonesia?

Artikel ini mengeksplorasi akar budaya, dinamika kekuasaan, serta tantangan dan peluang dari politik sopan santun di era modern, sambil menyentuh konsep Hybrid Political Orders (HPO), yang menggambarkan perpaduan antara mekanisme formal dan informal dalam proses politik.

Politik sopan santun lahir dari nilai-nilai tradisional Indonesia seperti gotong royong (kerja sama) dan musyawarah mufakat (deliberasi untuk mencapai konsensus). Dalam masyarakat tradisional, menjaga harmoni sosial sering kali lebih penting daripada memenangkan argumen atau mendapatkan keuntungan pribadi. Prinsip ini mendorong penyelesaian konflik melalui dialog, di mana semua pihak dapat “menjaga muka”.

Namun, dalam perkembangannya, nilai-nilai ini telah meresap ke dalam dunia politik modern. Daripada debat terbuka, banyak politikus lebih memilih menyelesaikan perbedaan pendapat melalui diskusi pribadi atau pertemuan informal.

Hal ini mencerminkan budaya yang mengutamakan hubungan personal dan stabilitas sosial di atas formalitas. Meskipun demikian, pendekatan ini tidak luput dari kritik. Ketergantungan pada ruang informal sering kali menyebabkan kurangnya transparansi dan meningkatnya eksklusivitas, di mana hanya mereka yang memiliki akses ke elite politik yang dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Kedai kopi telah menjadi simbol penting dalam praktik politik sopan santun di Indonesia. Tempat ini menyediakan suasana santai untuk diskusi, di mana politikus dapat berbicara secara bebas tanpa tekanan protokol formal.

Sebelum paparan keputusan, partai politik sering bertemu di kedai kopi untuk membahas aliansi dan strategi bersama. Dalam perkembangannya, kedai kopi menjadi tempat untuk membangun kepercayaan dan menyelesaikan perbedaan pendapat tanpa tekanan sorotan media.

Banyak kebijakan dirancang pertama kali di kedai kopi sebelum dibawa ke forum formal seperti parlemen. Bermula di tingkat daerah, pejabat sering bertemu dengan tokoh masyarakat untuk membahas kebijakan pembangunan, mulai dari inisiatif ekonomi lokal hingga berbagi tender proyek infrastruktur.

Hal ini mencerminkan bagaimana suasana ruang informal menjadi dasar pembentukan konsensus. Namun, karena keputusan yang diambil di ruang informal ini sering kali tidak terdokumentasi, kesepakatan politik yang terjadi sulit diawasi atau dipertanggungjawabkan. Selain itu, kedai kopi cenderung eksklusif, membatasi akses hanya bagi mereka yang memiliki hubungan dekat dengan elite politik.

Selain kedai kopi, ruang sosial seperti kerja adat juga memainkan peran penting dalam politik sopan santun. Kerja adat adalah tradisi di mana masyarakat berkumpul untuk menyelesaikan urusan bersama, sering kali terkait dengan adat atau komunitas.

Dalam konteks politik, kerja adat menjadi ruang di mana pejabat dan tokoh masyarakat dapat berinteraksi secara langsung dengan konstituen mereka. Musyawarah adat pun sering digunakan untuk menyelesaikan konflik lokal tanpa melibatkan jalur hukum formal. Misalnya, di daerah seperti Bali dan Aceh, pemimpin adat sering menjadi mediator dalam perselisihan tanah atau konflik komunitas.

Dalam forum ini, politikus atau pejabat lokal sering hadir untuk memastikan hubungan mereka dengan komunitas tetap kuat. Pertemuan adat juga menjadi tempat bagi politikus untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi.

Selama kampanye, calon legislatif sering menghadiri acara adat untuk menunjukkan kedekatan mereka dengan budaya lokal. Ini mencerminkan bagaimana ruang sosial digunakan untuk memperkuat hubungan personal antara elite politik dan masyarakat. Tidak semua ruang sosial bersifat inklusif.

Dalam pertemuan komunitas yang lebih luas, seperti rapat desa atau diskusi publik, masyarakat biasa sering memiliki kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa beberapa komunitas masih sangat dipengaruhi oleh tokoh kuat atau elite lokal.
Namun, ketika berbicara tentang dinamika kekuasaan, politik sopan santun tidak hanya terbatas pada harmoni sosial atau kerja adat.

Fenomena ini juga menjadi bagian dari praktik politik praktis, di mana dominasi modal dan elite politik memainkan peran penting. Pernyataan Bambang Wuryanto, atau Bambang Pacul, menjadi salah satu contoh nyata bagaimana keputusan DPR sering kali bergantung pada modal dan pengaruh elite partai. Fenomena ini menunjukkan bahwa mekanisme pengambilan keputusan saat ini sering kali mencerminkan kepentingan elite, bukan aspirasi rakyat.

Bambang Pacul, seorang politikus senior PDIP, mengindikasikan bahwa keputusan DPR sering kali didorong oleh tekanan modal dan jaringan elite partai. Hal ini mempertegas bagaimana ruang-ruang informal, seperti kedai kopi atau diskusi internal partai, menjadi tempat di mana keputusan besar dibuat tanpa pengawasan publik.

Banyak partai politik di Indonesia saat ini tidak dibangun berdasarkan ideologi atau kaderisasi, tetapi lebih pada kapasitas finansial dan pengaruh tokoh-tokoh tertentu. Dalam konteks ini, politik sopan santun sering kali digunakan sebagai mekanisme untuk melanggengkan kekuasaan elite dan menghindari transparansi.

Ketergantungan pada jalur informal seperti politik sopan santun juga membuka peluang bagi aktor-aktor dengan akses finansial besar untuk mendikte arah kebijakan.

Praktik ini tidak hanya membatasi akses masyarakat luas, tetapi juga mengurangi kepercayaan terhadap institusi formal seperti DPR. Sebagai contoh, negosiasi anggaran atau pembentukan koalisi sering kali dimulai melalui diskusi informal, jauh dari sorotan media dan publik.

Dalam beberapa situasi, sorotan media pun digunakan untuk menunjukkan “ketentraman cuaca politik”. Dari Catwalk di Kertanegara hingga Makan Malam di Omah Semar, harmoni yang ditekankan oleh politik sopan santun sering kali menjadi alat untuk mengaburkan praktik-praktik eksklusif dan elitis.

Politik sopan santun yang terlalu bergantung pada ruang informal seperti kedai kopi atau kerja adat menghadirkan risiko besar terhadap sistem demokrasi. Ketergantungan pada mekanisme ini memungkinkan elite dan aktor politik dengan akses modal besar untuk mendikte proses pengambilan keputusan, mengorbankan transparansi dan akuntabilitas.

Keputusan-keputusan yang diambil di balik layar, jauh dari sorotan publik, melemahkan legitimasi institusi formal seperti DPR, yang seharusnya menjadi perwakilan suara rakyat. Alih-alih menjadi jembatan antara nilai tradisional dan modernitas, politik sopan santun justru berpotensi memperdalam ketimpangan kekuasaan dan menutup ruang partisipasi bagi masyarakat luas.

Jika dibiarkan, praktik ini dapat melanggengkan dominasi elite, meminggirkan aspirasi publik, dan pada akhirnya merusak fondasi demokrasi itu sendiri. Politik sopan santun bukan hanya cerminan harmoni sosial, tetapi juga wajah dari hegemoni kekuasaan yang semakin sulit diakses oleh rakyat.

Kita akhiri diskursus fenomena ini dengan sebuah pertanyaan. Bila dalam upaya untuk menghilangkan praktik politik ini kemudahan yang sebelumnya Anda dan keluarga nikmati akan hilang, apakah Anda bersedia?

Oleh: Odri Prince Agustinus D Sembiring, Mahasiswa S2 DPP UGM

Di Indonesia, keputusan politik sering kali tidak hanya dibuat di ruang sidang yang formal atau melalui debat terbuka. Sebaliknya, banyak keputusan penting dicapai di ruang-ruang informal seperti kedai kopi, kerja adat, atau diskusi pribadi.

Fenomena ini dikenal sebagai politik sopan santun, pendekatan khas Indonesia yang mengutamakan harmoni, hubungan personal, dan negosiasi yang nonkonfrontasional.

Namun, apakah politik sopan santun sekadar cerminan budaya atau justru menjadi mekanisme untuk melanggengkan kekuasaan elite? Bagaimana pendekatan ini memengaruhi kebijakan, lembaga formal, dan masa depan demokrasi Indonesia?

Artikel ini mengeksplorasi akar budaya, dinamika kekuasaan, serta tantangan dan peluang dari politik sopan santun di era modern, sambil menyentuh konsep Hybrid Political Orders (HPO), yang menggambarkan perpaduan antara mekanisme formal dan informal dalam proses politik.

Politik sopan santun lahir dari nilai-nilai tradisional Indonesia seperti gotong royong (kerja sama) dan musyawarah mufakat (deliberasi untuk mencapai konsensus). Dalam masyarakat tradisional, menjaga harmoni sosial sering kali lebih penting daripada memenangkan argumen atau mendapatkan keuntungan pribadi. Prinsip ini mendorong penyelesaian konflik melalui dialog, di mana semua pihak dapat “menjaga muka”.

Namun, dalam perkembangannya, nilai-nilai ini telah meresap ke dalam dunia politik modern. Daripada debat terbuka, banyak politikus lebih memilih menyelesaikan perbedaan pendapat melalui diskusi pribadi atau pertemuan informal.

Hal ini mencerminkan budaya yang mengutamakan hubungan personal dan stabilitas sosial di atas formalitas. Meskipun demikian, pendekatan ini tidak luput dari kritik. Ketergantungan pada ruang informal sering kali menyebabkan kurangnya transparansi dan meningkatnya eksklusivitas, di mana hanya mereka yang memiliki akses ke elite politik yang dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Kedai kopi telah menjadi simbol penting dalam praktik politik sopan santun di Indonesia. Tempat ini menyediakan suasana santai untuk diskusi, di mana politikus dapat berbicara secara bebas tanpa tekanan protokol formal.

Sebelum paparan keputusan, partai politik sering bertemu di kedai kopi untuk membahas aliansi dan strategi bersama. Dalam perkembangannya, kedai kopi menjadi tempat untuk membangun kepercayaan dan menyelesaikan perbedaan pendapat tanpa tekanan sorotan media.

Banyak kebijakan dirancang pertama kali di kedai kopi sebelum dibawa ke forum formal seperti parlemen. Bermula di tingkat daerah, pejabat sering bertemu dengan tokoh masyarakat untuk membahas kebijakan pembangunan, mulai dari inisiatif ekonomi lokal hingga berbagi tender proyek infrastruktur.

Hal ini mencerminkan bagaimana suasana ruang informal menjadi dasar pembentukan konsensus. Namun, karena keputusan yang diambil di ruang informal ini sering kali tidak terdokumentasi, kesepakatan politik yang terjadi sulit diawasi atau dipertanggungjawabkan. Selain itu, kedai kopi cenderung eksklusif, membatasi akses hanya bagi mereka yang memiliki hubungan dekat dengan elite politik.

Selain kedai kopi, ruang sosial seperti kerja adat juga memainkan peran penting dalam politik sopan santun. Kerja adat adalah tradisi di mana masyarakat berkumpul untuk menyelesaikan urusan bersama, sering kali terkait dengan adat atau komunitas.

Dalam konteks politik, kerja adat menjadi ruang di mana pejabat dan tokoh masyarakat dapat berinteraksi secara langsung dengan konstituen mereka. Musyawarah adat pun sering digunakan untuk menyelesaikan konflik lokal tanpa melibatkan jalur hukum formal. Misalnya, di daerah seperti Bali dan Aceh, pemimpin adat sering menjadi mediator dalam perselisihan tanah atau konflik komunitas.

Dalam forum ini, politikus atau pejabat lokal sering hadir untuk memastikan hubungan mereka dengan komunitas tetap kuat. Pertemuan adat juga menjadi tempat bagi politikus untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi.

Selama kampanye, calon legislatif sering menghadiri acara adat untuk menunjukkan kedekatan mereka dengan budaya lokal. Ini mencerminkan bagaimana ruang sosial digunakan untuk memperkuat hubungan personal antara elite politik dan masyarakat. Tidak semua ruang sosial bersifat inklusif.

Dalam pertemuan komunitas yang lebih luas, seperti rapat desa atau diskusi publik, masyarakat biasa sering memiliki kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa beberapa komunitas masih sangat dipengaruhi oleh tokoh kuat atau elite lokal.
Namun, ketika berbicara tentang dinamika kekuasaan, politik sopan santun tidak hanya terbatas pada harmoni sosial atau kerja adat.

Fenomena ini juga menjadi bagian dari praktik politik praktis, di mana dominasi modal dan elite politik memainkan peran penting. Pernyataan Bambang Wuryanto, atau Bambang Pacul, menjadi salah satu contoh nyata bagaimana keputusan DPR sering kali bergantung pada modal dan pengaruh elite partai. Fenomena ini menunjukkan bahwa mekanisme pengambilan keputusan saat ini sering kali mencerminkan kepentingan elite, bukan aspirasi rakyat.

Bambang Pacul, seorang politikus senior PDIP, mengindikasikan bahwa keputusan DPR sering kali didorong oleh tekanan modal dan jaringan elite partai. Hal ini mempertegas bagaimana ruang-ruang informal, seperti kedai kopi atau diskusi internal partai, menjadi tempat di mana keputusan besar dibuat tanpa pengawasan publik.

Banyak partai politik di Indonesia saat ini tidak dibangun berdasarkan ideologi atau kaderisasi, tetapi lebih pada kapasitas finansial dan pengaruh tokoh-tokoh tertentu. Dalam konteks ini, politik sopan santun sering kali digunakan sebagai mekanisme untuk melanggengkan kekuasaan elite dan menghindari transparansi.

Ketergantungan pada jalur informal seperti politik sopan santun juga membuka peluang bagi aktor-aktor dengan akses finansial besar untuk mendikte arah kebijakan.

Praktik ini tidak hanya membatasi akses masyarakat luas, tetapi juga mengurangi kepercayaan terhadap institusi formal seperti DPR. Sebagai contoh, negosiasi anggaran atau pembentukan koalisi sering kali dimulai melalui diskusi informal, jauh dari sorotan media dan publik.

Dalam beberapa situasi, sorotan media pun digunakan untuk menunjukkan “ketentraman cuaca politik”. Dari Catwalk di Kertanegara hingga Makan Malam di Omah Semar, harmoni yang ditekankan oleh politik sopan santun sering kali menjadi alat untuk mengaburkan praktik-praktik eksklusif dan elitis.

Politik sopan santun yang terlalu bergantung pada ruang informal seperti kedai kopi atau kerja adat menghadirkan risiko besar terhadap sistem demokrasi. Ketergantungan pada mekanisme ini memungkinkan elite dan aktor politik dengan akses modal besar untuk mendikte proses pengambilan keputusan, mengorbankan transparansi dan akuntabilitas.

Keputusan-keputusan yang diambil di balik layar, jauh dari sorotan publik, melemahkan legitimasi institusi formal seperti DPR, yang seharusnya menjadi perwakilan suara rakyat. Alih-alih menjadi jembatan antara nilai tradisional dan modernitas, politik sopan santun justru berpotensi memperdalam ketimpangan kekuasaan dan menutup ruang partisipasi bagi masyarakat luas.

Jika dibiarkan, praktik ini dapat melanggengkan dominasi elite, meminggirkan aspirasi publik, dan pada akhirnya merusak fondasi demokrasi itu sendiri. Politik sopan santun bukan hanya cerminan harmoni sosial, tetapi juga wajah dari hegemoni kekuasaan yang semakin sulit diakses oleh rakyat.

Kita akhiri diskursus fenomena ini dengan sebuah pertanyaan. Bila dalam upaya untuk menghilangkan praktik politik ini kemudahan yang sebelumnya Anda dan keluarga nikmati akan hilang, apakah Anda bersedia?

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/