Oleh: Dr Suhrawardi K Lubis,SH,SpN,MH & Hairina,SH
Berbagai konferensi dan seminar tentang globalisasi muncul bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Ada yang menyoroti dari sisi lingkungan hidup, gender, buruh, sampai subsidi pertanian. Globalisasi sebagai gerak langkah yang tak terbendung oleh setiap negara dan telah menjadi agama baru sekaligus menjadi kolonialisme baru.
Semua pintu terbuka lebar menyambut kedatangan globalisasi, karena dengan globalisasi dewa pasar bebas dan kemakmuran akan tiba. Yang menjadi pertanyaan kebebasan bagi siapa dan siapa yang makmur?
Dengan globalisasi, konon kebebasan bergerak mata uang dan komoditas dagang akan terjamin. Namun realitasnya, kebebasan bergerak rakyat di dunia ketiga tersandera. Semua pemerintahan di dunia ketiga hampir tak berdaya memberi perlindungan bagi rakyat miskin walaupun mereka punya niat untuk melindungi. Bagi pemerintah di negara-negara dunia ketiga yang berlaku adalah TINA (There Is No Alternative).
Rogate Mshana, sekretaris Eksekutif bidang keadilan Ekonomi dari WCC mengatakan bahwa “masalah perdagangan merupakan masalah serius bagi kehidupan rakyat di dunia ketiga, bukan bantuan dan free trade yang dapat mengentaskan rakyat dari kemiskinan tetapi perdagangan yang adil (fair trade).” Arus kapital bukan mengalir dari Utara ke Selatan melainkan sebaliknya dari Selatan ke Utara.
Bagi Indonesia, Perkembangan yang cepat khususnya dalam ekonomi dan perdagangan dikawasan Asia dan Pasifik menimbulkan implikasi sekaligus tantangan. Sebagai negara berkembang (istilah lain dari negara terbelakang), Indonesia merupakan negara yang dalam tingkat perekonomiannya belum mapan, sering terjadi krisis yang rumit dan kompleks yang terkadang menimbulkan pesimisme.
Kwik Gian Gie semasa menjadi ketua Bapenas dan beberapa Pakar, Aktivis dan Koalisi anti utang Indonesia baik dalam dan Luar Negeri mengusulkan agar Indonesia tidak memperpanjang kontrak kerjasama dengan IMF.
Hal itu diusulkan karena bantuan dan kerjasama dengan lembaga internasional itu sangat membebani rakyat, khususnya beban bunga yang tak masuk akal dan menjerumuskan pemerintah dan rakyat Indonesia ke jurang hutang.
Menurut Joseph Stiglitz, mantan pejabat tinggi Bank Dunia mengatakan bahwa hanya negara yang tidak mengikuti IMF yang bisa keluar dari krisis ekonomi seperti yang dilakukan negara Tiongkok dan Malaysia.
Dalam setiap diskusi tentang globalisasi selalu muncul pertanyaan, apakah ada jalan lain? Tentu masih masih banyak alternatif lain, misalnya seperti yang dilakukan Srilanka dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Srilanka dan RRT pada tahun 1952, mereka mengalami embargo dan intimidasi ekonomi yang dipaksakan oleh Amerika Serikat. Namun kedua-dua negara ini tak bergeming.
Akhirnya menteri perdagangan Srilanka dapat melakukan terobosan dengan cara menandatangani kerjasama dengan RRT yang kemudian dikenal dengan”Rubber Rice Pact”. Dengan kerjasama itu, secara berlahan kedua negara dapat mengatasi persoalannya.
Contoh lain alternatif yang dilaksanakan oleh Tiongkok, yaitu pada saat negara ini diembargo secara ekonomi dan politik oleh negara-negara Barat dan IMF. Pada masa itu, segala bentuk investasi Barat berhenti total.
Kemudian Tiongkok melakukan terobosan dengan cara memanggil para pemilik modal yang ada di Asia, khususnya pengusaha-pengusaha keturunan Tionghoa. Kemudian apa yang terjadi? Ternyata modal yang masuk dari Asia jauh lebih besar dibanding pinjaman yang ditawarkan IMF dan negara-negara Barat lainnya. Akhirnya embargo tersebut tidak ada artinya bagi Tiongkok.
Dekolonisasi
Kedua-dua contoh perlawanan di atas ternyata merupakan inspirasi kepada negara-negara lain. Perlawanan yang makin meluas terhadap arus globalisasi saat ini terjadi, sikap Srilanka dan RRT diatas dapat dijadikan titik tolak untuk menjadikan gagasan tandingan. Gagasan tersebut adalah dekolonisasi, yaitu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Hal ini dilakukan dengan cara memanfaat sumber daya dan kemampuan lokal yang dimiliki (lokalisasi).
Dekolonisasi nampaknya benar-benar merupakan suatu alternatif yang mungkin untuk malewan globalisasi yang cendrung bersifat kolonisasi.
Saat ini sudah mulai banyak kelompok-kelompok masyarakat di beberapa negara yang telah membuktikan, bahwa merekapun mampu membangun dan memperkuat sistem perekonomian lokalnya masing-masing seperti yang dilakukan oleh Tiongkok. Dorongan yang lebih besar kepada pemerintah disetiap negara agar lebih mempertimbangkan alternatif-alternatif perubahan lokal yang radikal.
Hal tersebut sangat dibutuhkan, utama sekali untuk menghadapi arus pasang naik globalisasi ekonomi. Sebab arus pasang naik globalisasi tersebut mengakibatkan makin banyak penganguran. Upaya yang tak kalah pentingnya untuk dilakukan dalam penajaman tuntutan ke arah dekolonisasi adalah peran para politisi. Politisi dapat memainkan peran politik, yaitu dengan cara melakukan tekanan politik. Selain itu, semua aktivitas gerakan sosial harus berperan memainkan isu dekolonisasi. Semua komponen bangsa harus menyadari bahwa isu-isu dekoloisasi akan dapat memperkuat jati diri bangsa.
Namun demikian, dekolonisasi bukan berarti menutup diri sama sekali terhadap dunia luar. Dekolonisasi lebih bermakna lokalisasi, yaitu menumbuh suburkan usaha-usaha yang dimiliki secara lokal menggunakan sumberdaya secara lokal menggunakan sumberdaya secara berkelanjutan,
memperkerjakan orang-orang lokal dengan upah yang wajar dan melayani terutama kebutuhan konsumen lokal. Artinya semakin berswasembada dan semakin tidak bergantung pada impor. Karena semakin bergantung kepada impor, kolonisasi pun akan semakin berkembang.
Tantangan dekolonisasi bagi Indonesia perlu direspon dan ditanggulangi dengan berbagai kebijakan yang terpadu dan dilakukan secara komprehensif, hal itu dapat dimulai antara lain dengan langkah-langkah berikut:
Pertama; mengupayakan Pemerintahan yang baik dan bersih, pemerataan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi maupun peningkatan wawasan kebangsaan.
Kedua; Indonesia bisa sejahtera tanpa exploitasi Sumber Daya Alam melalui panorama yang dimiliki Indonesia dengan managemen parawisata yang baik.
Ketiga, Indonesia benar-benar serius dalam menegakkan hukum HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Undang-Undang HAKI selama ini tidur, padahal berapa banyak lahan yang bermanfaat menjadi nilai-nilai rupiah. Untuk itu perlu langkah-langkah untuk melakukan tindakan hukum bagi pembajak rekaman lagu yang mana telah melanggar Undang-Undang Hak Cipta. Sebab mestinya setiap penjualan perkeping rekaman asli benefit bagi negara sebesar 10 persen bayangkan bila berjuta keping yang terjual betapa negara menerima benefit yang cukup lumayan.
Selain itu juga perlu digiatkan aktivitas penelitian/research, terutama kepada pemulia tanaman (penemu), banyak tanaman-tanaman di Indonesia seperti buah merah untuk obat kanker, daun sirih untuk obat batuk dan tanaman lainnya.
Anjuran melakukan dekolonisasi di atas bukan berarti mengajak masyarakat untuk membenci atau melawan agama dan negara tertentu tetapi melawan nilai-nilai hegemoni dan supremasi yang menimbulkan korban jutaan penduduk miskin di dunia. Hal ini perlu dilakukan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi semua.
Penulis adalah Dosen dan Mahasiswa PMIH UMSU