30 C
Medan
Monday, June 24, 2024

Otak Kanan Marketing, Otak Kiri Accounting

MARKETING SERIES (8)

Tony Fernandez, warga negara Malaysia itu, menyatakan pindah ke Jakarta setelah AirAsia tidak jadi “kawin” dengan Malaysia Airlines dengan cara tukar saham. Sepertinya Tony Fernandez terlalu kreatif untuk dipaksa bekerja sama dengan maskapai nasional resmi Malaysia itu.

Saya kali pertama kenal Tony ketika AirAsia masih berkantor di basement.

Kuala Lumpur International Airport. Dia bangga sekali menunjukkan kantor pusat sebuah airlines terkecil di dunia. Dia juga menunjukkan bahwa pilot dan air crew yang biasanya merupakan tim elite, di AirAsia malah bercampur dengan staf administrasi di ruang yang sama.

Dia juga bangga menunjukkan ruang kerjanya sebagai CEO yang sangat kecil, termasuk sound system di dalamnya. Maklum, dia dulu bekerja bareng Richard Branson di bidang musik. Dengan berkantor di basement, dia bisa mengajak timnya bergerak cepat membantu air crew bila ada tanda-tanda keterlambatan penerbangan.

Bersama Tony kini Everyone can fly! Ini karena terbang tidak mahal lagi. Dia memperkenalkan sistem pemesanan tiket lewat internet dengan harga yang berubah-ubah, bergantung pada tingkat loading suatu penerbangan.

Kalau mau terbang sangat murah, ya harus jauh-jauh hari pesannya. Tiket hangus ketika nggak jadi terbang. Harus bayar cash lewat pembayaran online dan harus tambah biaya kalau mau mengubah jadwal. Kesan awal, cara Tony itu terasa aneh dan tidak masuk akal karena sangat berbeda dengan kebiasaan yang ada.

Orang biasanya membeli tiket pesawat lewat agen perjalanan dan bisa fleksibel soal jadwal asal tempat masih ada. Harganya tetap, tapi juga nggak bisa murah.

Sekarang orang melihat justru cara itu jadi “mahal” dan cara-cara seperti yang diperkenalkan Tony justru jadi biasa dan fair. Lantas” Banyak maskapai ikut latah bikin penerbangan harga murah, karena sekadar mau ikut ambil pasar bawah.

Ketika telanjur masuk ke pasar itu, baru kemudian terseok-seok. Kenapa” Ya, karena mereka tidak tahu bagaimana caranya mengendalikan cost. Low price must have low cost!

Jangan main harga kalau tidak bisa mengendalikan cost. Karena itu, harus selalu ada inovasi untuk menurunkan cost dengan tanpa mengurangi kualitas yang dijanjikan secara fair. Makanya, AirAsia tidak pernah memberikan banyak janji, termasuk on time guarantee walaupun hal itu selalu diusahakan.
Makanan bahkan koran pun dijual karena fair bagi kastamer dan merupakan additional income bagi perusahaan. Pilot diberi insentif kalau bisa mendaratkan pesawat dengan mulus. Penumpang senang, perusahaan pun ngirit karena ban pesawat bisa lebih tahan lama.

Air crew membantu membersihkan pesawat ketika mendarat. Dengan demikian, ada penghematan biaya. Turn-around pesawat pun diusahakan paling lama 30 menit supaya pesawat yang sama bisa cari duit lebih banyak karena bisa take-off/landing lebih banyak dalam dua puluh empat jam.

Tony adalah leader yang bisa menciptakan low-cost culture di perusahaannya. Semua orang yang terlibat juga bangga ketika ikut berpartisipasi untuk berhemat. Rahasianya” Tony adalah seorang chartered accountant sebelum jadi marketer. Dia mengombinasikan dua konsep manajemen yang berseberangan itu.

Saya selalu mengingatkan bahwa seorang marketer acap kali hanya ingin gagah-gagahan mencapai market-share tanpa berpikir bottom-line. Padahal, business is creating value via profit. Tanpa profit pasti mampus.

Karena itu, marketer terbaik adalah ketika otak kanannya marketing, otak kirinya accounting. Dengan demikian, setiap keputusan yang diambil sudah mempertimbangkan aspek keuangan.

Perbedaan kultur AirAsia dengan Malaysia Airlines itulah yang membuat kegagalan kerja sama. Orang Malaysia secara umum lebih cinta pada AirAsia dengan segala macam ketidaksempurnaannya.

Faktor lain yang membuat Tony pindah ke Jakarta adalah karena dia ingin lebih dekat dengan The biggest ASEAN aviation market. 240 juta orang Indonesia tinggal di 17.000 pulau dengan infrastruktur yang harus dibenahi.
Bagaimana pendapat Anda?

MARKETING SERIES (8)

Tony Fernandez, warga negara Malaysia itu, menyatakan pindah ke Jakarta setelah AirAsia tidak jadi “kawin” dengan Malaysia Airlines dengan cara tukar saham. Sepertinya Tony Fernandez terlalu kreatif untuk dipaksa bekerja sama dengan maskapai nasional resmi Malaysia itu.

Saya kali pertama kenal Tony ketika AirAsia masih berkantor di basement.

Kuala Lumpur International Airport. Dia bangga sekali menunjukkan kantor pusat sebuah airlines terkecil di dunia. Dia juga menunjukkan bahwa pilot dan air crew yang biasanya merupakan tim elite, di AirAsia malah bercampur dengan staf administrasi di ruang yang sama.

Dia juga bangga menunjukkan ruang kerjanya sebagai CEO yang sangat kecil, termasuk sound system di dalamnya. Maklum, dia dulu bekerja bareng Richard Branson di bidang musik. Dengan berkantor di basement, dia bisa mengajak timnya bergerak cepat membantu air crew bila ada tanda-tanda keterlambatan penerbangan.

Bersama Tony kini Everyone can fly! Ini karena terbang tidak mahal lagi. Dia memperkenalkan sistem pemesanan tiket lewat internet dengan harga yang berubah-ubah, bergantung pada tingkat loading suatu penerbangan.

Kalau mau terbang sangat murah, ya harus jauh-jauh hari pesannya. Tiket hangus ketika nggak jadi terbang. Harus bayar cash lewat pembayaran online dan harus tambah biaya kalau mau mengubah jadwal. Kesan awal, cara Tony itu terasa aneh dan tidak masuk akal karena sangat berbeda dengan kebiasaan yang ada.

Orang biasanya membeli tiket pesawat lewat agen perjalanan dan bisa fleksibel soal jadwal asal tempat masih ada. Harganya tetap, tapi juga nggak bisa murah.

Sekarang orang melihat justru cara itu jadi “mahal” dan cara-cara seperti yang diperkenalkan Tony justru jadi biasa dan fair. Lantas” Banyak maskapai ikut latah bikin penerbangan harga murah, karena sekadar mau ikut ambil pasar bawah.

Ketika telanjur masuk ke pasar itu, baru kemudian terseok-seok. Kenapa” Ya, karena mereka tidak tahu bagaimana caranya mengendalikan cost. Low price must have low cost!

Jangan main harga kalau tidak bisa mengendalikan cost. Karena itu, harus selalu ada inovasi untuk menurunkan cost dengan tanpa mengurangi kualitas yang dijanjikan secara fair. Makanya, AirAsia tidak pernah memberikan banyak janji, termasuk on time guarantee walaupun hal itu selalu diusahakan.
Makanan bahkan koran pun dijual karena fair bagi kastamer dan merupakan additional income bagi perusahaan. Pilot diberi insentif kalau bisa mendaratkan pesawat dengan mulus. Penumpang senang, perusahaan pun ngirit karena ban pesawat bisa lebih tahan lama.

Air crew membantu membersihkan pesawat ketika mendarat. Dengan demikian, ada penghematan biaya. Turn-around pesawat pun diusahakan paling lama 30 menit supaya pesawat yang sama bisa cari duit lebih banyak karena bisa take-off/landing lebih banyak dalam dua puluh empat jam.

Tony adalah leader yang bisa menciptakan low-cost culture di perusahaannya. Semua orang yang terlibat juga bangga ketika ikut berpartisipasi untuk berhemat. Rahasianya” Tony adalah seorang chartered accountant sebelum jadi marketer. Dia mengombinasikan dua konsep manajemen yang berseberangan itu.

Saya selalu mengingatkan bahwa seorang marketer acap kali hanya ingin gagah-gagahan mencapai market-share tanpa berpikir bottom-line. Padahal, business is creating value via profit. Tanpa profit pasti mampus.

Karena itu, marketer terbaik adalah ketika otak kanannya marketing, otak kirinya accounting. Dengan demikian, setiap keputusan yang diambil sudah mempertimbangkan aspek keuangan.

Perbedaan kultur AirAsia dengan Malaysia Airlines itulah yang membuat kegagalan kerja sama. Orang Malaysia secara umum lebih cinta pada AirAsia dengan segala macam ketidaksempurnaannya.

Faktor lain yang membuat Tony pindah ke Jakarta adalah karena dia ingin lebih dekat dengan The biggest ASEAN aviation market. 240 juta orang Indonesia tinggal di 17.000 pulau dengan infrastruktur yang harus dibenahi.
Bagaimana pendapat Anda?

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/