25 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Negara Hukum Indonesia: Beberapa Tanggapan

Oleh: Edi Atmaja AP

Indonesia pasca-Reformasi 1998 adalah Indonesia yang tengah mencari (lagi) jati dirinya. Krisis multidimensi yang bergolak di pengujung rezim Orde Baru meminta lebih dari sekadar perombakan pemerintahan, melainkan juga pencarian kembali (research) identitas bangsa dan negara.

Amendemen konstitusi hingga empat kali mengantarkan Indonesia pada babak baru, yang dikatakan banyak orang sebagai era demokrasi liberal. Lantas, dari pencarian identitas itu, apa yang didapat? Bukan keadilan sosial yang selama ini diidam-idamkan.

Konstitusi yang sarat anasir liberal itu justru mengesampingkan norma dasar (grundnorm) dan kaidah fundamental negara (staatsfundamentalnorm) yang sejak lama dikristalisasi para pendiri bangsa dari ciri khas, sifat, dan karakter luhur bangsa Indonesia: Pancasila.

Setelah lama direduksi penguasa Orde Baru, Pancasila di masa kini dianggap layaknya momok yang tak perlu ditengok. Kita tahu, tafsir tunggal atas Pancasila adalah senjata ampuh Orde Baru untuk merepresi hak asasi warga.

Namun, kecaman atas tafsir tunggal justru melahirkan sikap antitafsir, bahkan anti-Pancasila. Selepas Reformasi, negara ini malah seolah terjun bebas sebebas-bebasnya, tanpa pedoman dan pegangan.

Hal ini diperkeruh oleh ekses negatif globalisasi yang berniat menyeragamkan dunia. Pancasila, di era global, adalah tema usang yang dianggap ketinggalan zaman. Berdasarkan keprihatinan semacam itulah, Arief Hidayat, guru besar hukum Tatanegara Universitas Diponegoro, menawarkan konsep negara hukum Pancasila. Tulisan ini bermaksud menjelas-jabarkan konsep hukum Pancasila dan, sedapat mungkin, memberikan tanggapan atasnya.

Rechtsstaat dan The Rule of Law

Dengan mengacu pada konsep kedaulatan hukum (leer van de rechts souvereinteit), dipahami bahwa negara, secara prinsipil, tidak didasarkan atas kekuasaan (machtsstaat), tetapi atas hukum. Konsep negara hukum senantiasa bertentangan dengan konsep negara kekuasaan atau negara yang memerintah dengan sewenang-wenang (willkuurstaat).

Di dunia ini, dikenal tiga macam konsep negara hukum yang paling menonjol (Azhary, 2010: 83). Pertama, konsep negara hukum Barat. Terdapat dua macam konsep negara hukum Barat, yakni konsep Rechtsstaat dan The Rule of Law. Rechtsstaat lahir dalam tradisi hukum negara-negara Eropa kontinental yang bercorak Civil Law, sementara The Rule of Law adalah ciri khas negara-negara Anglo Saxon yang bercorak Common Law.
Negara bercorak Civil Law memaknai hukum dalam bentuknya yang tertulis: undang-undang. Kebenaran hukum dan keadilan terletak pada pembuktian tertulis. Dengan demikian, dalam Rechtsstaat, aspek kepastian hukum amat ditekankan.

Berbeda dengan Rechtsstaat, kebenaran hukum dan keadilan menurut The Rule of Law tidak semata-mata terletak pada aturan tertulis. Keputusan hakim lebih dianggap sebagai hukum yang sesungguhnya ketimbang undang-undang.  Oleh sebab itu, hakim dituntut mampu membikin hukum sendiri melalui yurisprudensi tanpa mesti terikat ketat pada aturan tertulis.  Kedua, konsep negara hukum sosialis komunis. Karakteristik konsep negara hukum ini adalah pendasarannya pada nilai-nilai sosial paguyuban, bukan patembayan.

Hak-hak individu dikesampingkan guna kepentingan sosial-komunal seraya menafikan agama dalam urusan negara, tidak hanya memisahkan urusan keagamaan dengan kenegaraan (secular).

Ketiga, konsep negara hukum Islam. Titik beda konsep ini dengan konsep negara hukum lainnya terletak pada pendasarannya akan asas dan kaidah hukum Islam (syari’ah) yang bersumber utama Alquran dan Hadits.

Dalam makalah bertajuk “Negara Hukum Pancasila: Suatu Model Ideal Penyelenggaraan Negara Hukum” yang dikemukakan dalam Semiloka Pendidikan Pancasila dan Konstitusi yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi RI, Arief Hidayat mempertanyakan konsep negara hukum negara ini pasca-amendemen konstitusi. Dinyatakan dalam Penjelasan Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), konstitusi pra-amendemen, bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat).

Namun, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), konstitusi pasca-amendemen, tidak menyebutkan lagi istilah “rechtsstaat” itu, tetapi hanya menyatakan  “Negara Indonesia adalah negara hukum” (Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945). Lantas, negara ini menganut konsep negara hukum seperti apa kalau bukan Rechtsstaat lagi? Arief menawarkan konsep negara hukum Pancasila. Konsep negara hukum Pancasila, menurut dia, mengandung lima macam karakteristik (Mahfud MD, 2006: 23-30).

Pertama, negara hukum Pancasila berasas kekeluargaan: mengakui hak-hak individu tapi dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Kedua, berkepastian hukum dan berkeadilan.

Ketiga, berlandaskan nilai-nilai keagamaan (religious nation-state). Keempat, memadukan hukum sebagai sarana rekayasa sosial dan hukum sebagai cerminan budaya masyarakat. Kelima, basis pembentukan hukum mestilah pada prinsip hukum yang bersifat netral dan universal.

Beberapa Tanggapan

Dalam makalahnya, Arief Hidayat berulangkali menegaskan bahwa konsep negara hukum Pancasila adalah satu-satunya jawaban final buat negara ini. Sistem hukum Indonesia dilandasi oleh Pembukaan dan pasal-pasal UUD NRI 1945 -yang di dalamnya terkandung nilai-nilai Pancasila. Oleh sebab itu, penyelenggaraan negara yang paling ideal mutlak dan wajib berlandaskan Pancasila.

Namun, di sini akan diajukan beberapa tanggapan. Pertama, Indonesia sejak dulu mewarisi corak hukum Civil Law akibat kolonialisasi Belanda. Apakah Pancasila dapat sepenuhnya menggantikan corak hukum yang  mapan itu?

Kedua, pencantuman kata “Pancasila” dalam konstitusi tak pelak akan mengulang lagi trauma masa lalu: akan ada tafsir tunggal mengenai Pancasila-tafsir yang jelas sarat kepentingan penguasa.

Sebab, pencantuman kata itu akan memantik pertanyaan lanjutan: apa persisnya Pancasila itu, bagaimana teknis pelaksanaannya? Ketiga, apa pun konsep negara hukum yang hendak dianut negara ini, semestinya ia mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.***

(Penulis: Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang)

Oleh: Edi Atmaja AP

Indonesia pasca-Reformasi 1998 adalah Indonesia yang tengah mencari (lagi) jati dirinya. Krisis multidimensi yang bergolak di pengujung rezim Orde Baru meminta lebih dari sekadar perombakan pemerintahan, melainkan juga pencarian kembali (research) identitas bangsa dan negara.

Amendemen konstitusi hingga empat kali mengantarkan Indonesia pada babak baru, yang dikatakan banyak orang sebagai era demokrasi liberal. Lantas, dari pencarian identitas itu, apa yang didapat? Bukan keadilan sosial yang selama ini diidam-idamkan.

Konstitusi yang sarat anasir liberal itu justru mengesampingkan norma dasar (grundnorm) dan kaidah fundamental negara (staatsfundamentalnorm) yang sejak lama dikristalisasi para pendiri bangsa dari ciri khas, sifat, dan karakter luhur bangsa Indonesia: Pancasila.

Setelah lama direduksi penguasa Orde Baru, Pancasila di masa kini dianggap layaknya momok yang tak perlu ditengok. Kita tahu, tafsir tunggal atas Pancasila adalah senjata ampuh Orde Baru untuk merepresi hak asasi warga.

Namun, kecaman atas tafsir tunggal justru melahirkan sikap antitafsir, bahkan anti-Pancasila. Selepas Reformasi, negara ini malah seolah terjun bebas sebebas-bebasnya, tanpa pedoman dan pegangan.

Hal ini diperkeruh oleh ekses negatif globalisasi yang berniat menyeragamkan dunia. Pancasila, di era global, adalah tema usang yang dianggap ketinggalan zaman. Berdasarkan keprihatinan semacam itulah, Arief Hidayat, guru besar hukum Tatanegara Universitas Diponegoro, menawarkan konsep negara hukum Pancasila. Tulisan ini bermaksud menjelas-jabarkan konsep hukum Pancasila dan, sedapat mungkin, memberikan tanggapan atasnya.

Rechtsstaat dan The Rule of Law

Dengan mengacu pada konsep kedaulatan hukum (leer van de rechts souvereinteit), dipahami bahwa negara, secara prinsipil, tidak didasarkan atas kekuasaan (machtsstaat), tetapi atas hukum. Konsep negara hukum senantiasa bertentangan dengan konsep negara kekuasaan atau negara yang memerintah dengan sewenang-wenang (willkuurstaat).

Di dunia ini, dikenal tiga macam konsep negara hukum yang paling menonjol (Azhary, 2010: 83). Pertama, konsep negara hukum Barat. Terdapat dua macam konsep negara hukum Barat, yakni konsep Rechtsstaat dan The Rule of Law. Rechtsstaat lahir dalam tradisi hukum negara-negara Eropa kontinental yang bercorak Civil Law, sementara The Rule of Law adalah ciri khas negara-negara Anglo Saxon yang bercorak Common Law.
Negara bercorak Civil Law memaknai hukum dalam bentuknya yang tertulis: undang-undang. Kebenaran hukum dan keadilan terletak pada pembuktian tertulis. Dengan demikian, dalam Rechtsstaat, aspek kepastian hukum amat ditekankan.

Berbeda dengan Rechtsstaat, kebenaran hukum dan keadilan menurut The Rule of Law tidak semata-mata terletak pada aturan tertulis. Keputusan hakim lebih dianggap sebagai hukum yang sesungguhnya ketimbang undang-undang.  Oleh sebab itu, hakim dituntut mampu membikin hukum sendiri melalui yurisprudensi tanpa mesti terikat ketat pada aturan tertulis.  Kedua, konsep negara hukum sosialis komunis. Karakteristik konsep negara hukum ini adalah pendasarannya pada nilai-nilai sosial paguyuban, bukan patembayan.

Hak-hak individu dikesampingkan guna kepentingan sosial-komunal seraya menafikan agama dalam urusan negara, tidak hanya memisahkan urusan keagamaan dengan kenegaraan (secular).

Ketiga, konsep negara hukum Islam. Titik beda konsep ini dengan konsep negara hukum lainnya terletak pada pendasarannya akan asas dan kaidah hukum Islam (syari’ah) yang bersumber utama Alquran dan Hadits.

Dalam makalah bertajuk “Negara Hukum Pancasila: Suatu Model Ideal Penyelenggaraan Negara Hukum” yang dikemukakan dalam Semiloka Pendidikan Pancasila dan Konstitusi yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi RI, Arief Hidayat mempertanyakan konsep negara hukum negara ini pasca-amendemen konstitusi. Dinyatakan dalam Penjelasan Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), konstitusi pra-amendemen, bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat).

Namun, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), konstitusi pasca-amendemen, tidak menyebutkan lagi istilah “rechtsstaat” itu, tetapi hanya menyatakan  “Negara Indonesia adalah negara hukum” (Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945). Lantas, negara ini menganut konsep negara hukum seperti apa kalau bukan Rechtsstaat lagi? Arief menawarkan konsep negara hukum Pancasila. Konsep negara hukum Pancasila, menurut dia, mengandung lima macam karakteristik (Mahfud MD, 2006: 23-30).

Pertama, negara hukum Pancasila berasas kekeluargaan: mengakui hak-hak individu tapi dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Kedua, berkepastian hukum dan berkeadilan.

Ketiga, berlandaskan nilai-nilai keagamaan (religious nation-state). Keempat, memadukan hukum sebagai sarana rekayasa sosial dan hukum sebagai cerminan budaya masyarakat. Kelima, basis pembentukan hukum mestilah pada prinsip hukum yang bersifat netral dan universal.

Beberapa Tanggapan

Dalam makalahnya, Arief Hidayat berulangkali menegaskan bahwa konsep negara hukum Pancasila adalah satu-satunya jawaban final buat negara ini. Sistem hukum Indonesia dilandasi oleh Pembukaan dan pasal-pasal UUD NRI 1945 -yang di dalamnya terkandung nilai-nilai Pancasila. Oleh sebab itu, penyelenggaraan negara yang paling ideal mutlak dan wajib berlandaskan Pancasila.

Namun, di sini akan diajukan beberapa tanggapan. Pertama, Indonesia sejak dulu mewarisi corak hukum Civil Law akibat kolonialisasi Belanda. Apakah Pancasila dapat sepenuhnya menggantikan corak hukum yang  mapan itu?

Kedua, pencantuman kata “Pancasila” dalam konstitusi tak pelak akan mengulang lagi trauma masa lalu: akan ada tafsir tunggal mengenai Pancasila-tafsir yang jelas sarat kepentingan penguasa.

Sebab, pencantuman kata itu akan memantik pertanyaan lanjutan: apa persisnya Pancasila itu, bagaimana teknis pelaksanaannya? Ketiga, apa pun konsep negara hukum yang hendak dianut negara ini, semestinya ia mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.***

(Penulis: Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/