Oleh: Ariska Sinaga
Mahasiswa Jember
SUMUTPOS.CO – Indonesia merupakan salah satu negara yang yang menganut prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. Dalam perwujudannya mengadakan pemilu adalah salah satu contoh prinsip demokrasi di Indonesia telah dilaksanakan.
Masyarakat menggunakan hak pilihnya untuk menentukan sendiri masa depan bangsanya. Mahkamah Konstitusi yang salah satu fungsinya adalah pengawal demokrasi dan perlindungan HAM.
Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa wewenang salah satu diantaranya memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Pemilihan umum sejak era reformasi melibatkan rakyat secara langsung sehingga diperlukan mekanisme untuk menyelesaikan sengketa.
Gugatan yang di ajukan oleh pasangan capres dan cawapres dari paslon 01 dan 03 resmi diterima oleh pihak Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu diserahkan kepada MK beberapa jam setelah pengumuman pemenangan hasil pemilu oleh KPU, pilihan tersebut dimenangkan oleh paslon nomor urut 02, Probowo-Gibran dengan meraih perolehan suara terbanyak dengan 96.214.691 alias 58,58% dari total 164.270.475 suara sah.
Apakah MK akan sportif menangani
sengketa ini? Pengakuan Pengajar hukum tata negara, Bivtri Susanti masih memiliki kepercayaan kepada MK meski dibaliknya pun tetap ada keraguan.
“Jadi, saya masih 50:50-lah. Dalam arti, doubt [keraguan]-nya ada tapi masih punya harapan,” ujarnya (21/03/2024).
Mahkamah Konstitusi menjadi sorotoan publik sejak dikeluarkannya putusan yudikatif mengenai gugatan syarat umur minimal capres-cawapres pada Oktober tahun lalu atau yang sering dijuluki “putusan 90” atau “perkara 90”. Putusan tersebut menjadi sorotan karena ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman yang memimpin dan memutus gugatan tersebut merupakan ipar dari Presiden Jokowi atau Paman dari cawapres paslon 92 yaitu Gibran.
Putusan ini kian memanas karena putusan hasil sidang tersebut dianggap mengacu pada kepentingan status keluarga tersebut.
Sehingga pada saat itu pernah muncul julukan MK adalah “Mahkamah Keluarga”
Mengingat Anwar Usman sebagai salah satu hakim dari 9 hakim lainnya di MK pasti mempunyai beban etik yang sangat berat. Hal tersebut terjadi dikarenakan beliau merupakan ipar dari Presiden Jokowi, terutama dalam sengketa pemilu 2024 tersebut.
Presiden Jokowi memang tidak dapat mencalonkan diri kembali menjadi seorang Presiden, tetapi mengingat presiden Jokowi masih dalam masa jabatannya, pastilah memiliki pengaruh politik yang sangat besar.
Namun, dengan terpilihnya ketua Mahkamah Konstitusi yang baru yaitu Suhartoyo menggantikan Anwar
Usman yang sebelumnya menjadi ketua, diharapkan dalam masa jabatannya dan dalam penyelesain sengketa pilpres 2024 ini, Suhartoyo bisa menjadi penyeimbangnya.
Saldi yang merupakan wakil ketua MK menyadari bahwa tantangannya dalam
menjalankan tugas kedepannya akan sangat berat, terlebih mengembalikan kepercayaan masyarakat atas MK yang belakangan cukup memudar terutama sejak masa pemilu belakangan
ini.
”Terlebih lagi karena 2024 itu menghadapi agenda nasional pemilu, baik pemilihan presiden, pemilihan legislatif, maupun akan pemilihan kepala daerah juga. Solidaritas di internal akan
menjadi sesuatu yang akan kami jaga ke depan,” tuturnya.
Dalam penyelesaian kasus pilpres ini
secara resmi bahwa Anwar Usman tidak ikut ambil bagian, sehingga hanya 8 hakim saja yang menangani sengketa tersebut. Hal ini akan menjadi trobosan baru untuk mengembalikan atau
meningkatkan citra diri dan nama baik mahkamah konstitusi yang sebelumnya sudah sempat redup.
Langkah yang akan diambil oleh MK kedepannya menentukan kembalikah kepercayaan publik terhada MK atau tidak. Ini menjadi momentum bagi MK untuk mengembalikan public trust
itu.
Dalam konteks sengketa ini MK diharapkan menunjukkan ke publik kinerja mereka bukan ternilai dari putusan akhir melainkan dari prosesnya yang mementingkan transparansi dan
indenpendensi.
Dengan ditetapkannya pemenang hasil pemilu dan siapapun pemenangnya
diharapkan akan memimpin Indonesia 5 tahun kedepan dengan membawa negara Indonesia kea rah yang lebih baik dan lebih bermartabat. (rel/*)