27.8 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Ingat Bendera dan Gotong Royong, Bangsa Kuat

Hari besar kenegaraan tak begitu banyak di Indonesia, tapi banyak warga tak mengingatnya. Seperti hari kesaktian pancasila yang jatuh tepat pada 1 Oktober setiap tahunnya, sudah amanat aturan memasang bendera setengah tiang. Tapi itu hanya sebatas amanat, kini kebiasaan itu luntur sudah.

Indonesia dikenal sebagai negara yang merdeka pada 17 Agustus 1945, di negara yang memiliki 230 juta jiwa penduduk itu dihuni beragam etnik. Sekitar 300 kelompok suku mendiami lima pulau besar di Indonesia.
Keragaman kelompok suku itu terbagi dalam kelompok kecil lainnya. Bahkan, pada tahun 2000 silam Indonesia menambah satu etnis lagi yakni etnis Tionghoa. Pada hakekatnya, per tambahan bukan menjurus kepada persaingan, kecemburuan maupun pemisahan. Tapi, semuanya diharapkan membaur dengan mendirikan rumah-rumah yang saling berdekatan antar etnis. Di bidang usaha, proporsi antar etnik saling berhubungan. Kerekatan antar etnis menunjukkan kerukunan dan ketentraman.

Cerminan itu tak muncul sejak era reformasi. Seperti pada peringatan hari kesaktian Pancasila 1 Oktober 2011 silam. Warga di Sumut tak banyak yang menghargainya. Bahkan, pada era orde baru ketika hari kesaktian Pancasila datang warga berduyun-duyun memasang bendera setengah tiang di depan rumahnya masing-masing. Hal itu tak tampak lagi, di Kota Medan khususnya. Lebih mirisnya, warga lupa dengan hari kesaktian pancasila itu. Terlihat, hanya sedikit dari warga yang mengibarkan bendera setengah tiang untuk memperingati hari kesaktian pancasila. Tak jarang, di antara warga pun tak saling mengingatkan lantaran kesibukannya masing-masing.

Wartawan koran ini bertanya kepada seorang warga, Faisal (21) warga Jalan Tempuling, Medan Tembung. Dia mengakui, bahwa dirinya lupa dengan hari kesaktian pancasila. Sebab, surat imbauan ke rumah warga tak sampai.
“Kalau dulu masa orde baru, ada surat imbauan dari kelurahan atau kepala lingkungan ke rumah. Tapi sejak reformasi ini sudah mulai jarang,” sebutnya.

Bukan itu saja, diberbagai wilayah di ruas jalan di Kota Medan tak tampak berkibar bendera setengah tiang. Baik itu di kecamatan yang mayoritas dihuni warga Melayu, Minang, Batak dan Jawa, melainkan di kelurahan yang banyak dihuni suka Tionghoa juga tak mengibarkan bendera setengah tiang.

Mendengar hal itu, Wali Kota Medan, Rahudman Harahap menyebutkan suerat sudah diedarkan melalui kelurahan. Jika tak sampai ke rumah-rumah warga, tentunya ada halangan lain di tingkat pemerintahan terdekat yakni kelurahan.
“Ini akan menjadi evaluasi kami ke depan. Intinya, seluruh warga kami ingatkan untuk sama-sama menghargai dan peduli mengibarkan berbedera setiap hari besar negara,” ingatkannya.

Rahudman membeberkan, apabila kondisinya banyak diantara masyarakat yang masih tak memasang bendera, tentunya bukan menegurnya sekarang. Melainkan harus membuat berbagai kegiatan untuk mengingatkan kembali bagi generasi muda mendatang. Untuk melakukan hal tersebut diperlukan kebersamaan agar terbentuknya generasi muda yang mencintai negaranya.

“Kalau semuanya dilakukan dengan kebersamaan, negara ini khususnya Kota Medan akan semakin indah. Apalagi budaya gotong royong sudah ada sejak leluhur, maka tinggal memupuknya lagi agar kebersamaan itu tetap terjaga,” paparnya.

Dia mengakui, persoalan meng hargai hari kesaktian pancasila ini merupakan bentuk kesadaran semata. Bila diketahui, sekarang ini kesadaran lemah. Justru setiap pihak harus bersama-sama memupuknya agar terbangun suatu kesamaan visi membangun bangsa yang lebih sejahtera.

Ungkapan itu diamini sejumlah politisi di DPRD Medan. Ilhamsyah satu diantaranya. Pelajaran kewarganegaraan di sekolah sudah mulai melemah, padahal ketika dulu pelajaran kewarganegaraan terus diajarkan hingga ke perguruan tinggi. Bukan itu saja, setiap memasuki jenjang pendidikan harus memiliki surat kelulusan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan adanya itulah, setiap siswa mengingat betul hari-hari besar kenegaraan.
“Sekarang ini saatnya kurikulum kenegaraan itu lebih ditanamkan, tak hanya teori melainkan pengamalannya juga harus dididik,” ingatkannya.

Dipaparkannya bukan terhadap peringatan hari-hari besar kenegaraan saja, tapi sudah harus diajarkan dalam menjaga dan mempertahankan negara. Selanjutnya, pengamalam pada setiap sila-sila Pancasila, karena setiap sila memiliki makna.

“Pancasila itu sebagai dasar negara, jadi setiap silanya harus dikaji dan diamalkan. Pancasila bukan sekedar dipajang di setiap kelas sekolah, guru harus berperan mendidik setiap siswa, lebih peduli kepada bendera dan gotong royong,” sebutnya.

Pada hekekatnya, persoalan rendahnya menghargai hari besar kenegaraan menjadi pertanda satu penurunan sikap kebangsaan. Hal itu juga yang menunjukkan kebersamaan warga negara terus terkikis. Buktinya, pelaksanaan gotong royong cendrung sepi sejak era reformasi. Padahal, gotong royong sebagai budaya bangsa di Indonesia yang diwariskan orang-orang terdahulu.

Munculnya penurunan itu, ketika banyak diantara pejabat, politisi dan pengusaha berjalan sendiri tanpa melihat kondisi bangsa. Bukan itu saja, setingkat kepala daerah cendrung lupa atas rakyatnya hingga akhirnya si pejabat atau politisi menelan pil pahit harus terjerat persoalan penegakkan hukum.

Kondisi bangsa seperti inilah pada akhirnya warga negara melupakan hari besar kenegaran, tingkah sejumlah politisi dan pejabat yang mana politisi cenderung saling gontok-gontokan, padahal memiliki tanggung jawab memberikan pengajaran politik dan kenegaraan, hal yang sama juga dilakukan pejabat setingkat kepala daerah dan wakilnya. Persoalan konflik inilah yang cendrung menghalangi dan membuat warga bersikap tak mau tahu. Alhasil, persoalan bangsa tak tuntas sedangkan konflik kedua tokoh politik dan pejabat harus dituntaskan.

Masalah tersebut bisa dituntaskan dengan berbagai hal, seperti melalui program peningkatan kurikulum kewarganegaraan di setiap jenjang pendidikan dan mengatur setiap partai politik memiliki tanggung jawab kepada warga negara. Dengan kedua hal itu, tercerminnya sikap peduli terhadap bendera simbol negara serta kemauan bersama-sama membangun bangsa.

Rumusan lainnya, perlu dilakukan kegiatan menghargai pancasila setiap kelurahan pada hari kesaktian pancasila setiap tahunnya. Selanjutnya, pada hari besar atau hari libur dimanfaatkan berkumpul antar sesama warga melalui bulan siskamling, bulan gotong royong atau berbagai kegiatan lainnya untuk membangun kelurahan/desa masing-masing. Semakin seringnya warga berkumpul, maka akan semakin erat hubungan antar warga dan menjalar kepada saling menghargai etnik untuk kebersamaan membangun negara. Bila konsep kebersamaan terus dipupuk dengan bekal pendidikan kewarganegaraan yang dimiliki, maka negara semakin kuat dan bangsa sejahtera. (*)

Oleh Chairil Hudha
Wartawan Sumut Pos

Hari besar kenegaraan tak begitu banyak di Indonesia, tapi banyak warga tak mengingatnya. Seperti hari kesaktian pancasila yang jatuh tepat pada 1 Oktober setiap tahunnya, sudah amanat aturan memasang bendera setengah tiang. Tapi itu hanya sebatas amanat, kini kebiasaan itu luntur sudah.

Indonesia dikenal sebagai negara yang merdeka pada 17 Agustus 1945, di negara yang memiliki 230 juta jiwa penduduk itu dihuni beragam etnik. Sekitar 300 kelompok suku mendiami lima pulau besar di Indonesia.
Keragaman kelompok suku itu terbagi dalam kelompok kecil lainnya. Bahkan, pada tahun 2000 silam Indonesia menambah satu etnis lagi yakni etnis Tionghoa. Pada hakekatnya, per tambahan bukan menjurus kepada persaingan, kecemburuan maupun pemisahan. Tapi, semuanya diharapkan membaur dengan mendirikan rumah-rumah yang saling berdekatan antar etnis. Di bidang usaha, proporsi antar etnik saling berhubungan. Kerekatan antar etnis menunjukkan kerukunan dan ketentraman.

Cerminan itu tak muncul sejak era reformasi. Seperti pada peringatan hari kesaktian Pancasila 1 Oktober 2011 silam. Warga di Sumut tak banyak yang menghargainya. Bahkan, pada era orde baru ketika hari kesaktian Pancasila datang warga berduyun-duyun memasang bendera setengah tiang di depan rumahnya masing-masing. Hal itu tak tampak lagi, di Kota Medan khususnya. Lebih mirisnya, warga lupa dengan hari kesaktian pancasila itu. Terlihat, hanya sedikit dari warga yang mengibarkan bendera setengah tiang untuk memperingati hari kesaktian pancasila. Tak jarang, di antara warga pun tak saling mengingatkan lantaran kesibukannya masing-masing.

Wartawan koran ini bertanya kepada seorang warga, Faisal (21) warga Jalan Tempuling, Medan Tembung. Dia mengakui, bahwa dirinya lupa dengan hari kesaktian pancasila. Sebab, surat imbauan ke rumah warga tak sampai.
“Kalau dulu masa orde baru, ada surat imbauan dari kelurahan atau kepala lingkungan ke rumah. Tapi sejak reformasi ini sudah mulai jarang,” sebutnya.

Bukan itu saja, diberbagai wilayah di ruas jalan di Kota Medan tak tampak berkibar bendera setengah tiang. Baik itu di kecamatan yang mayoritas dihuni warga Melayu, Minang, Batak dan Jawa, melainkan di kelurahan yang banyak dihuni suka Tionghoa juga tak mengibarkan bendera setengah tiang.

Mendengar hal itu, Wali Kota Medan, Rahudman Harahap menyebutkan suerat sudah diedarkan melalui kelurahan. Jika tak sampai ke rumah-rumah warga, tentunya ada halangan lain di tingkat pemerintahan terdekat yakni kelurahan.
“Ini akan menjadi evaluasi kami ke depan. Intinya, seluruh warga kami ingatkan untuk sama-sama menghargai dan peduli mengibarkan berbedera setiap hari besar negara,” ingatkannya.

Rahudman membeberkan, apabila kondisinya banyak diantara masyarakat yang masih tak memasang bendera, tentunya bukan menegurnya sekarang. Melainkan harus membuat berbagai kegiatan untuk mengingatkan kembali bagi generasi muda mendatang. Untuk melakukan hal tersebut diperlukan kebersamaan agar terbentuknya generasi muda yang mencintai negaranya.

“Kalau semuanya dilakukan dengan kebersamaan, negara ini khususnya Kota Medan akan semakin indah. Apalagi budaya gotong royong sudah ada sejak leluhur, maka tinggal memupuknya lagi agar kebersamaan itu tetap terjaga,” paparnya.

Dia mengakui, persoalan meng hargai hari kesaktian pancasila ini merupakan bentuk kesadaran semata. Bila diketahui, sekarang ini kesadaran lemah. Justru setiap pihak harus bersama-sama memupuknya agar terbangun suatu kesamaan visi membangun bangsa yang lebih sejahtera.

Ungkapan itu diamini sejumlah politisi di DPRD Medan. Ilhamsyah satu diantaranya. Pelajaran kewarganegaraan di sekolah sudah mulai melemah, padahal ketika dulu pelajaran kewarganegaraan terus diajarkan hingga ke perguruan tinggi. Bukan itu saja, setiap memasuki jenjang pendidikan harus memiliki surat kelulusan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan adanya itulah, setiap siswa mengingat betul hari-hari besar kenegaraan.
“Sekarang ini saatnya kurikulum kenegaraan itu lebih ditanamkan, tak hanya teori melainkan pengamalannya juga harus dididik,” ingatkannya.

Dipaparkannya bukan terhadap peringatan hari-hari besar kenegaraan saja, tapi sudah harus diajarkan dalam menjaga dan mempertahankan negara. Selanjutnya, pengamalam pada setiap sila-sila Pancasila, karena setiap sila memiliki makna.

“Pancasila itu sebagai dasar negara, jadi setiap silanya harus dikaji dan diamalkan. Pancasila bukan sekedar dipajang di setiap kelas sekolah, guru harus berperan mendidik setiap siswa, lebih peduli kepada bendera dan gotong royong,” sebutnya.

Pada hekekatnya, persoalan rendahnya menghargai hari besar kenegaraan menjadi pertanda satu penurunan sikap kebangsaan. Hal itu juga yang menunjukkan kebersamaan warga negara terus terkikis. Buktinya, pelaksanaan gotong royong cendrung sepi sejak era reformasi. Padahal, gotong royong sebagai budaya bangsa di Indonesia yang diwariskan orang-orang terdahulu.

Munculnya penurunan itu, ketika banyak diantara pejabat, politisi dan pengusaha berjalan sendiri tanpa melihat kondisi bangsa. Bukan itu saja, setingkat kepala daerah cendrung lupa atas rakyatnya hingga akhirnya si pejabat atau politisi menelan pil pahit harus terjerat persoalan penegakkan hukum.

Kondisi bangsa seperti inilah pada akhirnya warga negara melupakan hari besar kenegaran, tingkah sejumlah politisi dan pejabat yang mana politisi cenderung saling gontok-gontokan, padahal memiliki tanggung jawab memberikan pengajaran politik dan kenegaraan, hal yang sama juga dilakukan pejabat setingkat kepala daerah dan wakilnya. Persoalan konflik inilah yang cendrung menghalangi dan membuat warga bersikap tak mau tahu. Alhasil, persoalan bangsa tak tuntas sedangkan konflik kedua tokoh politik dan pejabat harus dituntaskan.

Masalah tersebut bisa dituntaskan dengan berbagai hal, seperti melalui program peningkatan kurikulum kewarganegaraan di setiap jenjang pendidikan dan mengatur setiap partai politik memiliki tanggung jawab kepada warga negara. Dengan kedua hal itu, tercerminnya sikap peduli terhadap bendera simbol negara serta kemauan bersama-sama membangun bangsa.

Rumusan lainnya, perlu dilakukan kegiatan menghargai pancasila setiap kelurahan pada hari kesaktian pancasila setiap tahunnya. Selanjutnya, pada hari besar atau hari libur dimanfaatkan berkumpul antar sesama warga melalui bulan siskamling, bulan gotong royong atau berbagai kegiatan lainnya untuk membangun kelurahan/desa masing-masing. Semakin seringnya warga berkumpul, maka akan semakin erat hubungan antar warga dan menjalar kepada saling menghargai etnik untuk kebersamaan membangun negara. Bila konsep kebersamaan terus dipupuk dengan bekal pendidikan kewarganegaraan yang dimiliki, maka negara semakin kuat dan bangsa sejahtera. (*)

Oleh Chairil Hudha
Wartawan Sumut Pos

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/