Lord Acton menyebutkan kekuasaan berkorelasi positif dengan korupsi. Ia mengatakan hal tersebut dengan power tends to corrupt, absolute corrupts absolutely. Dalam konteks kekinian di Indonesia, tesis yang dilontarkan Lord Acton benar-benar terjadi, bahkan Soegeng Sarjadi menyebut the have corrupt absolutely. Statemen di atas nampaknya benar adanya, karena setiap hari media massa tidak luput memberitakan skandal korupsi yang terjadi dikalangan pejabat, politisi maupun pengusaha.
Oleh:
Acep Sopian Sauri dan Suhrawardi K Lubis*)
Dalam satu hari saja, media memberitakan ada yang dihukum, ada yang tertangkap tangan, ada yang sedang tersangka diadili di pengadilan dan adapula yang sedang disidik. Besoknya kabar tentang korupsi baru menjadi headline media massa pula. Pokoknya di negeri ini korupsi seperti siklus kehidupan yang tak pernah mati, seperti kata pepatah, mati satu tumbuh seribu, patah tumbuh hilang berganti, atau boleh juga disebut tiada hari tanpa korupsi, di sini korupsi, di sana korupsi, di mana-mana korupsi.
Aktor utama (Nazarudin) dugaan korupsi raksasa mantan Bendahara Partai Demokrat (yang diduga berjamaah), yang nyaring bernyanyi mengenai skandal besar belum tuntas diusut, datang lagi kasus Kemenakertrans (Muhaimin Iskandar terseret-seret namanya), kutip mengutip di Banggar DPR dan Korupsi Wisma Atlet yang baru terungkap dipermukaannya saja (belum menyentuh aktor yang sesungguhnya). Korupsi bergerak dan berpindah dengan begitu cepat menyebar hingga keseluruh lini dan pelosok negeri.
Lalu besok siapa lagi yang akan terjerat? Tokoh publik manalagi yang terekspose media massa yang terlibat skandal korupsi? Entahlah, yang jelas hantu korupsi seakan bergentayangan di mana-mana. Bahkan, patut diduga hampir di semua lembaga/kementerian sudah terjangkit budaya korupsi. Nampaknya, tradisi korupsi adalah hal yang biasa, lumrah dan wajar-wajar saja. Jika memang demikian adanya, adakah harapan penyakit korupsi bisa disembuhkan?
Yang jelas, gejala yang tampak secara kasat mata maupun melalui pemberitaan di media massa, korupsi semakin merajelala dan berkembang biak. Para koruptor (baik di pusat maupun di daerah, di eksekutif, legislatif maupun yudikatif) sudah tidak malu dan terang-terangan melakukan korupsi. Dari sanksi-sanksi yang diberikan kepada koruptor seolah tidak ada efek jera, hal ini terjadi karena penaganan kasus korupsi mulai dari penyidikan, penangkapan, penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman dilakukan secara kompromistis.
Nah, yang menjadi pertanyaan, kenapa anatomi korupsi begitu mudah menjangkiti pengelola negara dan diduga sering dilakukan secara berjamaah. Pertama, karena sistem politik kita yang cenderung bersifat patron-klien. Menurut Peter Burke, budaya patronase adalah sistem politik yang berlandaskan hubungan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara antara pemimpin (patron) dan pengikut (klien). Masing mewakili kepentingan sektoralnya sendiri. Klien menawarkan dukungan politik serta loyalitas tanpa batas kepada sang patron (pemimpin kekuasaan). Sang patron membalas dukungan politik tersebut dengan menawarkan uang, jabatan, pekerjaan dan status sosial lainnya kepada klien.
Unsur inilah yang membuat patron dan klien terlibat perselingkuhan. Unsur yang membuat pemimpin-pemimpin politik di tanah air sangat kesusahan menindak tegas klien-nya yang terlibat korupsi. Mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla mengemukakan, perselingkuhan ini dapat dibersihkan apabila ada pemimpin politik yang kuat, yaitu pemimpin yang tidak hanya berwacana berada di garis depan pemberantasan korupsi, yang hanya sanggup mengatakan “tidak”, tapi hanya perkataan, bukan perbuatan. Pemimpin politik seperti ini siap menjadi panglima tempur yang berada di garis depan. Panglima yang tidak takut mengamputasi bagian dari pasukannya jika terdeteksi melakukan tindakan korupsi. Artinya tidak hanya pandai berkoar-koar, tapi tindakan nyata.
Bahaya Korupsi
Bila keadaan ini (korupsi) terus berkembang biak dan tetap dibiarkan, korupsi akan berdampak besar kepada masyarakat dan pada gilirannya kepercayaan publik terhadap pengelola negara akan hilang dan selanjutnya akan timbul antipati. Antipati publik terhadap pengelola negara akan menimbulkan efek multidimensional yang dapat mengganggu stabilitas politik negara. Akan sangat mungkin terjadi kekacauan, tindakan anarki, demontrasi-demontrasi, penggulingan kekuasaan hingga revolusi-revolusi sosial seperti yang terjadi di berbagai negara.
Terlalu banyak biaya sosial yang harus dikeluarkan jika fase gerakan jalanan kembali tumbuh. Apabila ini terjadi, bukan solusi yang beradab, ide yang cemerlang, dan gagasan brilian yang ditawarkan melainkan tuntutan turunnya rezim secara paksa. Kita semua tentu tidak berharap kejadian yang menimpa rezim orde lama dan orde baru terulang kembali. Terlalu letih bangsa ini memulai membangun dari nol kembali. Akan banyak korban manusia dan kepentingan-kepentingan lebih besar yang hilang.
Nah, sebelum daur ulang alamiah itu terjadi. Kepercayaan publik mesti dipulihkan. Korupsi sebagai penyakit dan beban bangsa musti dikubur. Imbauan kesadaran kepada pengelola negara harus didengungkan. Para pengelola negara, mulai lurah, camat, wali kota, bupati, gubernur, presiden dan segenap jajarannya, anggota DPRD, DPR, polisi, jaksa, hakim, pokoknya semua penyelenggara negara (termasuk PNS) diingatkan (meminjam istilah Franz Magnis Suseno SJ) bahwa korupsi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bahwa korupsi adalah variabel penghalang bangsa ini mengepakkan sayap untuk terbang menjadi bangsa besar. Korupsi merupakan tindakan pencurian terhadap masa depan anak cucu bangsa.
Selain itu, secara luas korupsi akan berdampak dan menghambat investasi, membuat mis-alokasi pendapatan dan pengeluaran negara, menjadi beban penduduk miskin karena dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengurangi terciptanya lapangan pekerjaan, turunnya layanan publik seperti layanan kesehatan, rendahnya akses pendidikan, dan kurangnya pembangunan infrastruktur publik. Pada akhirnya, korupsi akan berimbas pada hilangnya kesempatan publik untuk mengenyam kemakmuran, merasakan nikmatnya hidup sejahtera, adil, bahagia dan sejahtera.
Oleh karena itu, sudah saatnya kesadaran nurani akan bahaya berkembangnya korupsi terus menerus dikumandangkan. Selain itu, pemerintah/pengelola negara perlu diingatkan bahwa mereka sedang mempertaruhkan masa depan bangsa, mempertaruhkan amanah dan wewenang publik dan kepercayaan yang diberikan rakyat. Untuk itu hindari melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan mempergunakannya untuk kepentingan pribadi, kelompok dan ego sektoralnya lainnya.
Karenanya, sebagai upaya mengurangi tingginya angka korupsi perlu dilakukan usaha sistematis. Antara lain diperlukan langkah dan upaya untuk memiskinkan koruptor secara sistematik melalui undang-undang yang dapat membuat negara mengambil kembali uang hasil korupsi. Selain itu, perlu dipertimbangkan membangun kebun koruptor untuk tempat wisata pendidikan antikorupsi. Dan yang tidak kalah pentingnya diperlukan gerakan bersama melawan korupsi yang berlandaskan moral dan etika. Dan alangkah manisnya, apabila gerakan dimulai dengan ketauladanan dari pemimpin-pemimpin bangsa. Semoga. (*)
Penulis adalah Mahasiswa dan Dosen Magister Ilmu Hukum UMSU