25 C
Medan
Wednesday, December 4, 2024
spot_img

Pandora Kemiskinan Indonesia

Oleh: Benni Sinaga SE*

Hasil American Episcopal Conference merumuskan, ada tiga arti kemiskinan, yaitu pertama, kemiskinan nyata, karena ketidakadilan, manipulasi, dan kekerasan. Kedua, kemiskinan karena seseorang kehilangan hak hidupnya serta kebebasan dalam menentukan pilihan. Ketiga, kemiskinanan rohani, dimana seseorang kehilangan kesadaran spritual dan rasa solidaritas akan sesamanya, terutama terhadap orang miskin.

Padahal, kita diajari bersedekah serta menolong orang miskin seperti yang di ajarkan dalam kitab suci kami adalah, “Sebab ketika aku lapar, kamu memberi aku makan; ketika aku haus kamu memberi aku minum; ketika aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan; ketika aku telanjang, kamu memberi aku pakaian; ketika aku sakit, kamu melawat aku; ketika aku di dalam penjara, kamu mengunjungi aku”  dalam artian kita di ajari untuk saling membantu, tetapi dalam realita yang kita lihat sangat sulit untuk melakukan hal tersebut. Sehingga dapat dikatakan kemiskinan bukan saja berarti defisit ekonomi atau kondisi termarginalkan.

Orang-orang yang mapan secara materi memiliki kebebasan penuh dalam menentukan jalan hidupnya justru jadi miskin secara rohani. Ketika terjadi proses pemiskinan, penindasan, pembunuhan, pemarjinalan yang sebenarnya terjadi adalah pemiskinan manusia atas manusia, dan seterusnya.

Maka penindas itu adalah orang-orang kaya secara materi namun miskin secara rohani, hampa secara spritual. ( Kasan Pribadi, Askorkot, KMW V Sulut;)
Seorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut  kemiskinan konsumsi.

Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi definisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.

BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertahanan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik perempuan maupun laki-laki.

Pada realita yang kita lihat saat ini pemenuhan hak-hak dasar ini masih hanya angin berhembus masyarakat untuk mendapatkan air bersih pun susah dan masih banyak hal-hal lain yang mengerikan seperti sekolah yang rusak, langkanya beras dan lain-lain Kemiskian menjadi masalah yang fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan.

Dalam negara yang salah urus, tidak persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan lebih parah kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.

Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, Safeli life (James. C. Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit.

Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusian; (2) hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) hak rakyat untuk memperoleh rasa aman;(4) hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan;(6) hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (7) hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) hak rakyat untuk berinovasi; (10) hak rakyat menjalankan hubungan spritual dengan Tuhan; (11) hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan yang baik
Kemiskinan menjadi alasan sempurna penyebab rendahnya Human Development Index (HDI) , Indeks pembangunan Manusia Indonesia.

Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia dengan negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development Report (2004) yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index  (HDI) Indonesia adalah 0,692.

Angka tersebut memiriskan hati sudah lebih 50 tahun negeri ini merdeka tetapi kualitas manusianya mengerikan. Angka melek aksara penduduk usia 15 tahun keatas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebasar 65 persen, dan pendapatan Domestik Bruto perkapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230.

HDI Indonesia hanya menempati urutan ke 111 dari 172 negara ( Kompas, 4 September 2004)
Presiden SBY yang menjanjikan akan menurunkan tingkat kemiskinan absolut Indonesia dari 18,2 persen pada tahun 2002 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009, perlu menyimak gagasan ini dan segera menjalankannya.

Dengan melihat realita sampai saat ini itu tidak terwujud diperlukan pertanggungjawaban kepada seluruh rakyat Indonesia sebelum amarah rakyat menyatu, perlu komitmen dan kerja keras dari pemerintah karena yang berotoritas mengambil andil dalam pengurangan kemiskinan adalah pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah.

Selain itu, lapangan kerja baru harus diciptakan terutama untuk generasi muda. Pemerintah juga harus memperhatikan masalah kesenjangan antara kawasan barat dan timur dan antara daerah pedesaan dan perkotaan. Adanya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial menuntut perhatian dan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengatasinya, agar tidak terjadi kecemburuan sosial yang menghambat pembangunan nasional.

Nyatanya kita sudah lihat daerah Papua, mereka menuntut kesejahteraan dan pemerataan pembangunan. Masalah ini timbul tidak lain karena masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial. Kita harus pikirkan negara ini mau dibawa kemana, jangan karena masalah kemiskinan negara ini terpecah. (*)

Penulis adalah Dosen STIE IBMI Medan Ketua Komite Peduli Pendidikan (KPP)

Oleh: Benni Sinaga SE*

Hasil American Episcopal Conference merumuskan, ada tiga arti kemiskinan, yaitu pertama, kemiskinan nyata, karena ketidakadilan, manipulasi, dan kekerasan. Kedua, kemiskinan karena seseorang kehilangan hak hidupnya serta kebebasan dalam menentukan pilihan. Ketiga, kemiskinanan rohani, dimana seseorang kehilangan kesadaran spritual dan rasa solidaritas akan sesamanya, terutama terhadap orang miskin.

Padahal, kita diajari bersedekah serta menolong orang miskin seperti yang di ajarkan dalam kitab suci kami adalah, “Sebab ketika aku lapar, kamu memberi aku makan; ketika aku haus kamu memberi aku minum; ketika aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan; ketika aku telanjang, kamu memberi aku pakaian; ketika aku sakit, kamu melawat aku; ketika aku di dalam penjara, kamu mengunjungi aku”  dalam artian kita di ajari untuk saling membantu, tetapi dalam realita yang kita lihat sangat sulit untuk melakukan hal tersebut. Sehingga dapat dikatakan kemiskinan bukan saja berarti defisit ekonomi atau kondisi termarginalkan.

Orang-orang yang mapan secara materi memiliki kebebasan penuh dalam menentukan jalan hidupnya justru jadi miskin secara rohani. Ketika terjadi proses pemiskinan, penindasan, pembunuhan, pemarjinalan yang sebenarnya terjadi adalah pemiskinan manusia atas manusia, dan seterusnya.

Maka penindas itu adalah orang-orang kaya secara materi namun miskin secara rohani, hampa secara spritual. ( Kasan Pribadi, Askorkot, KMW V Sulut;)
Seorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut  kemiskinan konsumsi.

Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi definisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.

BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertahanan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik perempuan maupun laki-laki.

Pada realita yang kita lihat saat ini pemenuhan hak-hak dasar ini masih hanya angin berhembus masyarakat untuk mendapatkan air bersih pun susah dan masih banyak hal-hal lain yang mengerikan seperti sekolah yang rusak, langkanya beras dan lain-lain Kemiskian menjadi masalah yang fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan.

Dalam negara yang salah urus, tidak persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan lebih parah kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.

Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, Safeli life (James. C. Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit.

Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusian; (2) hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) hak rakyat untuk memperoleh rasa aman;(4) hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan;(6) hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (7) hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) hak rakyat untuk berinovasi; (10) hak rakyat menjalankan hubungan spritual dengan Tuhan; (11) hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan yang baik
Kemiskinan menjadi alasan sempurna penyebab rendahnya Human Development Index (HDI) , Indeks pembangunan Manusia Indonesia.

Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia dengan negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development Report (2004) yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index  (HDI) Indonesia adalah 0,692.

Angka tersebut memiriskan hati sudah lebih 50 tahun negeri ini merdeka tetapi kualitas manusianya mengerikan. Angka melek aksara penduduk usia 15 tahun keatas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebasar 65 persen, dan pendapatan Domestik Bruto perkapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230.

HDI Indonesia hanya menempati urutan ke 111 dari 172 negara ( Kompas, 4 September 2004)
Presiden SBY yang menjanjikan akan menurunkan tingkat kemiskinan absolut Indonesia dari 18,2 persen pada tahun 2002 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009, perlu menyimak gagasan ini dan segera menjalankannya.

Dengan melihat realita sampai saat ini itu tidak terwujud diperlukan pertanggungjawaban kepada seluruh rakyat Indonesia sebelum amarah rakyat menyatu, perlu komitmen dan kerja keras dari pemerintah karena yang berotoritas mengambil andil dalam pengurangan kemiskinan adalah pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah.

Selain itu, lapangan kerja baru harus diciptakan terutama untuk generasi muda. Pemerintah juga harus memperhatikan masalah kesenjangan antara kawasan barat dan timur dan antara daerah pedesaan dan perkotaan. Adanya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial menuntut perhatian dan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengatasinya, agar tidak terjadi kecemburuan sosial yang menghambat pembangunan nasional.

Nyatanya kita sudah lihat daerah Papua, mereka menuntut kesejahteraan dan pemerataan pembangunan. Masalah ini timbul tidak lain karena masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial. Kita harus pikirkan negara ini mau dibawa kemana, jangan karena masalah kemiskinan negara ini terpecah. (*)

Penulis adalah Dosen STIE IBMI Medan Ketua Komite Peduli Pendidikan (KPP)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/