28 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Aktivitas Seks Pelajar Memprihatinkan

ilustrasi-seks-pelajarINI peringatan keras bagi para orang tua. Mereka harus benar-benar menyikapi secara serius gaya berpacaran anak-anak remajanya. Berdasar hasil penelitian, 44 persen pelajar SMA telah melakukan aktivitas seksual.

Aktivitas seksual seharusnya dilakukan pasangan yang telah resmi menikah. Namun, aktivitas tersebut kini justru menjadi hal yang tidak tabu lagi di kalangan remaja saat berpacaran. Bahkan, ada yang menjadikan kegiatan seksual sebagai gaya hidup baru dalam berpacaran.

Berdasar penelitian yang dilakukan Hotline Pendidikan Jatim, 31 persen pelajar SMP dan 44 persen pelajar SMA di Surabaya ternyata pernah melakukan aktivitas seksual saat berpacaran. Mulai berpegangan tangan, berciuman, petting, hingga berhubungan intim.

Penelitian pertama dilakukan pada 2011 dengan sasaran pelajar SMP di Surabaya. Di antara 700 pelajar SMP yang disurvei, hasilnya cukup mengejutkan. Sebanyak 31 persen menjurus pada kegiatan seksual saat berpacaran. Bahkan, 14 persen di antara mereka melakukan hubungan intim selama berpacaran. Perilaku yang sangat memprihatinkan itu terjadi pada pelajar di Surabaya.

Hasil penelitian tersebut diperkuat penelitian berikutnya pada 2012. Pada penelitian kedua, Hotline Pendidikan berfokus pada pelajar SMA di Surabaya. Sebanyak 600 pelajar SMA kelas XI dijadikan responden. Hasilnya, 44 persen gaya berpacaran pelajar SMA menggambarkan aktivitas pergaulan bebas remaja. Sebanyak 16 persennya sudah melakukan hubungan layaknya suami istri.

Ketua Hotline Pendidikan Jawa Timur Isa Ansori menyatakan, gaya hidup baru para pelajar dalam berpacaran itu tidak serta-merta muncul begitu saja. Menurut dia, ada sebab akibat terkait perubahan perilaku remaja tersebut. Salah satunya pembiasaan anak-anak memperoleh informasi tentang perilaku gaya hidup secara bebas. Yaitu, melalui internet, televisi, radio, majalah, atau media handphone. Hal itu mengakibatkan perubahan perilaku remaja. “Informasi gaya hidup bebas yang kerap dilihat, dibaca, dan didengar lambat laun akan biasa. Sehingga, remaja kini jadi minim budaya malu,” ujarnya.

Saat ini, lanjut Isa, anak semakin mudah memperoleh informasi tentang gaya hidup modern yang mengarah pada gaya hidup ala Barat. Karena itu, jika budaya pembiaran perilaku tersebut (kebebasan mengakses informasi) terus berlanjut, secara otomatis budaya ketimuran juga akan luntur.

Apalagi dalam hasil penelitian, 40 persen lebih responden telah menghalalkan hubungan seksual. Artinya, siswa yang berpendapat demikian tinggal menunggu momentum yang tepat untuk melakukan perilaku seksual.

Karena itu, kata Isa, semua pihak harus bertanggung jawab untuk membuat regulasi yang bisa diterima anak-anak. Baik orang tua, pemerintah, dinas pendidikan, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli dengan generasi muda. Salah satu yang diperlukan adalah pelatihan kecerdasan literasi. Dengan demikian, ketika anak memiliki kemampuan untuk mengakses informasi dari berbagai media secara mudah, mereka akan cerdas memilih informasi yang baik dan buruk. “Saya rasa pendampingan anak kurang. Juga perhatian dari orang tua maupun pemerintah,” ujar pria yang juga ketua Dewan Pendidikan Surabaya itu.

Kebebasan akses informasi hingga memengaruhi perilaku seksual pelajar itu, lanjut Isa, juga terkait dengan pola pembelajaran baru yang diterapkan di sekolah. Jika sebelumnya anak diberi tahu informasi oleh guru, kini dengan pola pembelajaran baru, anak justru mencari tahu sendiri informasi tersebut. Akibatnya, ketika anak dilepas begitu saja tanpa dibekali pemahaman memperoleh informasi, yang terjadi adalah anak secara bebas mencari tahu informasi itu tanpa batasan. “Sekarang ini kan kurikulum baru, anak justru mencari tahu sendiri. Rasa ingin tahu itu yang membuat anak bebas mencari informasi dari berbagai media,” tambahnya.

Dengan adanya fenomena tersebut, menurut Isa, yang diperlukan adalah bersama-sama memberikan pencerahan kepada anak-anak tentang apa yang dilakukan. Termasuk aktivitas di ruang publik seperti Facebook, BBM, maupun Twitter. Semua pihak harus memberikan batasan-batasan agar anak tidak terjerumus. “Di ruang publik biasanya anak bisa curhat dan sebagainya. Ketika kebebasan itu ada, anak perlu didampingi,” jelasnya.

Selain itu, Isa mengatakan, pendidikan reproduksi perlu diberikan kepada anak-anak sejak usia dini. Tetapi, pendidikan reproduksi tersebut harus dikemas dengan baik untuk mengarahkan anak menjauhi tindakan seksual di luar nikah. “Selama ini pendidikan reproduksi belum ada,” jelasnya.

Berdasar penelitian yang dilakukan kepada siswa SMP dan SMA di Surabaya tersebut, akses informasi yang mengubah perilaku seksual pelajar paling banyak didapat dari tiga sumber. Yaitu, televisi, teman, dan internet. Karena itu, tiga akses informasi tersebut harus disikapi. “Semuanya harus dibenahi. Orang tua harus punya waktu dan lebih intens komunikasi dengan anak selama masa tumbuh kembang,” paparnya.

Sebab, sebagian besar remaja sekarang sangat sulit terbuka kepada orang tua. Mereka memilih mencari ruang lain untuk bisa terbuka tentang permasalahan yang menyangkut pribadi atau pasangannya. Hal itu juga berdasar laporan Telephon Sahabat (Tesa) 129 Jatim tahun lalu. Yaitu, ada 563 pengaduan. Sebanyak 60 persen pengaduan remaja tersebut adalah persoalan pacaran.

Setelah dilakukan pendalaman, anak-anak remaja masih sangat labil sehingga rentan melakukan sesuatu. Jadi, perlu dibikin kekuatan atau penyadaran terhadap anak-anak tersebut. Mereka rata-rata mengadu karena mengalami keterasingan di sekolah maupun di rumah. “Ini perlu disikapi,” ujar ketua Tesa 129 Jatim itu. (jpnn)

ilustrasi-seks-pelajarINI peringatan keras bagi para orang tua. Mereka harus benar-benar menyikapi secara serius gaya berpacaran anak-anak remajanya. Berdasar hasil penelitian, 44 persen pelajar SMA telah melakukan aktivitas seksual.

Aktivitas seksual seharusnya dilakukan pasangan yang telah resmi menikah. Namun, aktivitas tersebut kini justru menjadi hal yang tidak tabu lagi di kalangan remaja saat berpacaran. Bahkan, ada yang menjadikan kegiatan seksual sebagai gaya hidup baru dalam berpacaran.

Berdasar penelitian yang dilakukan Hotline Pendidikan Jatim, 31 persen pelajar SMP dan 44 persen pelajar SMA di Surabaya ternyata pernah melakukan aktivitas seksual saat berpacaran. Mulai berpegangan tangan, berciuman, petting, hingga berhubungan intim.

Penelitian pertama dilakukan pada 2011 dengan sasaran pelajar SMP di Surabaya. Di antara 700 pelajar SMP yang disurvei, hasilnya cukup mengejutkan. Sebanyak 31 persen menjurus pada kegiatan seksual saat berpacaran. Bahkan, 14 persen di antara mereka melakukan hubungan intim selama berpacaran. Perilaku yang sangat memprihatinkan itu terjadi pada pelajar di Surabaya.

Hasil penelitian tersebut diperkuat penelitian berikutnya pada 2012. Pada penelitian kedua, Hotline Pendidikan berfokus pada pelajar SMA di Surabaya. Sebanyak 600 pelajar SMA kelas XI dijadikan responden. Hasilnya, 44 persen gaya berpacaran pelajar SMA menggambarkan aktivitas pergaulan bebas remaja. Sebanyak 16 persennya sudah melakukan hubungan layaknya suami istri.

Ketua Hotline Pendidikan Jawa Timur Isa Ansori menyatakan, gaya hidup baru para pelajar dalam berpacaran itu tidak serta-merta muncul begitu saja. Menurut dia, ada sebab akibat terkait perubahan perilaku remaja tersebut. Salah satunya pembiasaan anak-anak memperoleh informasi tentang perilaku gaya hidup secara bebas. Yaitu, melalui internet, televisi, radio, majalah, atau media handphone. Hal itu mengakibatkan perubahan perilaku remaja. “Informasi gaya hidup bebas yang kerap dilihat, dibaca, dan didengar lambat laun akan biasa. Sehingga, remaja kini jadi minim budaya malu,” ujarnya.

Saat ini, lanjut Isa, anak semakin mudah memperoleh informasi tentang gaya hidup modern yang mengarah pada gaya hidup ala Barat. Karena itu, jika budaya pembiaran perilaku tersebut (kebebasan mengakses informasi) terus berlanjut, secara otomatis budaya ketimuran juga akan luntur.

Apalagi dalam hasil penelitian, 40 persen lebih responden telah menghalalkan hubungan seksual. Artinya, siswa yang berpendapat demikian tinggal menunggu momentum yang tepat untuk melakukan perilaku seksual.

Karena itu, kata Isa, semua pihak harus bertanggung jawab untuk membuat regulasi yang bisa diterima anak-anak. Baik orang tua, pemerintah, dinas pendidikan, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli dengan generasi muda. Salah satu yang diperlukan adalah pelatihan kecerdasan literasi. Dengan demikian, ketika anak memiliki kemampuan untuk mengakses informasi dari berbagai media secara mudah, mereka akan cerdas memilih informasi yang baik dan buruk. “Saya rasa pendampingan anak kurang. Juga perhatian dari orang tua maupun pemerintah,” ujar pria yang juga ketua Dewan Pendidikan Surabaya itu.

Kebebasan akses informasi hingga memengaruhi perilaku seksual pelajar itu, lanjut Isa, juga terkait dengan pola pembelajaran baru yang diterapkan di sekolah. Jika sebelumnya anak diberi tahu informasi oleh guru, kini dengan pola pembelajaran baru, anak justru mencari tahu sendiri informasi tersebut. Akibatnya, ketika anak dilepas begitu saja tanpa dibekali pemahaman memperoleh informasi, yang terjadi adalah anak secara bebas mencari tahu informasi itu tanpa batasan. “Sekarang ini kan kurikulum baru, anak justru mencari tahu sendiri. Rasa ingin tahu itu yang membuat anak bebas mencari informasi dari berbagai media,” tambahnya.

Dengan adanya fenomena tersebut, menurut Isa, yang diperlukan adalah bersama-sama memberikan pencerahan kepada anak-anak tentang apa yang dilakukan. Termasuk aktivitas di ruang publik seperti Facebook, BBM, maupun Twitter. Semua pihak harus memberikan batasan-batasan agar anak tidak terjerumus. “Di ruang publik biasanya anak bisa curhat dan sebagainya. Ketika kebebasan itu ada, anak perlu didampingi,” jelasnya.

Selain itu, Isa mengatakan, pendidikan reproduksi perlu diberikan kepada anak-anak sejak usia dini. Tetapi, pendidikan reproduksi tersebut harus dikemas dengan baik untuk mengarahkan anak menjauhi tindakan seksual di luar nikah. “Selama ini pendidikan reproduksi belum ada,” jelasnya.

Berdasar penelitian yang dilakukan kepada siswa SMP dan SMA di Surabaya tersebut, akses informasi yang mengubah perilaku seksual pelajar paling banyak didapat dari tiga sumber. Yaitu, televisi, teman, dan internet. Karena itu, tiga akses informasi tersebut harus disikapi. “Semuanya harus dibenahi. Orang tua harus punya waktu dan lebih intens komunikasi dengan anak selama masa tumbuh kembang,” paparnya.

Sebab, sebagian besar remaja sekarang sangat sulit terbuka kepada orang tua. Mereka memilih mencari ruang lain untuk bisa terbuka tentang permasalahan yang menyangkut pribadi atau pasangannya. Hal itu juga berdasar laporan Telephon Sahabat (Tesa) 129 Jatim tahun lalu. Yaitu, ada 563 pengaduan. Sebanyak 60 persen pengaduan remaja tersebut adalah persoalan pacaran.

Setelah dilakukan pendalaman, anak-anak remaja masih sangat labil sehingga rentan melakukan sesuatu. Jadi, perlu dibikin kekuatan atau penyadaran terhadap anak-anak tersebut. Mereka rata-rata mengadu karena mengalami keterasingan di sekolah maupun di rumah. “Ini perlu disikapi,” ujar ketua Tesa 129 Jatim itu. (jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/