26 C
Medan
Tuesday, October 22, 2024
spot_img

DP Rumah Naik, Konsumen Kesulitan

MEDAN- Kebijakan Bank Indonesia untuk menaikkan Down Payment (DP) rumah tipe 70 ke atas, tidak memiliki dampak terhadap harga rumah bekas huni atau secondary. Terbukti, minat masyarakat untuk membeli rumah bekas huni masih dalam tahap wajar, atau dapat dikatakan belum memiliki kenaikan penjualan.

Menurut Ketua Umum Real Estate Indoneis (REI) Sumut Tomi Wistan, harga rumah ditentukan oleh daerah, luas lahan, dan lainnya. Sehingga perbedaannya harga rumah baru tidak jauh berbeda. “Belum ada kenaikan permintaan sama sekali, ini kan tergantung dari daerah, tipe rumah, dan luas lahan yang menentukan harga rumah tersebut,” ujarnya.

Selain ditentukan oleh daerah, belum adanya kenaikan permintaan akan rumah bekas huni juga karena ada inisiatif pengembang untuk bermain dalam pembayaran DP. “Pengembang melakukan pembayaran DP secara bertahap, dan ini sudah dilakukan sehingga memudahkan konsumen untuk membayar lagi,” tambahnya.

Tomi menjelaskan, ada dampak terkait dengan kebijakan dari BI ini, terutama bagi pengembang dan konsumen. Tetapi dipastikan dampak tersebut tidak akan berlangsung lama, sekitar 6 bulan ke depan masyarakat dan pengembang juga sudah mulai biasa.

“Dampak paling besar yang akan dihadapi dari kebijakan ini adalah pengembang, cost flow nya akan berjalan lambat. Sedangkan untuk konsumen akan sedikit lebih sulit untuk memiliki rumah,” tambahnya.

Dirinya memisalkan, dahulunya sebelum adanya kebijakan ini, setiap konsumen sudah dapat memiliki rumah dengan DP hanya 10 persen, dan begitu juga dengan pengembang untuk dijadikan modal. Tetapi, saat ini pengembang harus sedikit bersabar untuk mendapatkan modal, dan begitu dengan konsumen untuk memiliki rumah.

“Nah, ini dia yang dimaksud dengan perlambatan pertumbuhan, karena rumah sedikit kurang laku, dan pengembang akan sedikit sulit untuk mendapatkan dana segar,” tambahnya.

Sekretaris Asosiasi Pengembang Pertumbuhan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Sumut, Irwan Ray juga menjelaskan hal yang sama, harga rumah tergantung dari daerah. “Rumah sebelum dijual akan dinilai dahulu oleh apersal (tim penilai). Karena itu, kenaikan ini tidak ada dampak sama sekali dengan penjualanan rumah baru dengan rumah bekas,” ujarnya.
Apalagi pada umumnya, rumah bekas huni memiliki sistem pembayaran secara tunai. Sehingga akan sedikit menyulitkan masyarakat untuk memiliki dana tersebut. “Kalau rumah barukan pada umumnya di KPR kan, atau bayar kredit. Sedangkan rumah bekas huni bayarnya secara tunai, orang akan memilih pembayaran secara kredit dibandingkan dengan tunai,” lanjutnya.
Untuk saat ini, dirinya belum mampu menjelaskan atau memiliki data lengkap terkait dengan penjualanan rumah bekas huni dan rumah baru. Karena sulit untuk mendeteksi penjualanan rumah bekas huni, yang lebih umum dijual secara personal. “Kalau rumah baru kan cenderung di KPR, jadi datanya sudah tersimpan di bank atau developer itu sendiri,” tambahnya. (ram)

MEDAN- Kebijakan Bank Indonesia untuk menaikkan Down Payment (DP) rumah tipe 70 ke atas, tidak memiliki dampak terhadap harga rumah bekas huni atau secondary. Terbukti, minat masyarakat untuk membeli rumah bekas huni masih dalam tahap wajar, atau dapat dikatakan belum memiliki kenaikan penjualan.

Menurut Ketua Umum Real Estate Indoneis (REI) Sumut Tomi Wistan, harga rumah ditentukan oleh daerah, luas lahan, dan lainnya. Sehingga perbedaannya harga rumah baru tidak jauh berbeda. “Belum ada kenaikan permintaan sama sekali, ini kan tergantung dari daerah, tipe rumah, dan luas lahan yang menentukan harga rumah tersebut,” ujarnya.

Selain ditentukan oleh daerah, belum adanya kenaikan permintaan akan rumah bekas huni juga karena ada inisiatif pengembang untuk bermain dalam pembayaran DP. “Pengembang melakukan pembayaran DP secara bertahap, dan ini sudah dilakukan sehingga memudahkan konsumen untuk membayar lagi,” tambahnya.

Tomi menjelaskan, ada dampak terkait dengan kebijakan dari BI ini, terutama bagi pengembang dan konsumen. Tetapi dipastikan dampak tersebut tidak akan berlangsung lama, sekitar 6 bulan ke depan masyarakat dan pengembang juga sudah mulai biasa.

“Dampak paling besar yang akan dihadapi dari kebijakan ini adalah pengembang, cost flow nya akan berjalan lambat. Sedangkan untuk konsumen akan sedikit lebih sulit untuk memiliki rumah,” tambahnya.

Dirinya memisalkan, dahulunya sebelum adanya kebijakan ini, setiap konsumen sudah dapat memiliki rumah dengan DP hanya 10 persen, dan begitu juga dengan pengembang untuk dijadikan modal. Tetapi, saat ini pengembang harus sedikit bersabar untuk mendapatkan modal, dan begitu dengan konsumen untuk memiliki rumah.

“Nah, ini dia yang dimaksud dengan perlambatan pertumbuhan, karena rumah sedikit kurang laku, dan pengembang akan sedikit sulit untuk mendapatkan dana segar,” tambahnya.

Sekretaris Asosiasi Pengembang Pertumbuhan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Sumut, Irwan Ray juga menjelaskan hal yang sama, harga rumah tergantung dari daerah. “Rumah sebelum dijual akan dinilai dahulu oleh apersal (tim penilai). Karena itu, kenaikan ini tidak ada dampak sama sekali dengan penjualanan rumah baru dengan rumah bekas,” ujarnya.
Apalagi pada umumnya, rumah bekas huni memiliki sistem pembayaran secara tunai. Sehingga akan sedikit menyulitkan masyarakat untuk memiliki dana tersebut. “Kalau rumah barukan pada umumnya di KPR kan, atau bayar kredit. Sedangkan rumah bekas huni bayarnya secara tunai, orang akan memilih pembayaran secara kredit dibandingkan dengan tunai,” lanjutnya.
Untuk saat ini, dirinya belum mampu menjelaskan atau memiliki data lengkap terkait dengan penjualanan rumah bekas huni dan rumah baru. Karena sulit untuk mendeteksi penjualanan rumah bekas huni, yang lebih umum dijual secara personal. “Kalau rumah baru kan cenderung di KPR, jadi datanya sudah tersimpan di bank atau developer itu sendiri,” tambahnya. (ram)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru