25.2 C
Medan
Saturday, June 22, 2024

Karakter tak Bisa Diubah Hanya dengan Kampanye

MARKETING SERIES (70)

Pepsi mulai berkampanye The Pepsi Refresh pada 13 Januari 2010. Kampanye itu murni dilakukan untuk branding, sama sekali tidak untuk mendongkrak sales. CEO Indra Nooyi, perempuan pertama dan pemimpin tertinggi kelima dalam sejarah 44 tahun Pepsi, khawatir kampanye yang menelan dana USD 20 miliar itu bakal kurang otentik jika dikaitkan dengan penjualan.

Ketika dilakukan survei, Pepsi menemukan bahwa Millennial yang berusia 17-27 tahun adalah cohort yang paling optimistis dalam krisis yang dimulai pada 2008. Mereka juga menyukai teknologi, pro pada brand yang membela lingkungan, dan peduli terhadap masalah sosial.

Mereka juga suka pada brand yang suka pada cause related marketing.

Cohort itulah yang memang harus tetap ditumbuhkan ketika sebagian besar orang mulai takut pada minuman bersoda. Selain itu, ada Cohort Boomers yang berusia 41-60 tahun yang juga optimistis. Orang-orang itu dulu lahir sesudah Perang Dunia II selesai karena tidak pernah mengalami masalah pahitnya perang. Tapi, mereka mulai meninggalkan minuman soda secara teratur.

Nah, Pepsi ingin supaya kampanye itu bisa memompa optimisme sambil berharap pada dampak dua cohort tersebut. Mempertahankan boomers drinkers dan menambah millennial drinkers. Kampanye itu meminta ide dari siapa saja untuk menyegarkan komunitasnya sendiri.

Seribu ide pertama lantas di-vote dan yang mendapat suara terbanyak akan memperoleh grant sampai 250.000 dolar cash. Tentu saja tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pepsi dan pihak perusahaan akan memperketat eksekusinya. Semuanya lewat internet, sangat demokratis, sangat sosial, dan sangat new wave.

Sambutannya luar biasa. Idenya lebih banyak dari pendaftar American Idol. Sedangkan jumlah voters lebih banyak daripada jumlah pemilih presiden Amerika. Walaupun ada beberapa kontroversi pada pelaksanaan, kesimpulannya, kampanye itu secara branding sukses luar biasa. Tapi, sales dan market share turun lima persen!

Pada tahun berikutnya, kampanye diteruskan. Bahkan, iklan Superbowl yang distop pada 2010 dikembalikan. Hasilnya jatuh lagi pada 2011. Akhirnya, pada 2012, Pepsi mengakhiri kampanye yang sangat cause-related, sosial, dan horizontal itu. Dan, balik lagi pada kampanye yang melibatkan selebriti, baik penyanyi maupun sport.

Saking hebohnya, kasus itu sampai ditulis Harvard Business School. Ada tiga hal yang mengakibatkan kampanye yang dirancang secara cermat tersebut gagal. Pertama, ternyata tidak mudah mengubah character dari sebuah brand sebesar Pepsi. Branding campaign-nya berhasil, tapi tidak berhasil mengubah karakter Pepsi yang tetap jualan minuman soda.

Kedua, walaupun Pepsi punya berbagai produk minuman maupun makanan sehat, orang tidak aware bahwa itu semua milik korporat Pepsi.
Ketiga, commercialization atau monetization dari suatu upaya new wave harus tetap dioperasikan. Sekali lagi, strategi yang hanya berfokus pada branding dengan mengabaikan selling adalah hal kurang tepat.
Kesimpulannya? Jangan menggunakan kampanye yang bersifat taktikal untuk mengkreasi suatu persepsi tentang suatu karakter yang sangat strategis.
Bagaimana pendapat Anda? (*)

MARKETING SERIES (70)

Pepsi mulai berkampanye The Pepsi Refresh pada 13 Januari 2010. Kampanye itu murni dilakukan untuk branding, sama sekali tidak untuk mendongkrak sales. CEO Indra Nooyi, perempuan pertama dan pemimpin tertinggi kelima dalam sejarah 44 tahun Pepsi, khawatir kampanye yang menelan dana USD 20 miliar itu bakal kurang otentik jika dikaitkan dengan penjualan.

Ketika dilakukan survei, Pepsi menemukan bahwa Millennial yang berusia 17-27 tahun adalah cohort yang paling optimistis dalam krisis yang dimulai pada 2008. Mereka juga menyukai teknologi, pro pada brand yang membela lingkungan, dan peduli terhadap masalah sosial.

Mereka juga suka pada brand yang suka pada cause related marketing.

Cohort itulah yang memang harus tetap ditumbuhkan ketika sebagian besar orang mulai takut pada minuman bersoda. Selain itu, ada Cohort Boomers yang berusia 41-60 tahun yang juga optimistis. Orang-orang itu dulu lahir sesudah Perang Dunia II selesai karena tidak pernah mengalami masalah pahitnya perang. Tapi, mereka mulai meninggalkan minuman soda secara teratur.

Nah, Pepsi ingin supaya kampanye itu bisa memompa optimisme sambil berharap pada dampak dua cohort tersebut. Mempertahankan boomers drinkers dan menambah millennial drinkers. Kampanye itu meminta ide dari siapa saja untuk menyegarkan komunitasnya sendiri.

Seribu ide pertama lantas di-vote dan yang mendapat suara terbanyak akan memperoleh grant sampai 250.000 dolar cash. Tentu saja tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pepsi dan pihak perusahaan akan memperketat eksekusinya. Semuanya lewat internet, sangat demokratis, sangat sosial, dan sangat new wave.

Sambutannya luar biasa. Idenya lebih banyak dari pendaftar American Idol. Sedangkan jumlah voters lebih banyak daripada jumlah pemilih presiden Amerika. Walaupun ada beberapa kontroversi pada pelaksanaan, kesimpulannya, kampanye itu secara branding sukses luar biasa. Tapi, sales dan market share turun lima persen!

Pada tahun berikutnya, kampanye diteruskan. Bahkan, iklan Superbowl yang distop pada 2010 dikembalikan. Hasilnya jatuh lagi pada 2011. Akhirnya, pada 2012, Pepsi mengakhiri kampanye yang sangat cause-related, sosial, dan horizontal itu. Dan, balik lagi pada kampanye yang melibatkan selebriti, baik penyanyi maupun sport.

Saking hebohnya, kasus itu sampai ditulis Harvard Business School. Ada tiga hal yang mengakibatkan kampanye yang dirancang secara cermat tersebut gagal. Pertama, ternyata tidak mudah mengubah character dari sebuah brand sebesar Pepsi. Branding campaign-nya berhasil, tapi tidak berhasil mengubah karakter Pepsi yang tetap jualan minuman soda.

Kedua, walaupun Pepsi punya berbagai produk minuman maupun makanan sehat, orang tidak aware bahwa itu semua milik korporat Pepsi.
Ketiga, commercialization atau monetization dari suatu upaya new wave harus tetap dioperasikan. Sekali lagi, strategi yang hanya berfokus pada branding dengan mengabaikan selling adalah hal kurang tepat.
Kesimpulannya? Jangan menggunakan kampanye yang bersifat taktikal untuk mengkreasi suatu persepsi tentang suatu karakter yang sangat strategis.
Bagaimana pendapat Anda? (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/