Oleh:
Hidayat Banjar
Tak gampang memotret Medan yang begitu heterogen. Beragam etnis berbaur di Medan. Secara umum, Medan dapat dilihat dari dua perspektif: elit dan pinggiran. Keduanya memiliki khas tersendiri. Kalau orang-orang elit bergunjing di lobi-lobi hotel, kafe-kafe mewah. Sedangkan orang-orang pinggiran bergunjing dari warung ke warung, rumah ke rumah dan kafe-kafe murahan.
Dari perspektif yang kedua inilah agaknya Cok Bongak ‘dilahirkan’ oleh Dayon Arora dan kawan-kawan. Ya, Dafi Film Medan yang berdiri sejak 2011 menggarap film serial komedi bertajuk Cok Bongak melalui kacamata orang-orang Medan pinggiran.
Menurut Budaya Makmur alias Dayon Arora, Direktur Dafi Film, ketika bertemu dengan penulis, baru-baru ini di kantornya, Jalan Brigjen Katamso, Gang Darul Aman Medan, film ini merupakan produksi pertama mereka.
Kata Dayon, awalnya bincang-bincang santai, Abdul Azis Lubis menyarankan agar menggarap cerita khas Medan. Lalu, Budaya Makmur alias Dayon Arora pun sebagai produser mempercayakan penggarapan naskah sekaligus penulis skenario kepada Yan Amarni Lubis.
Selain yang menggagas, Azis juga dipercaya sebagai penata kamera sekaligus cameraman dan editor bersama Puli Ansari Lubis dan Ismail Hasibuan. Sedangkan penata art audio dipercayakan kepada Udjang D’jai.
Cok Bongak ini keseluruhannya ada 14 episode. Yang telah tergarap tiga episode. Pada episode Menggunjing dalam Lipatan mengisahkan tentang Sanana (Eva Gusmala Yanti) bermaksud mengadu nasib di kota. Sebagai batu loncatan, ia bermukim dan menimba pengalaman dulu di sebuah desa pinggiran kota.
Sutradara film ini dipercayakan kepada Yan Amarni Lubis, salah seorang tokoh Teater Nasional (Tena). Menurut Yan Amarni Lubis, ini merupakan pengalaman pertamanya menyutradari film.
Seting cerita di desa yang dikenal sangat damai, sejuk, dan nyaman. Tenteram, adem, anyem. Karena itulah barangkali desanya diberi nama Desa Suka Terendem.
Namun apa yang terjadi? Kehadiran Sanana di desa itu belakangan dicibir banyak kaum ibu. Gaya dandanan kota yang coba-coba disandangnya, berbuntut gunjingan. Ibu-ibu warga desa menuduh dia mau TePe, alias tebar pesona.
Korban Gunjingan
Tok Dayon (Dayon Arora), warga ‘karatan’ desa setempat tak luput jadi korban gunjingan. Karena, beberapa hari belakangan itu Sanana selalu mampir dan ngobrol dengan Tok Dayon, di gubuk kopi milik lelaki parobaya itu. Dan di gubuk kopi itu pulalah si Ucok, alias Cok Bongak selalu nongkrong, lengkap dengan sejuta khayalnya.
Cok Bongak (Andy Mukly juga dari Tena), pun warga asli desa setempat. Mengaku pada semua orang kalau dia itu wartawan. Kadang lajang karam itu tak segan berlagak dirinya sebagai seorang pengusaha. Eh, belakangan baru ketahuan, yang dimaksud dengan pengusaha itu rupanya akronim dari pengangguran suka berleha. Tak heran kalau warga desa memberi embel Bongak di belakang namanya. Bongak, sudah barang tentu bermakna dengan hal-hal tak sedap. Belagak, sok, besar cakap, lantam, mentiko.
Akibat ulah Cok Bongak, yang menyebarluaskan rekayasa foto mesra Tok Dayon dan Sanana, bahtera rumah tangga Tok Dayon sempat oleng. Suasana itu, diperparah lagi dengan gunjingan ibu-ibu warga desa, dimotori Mak Gontar (Cici Saja) dan Murkana (Duma Sari Nasution). Tok Dayon difitnah ada ‘maen serong’ dengan Sanana. Untung Biyah (Linda Djalal), salah satu ibu warga desa, tak mau ikut campur urusan rumah tangga orang, hingga ia luput dari datangnya ganjaran.
Akhirnya, siapa yang menabur angin, dialah yang menuai badai.
Film Komedi Serial, yang cerita dan skenarionya ini ditulis oleh Yan Amarni Lubis, dan mengambil keseluruhan lokasi di seputar Marindal, Patumbak, Deli Serdang. Sebahagian besar di sebuah lahan milik seorang aktivis pemuda daerah setempat yang akrab dipanggil Bang Jonjok.
Seperti diketahui, Yan Amarni Lubis adalah seorang aktor teater, sinetron dan film yang sudah sangat dikenal di Medan maupun Indonesia. Dengan pengalaman puluhan tahun sebagai pelakon di pentas teater maupun layar kaca, kali ini ia ingin merambah ke dunia penulisan cerita atau skenario dan penyutradaan film.
Menurutnya, belajar kan jauh lebih banyak bagusnya, ketimbang cakap-cakap saja. Dan, keputusan yang diambil Yan ini pun, didukung oleh kawan-kawan, terutama yang terlibat langsung dalam pembuatan film.
Selama puluhan tahun ini dia hanya sebagai pemain, baik di teater mau pun di sinetron, serta beberapa layar lebar. Ternyata, menurutnya, asyik juga menjadi sutradara.
Diperkirakan, dari pra produksi, hingga selesainya film ini dalam bentuk hasil jadi, memakan waktu lebih dari setengah bulan.
Patungan
Film yang digarap teman-teman ini, biaya didapat dari patungan dan bantuan orang-orang yang peduli. Mereka mau bersusah payah menggarap film karena film memberi multi efek proyek. Sebuah survey mengatakan banyak orang Indonesia tertarik ke Thailand karena menonton film James Bond yang lokasi shootingnya di pantai Pukhet. Untuk Indonesia, kita ramai-ramai ke Belitung, tidak lain karena buku dan film “Laskar Pelangi”. Pariwisata Belitung meningkat 800 persen.
Dalam pada itu, pengakuan Yan Amarni Lubis dalam suasana kerja pembuatan film inilah, pihaknya betul-betul dapat merasakan, film tidak hanya sebagai media ekspresi seni atau budaya semata, tapi merasuk menjadi pembentukan karekter diri. Di dalam proses pembuatannya, warga-warga desa sekitar begitu antusias memberikan kontribusinya dengan ikhlas dan penuh kekeluargaan, hingga mereka terkonsentrasi untuk memperoleh peningkatan pengetahuan tentang perfilman.
Bravo insan film Medan. Semoga langkah yang baik ini, jadi tonggak awal kebangkitan film Sumut (Medan) seperti tahun-tahun 70-an ke bawah. Amin.(*)
*Penulis adalah Peminat Masalah Sosial Budaya Menetap di Medan