JAKARTA – Program kredit pemilikan rumah yang disalurkan melalui Fasilitas Likuiditas Pembangunan Perumahan (KPR FLPP) Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) belum mengalami kemajuan yang signifikan.
Realisasi target penyaluran KPR FLPP tahun ini jauh dari kata tercapai, yaitu dari target 132.500 unit rumah tapak baru terealisasi 44 persen atau sebanyak 59.107 unit. Sementara itu, untuk rumah susun dari target 500 hanya terealisasi 5 unit atau 1 persen.
Hal ini terungkap dalam diskusi Pencapaian, Evaluasi, dan Proyeksi Kinerja Kementerian Perumahan Rakyat yang diselenggarakan di Puncak, Cianjur, Jawa Barat, Jumat (7/12).
Paparan pertama evaluasi disampaikan Deputi Bidang Pembiayaan Kemenpera, Sri Hartoyo, yang mengungkapkan, program FLPP masih menemui beberapa kendala sehingga menyebabkan menurunnya jumlah akad kredit KPR FLPP tahun ini.
“Uang muka masih terlalu besar, yaitu 10 persen. Biaya produksi juga naik seiring melambungnya harga-harga material bangunan, ditambah suplai untuk pasokan bagi hunian masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ini masih ringkih (kurang),” ujar Sri.
“Kendala lain yang utama adalah investor, yaitu bank pelaksana yang saat ini masih didominasi BTN. Partisipasi bank masih kecil,” tambahnya.
Dalam laporan kinerja dan evaluasi tersebut tercatat, bank yang telah melakukan realisasi KPR FLPP sampai 5 Desember 2012 lalu masih didominasi oleh BTN Konvensional dan BTN Syariah. Selama periode tersebut, BTN Konvensional mencapai 55.120 unit dari target 50.000 unit. Sementara capaian BTN Syariah sebanyak 2.746 dari target 2.933.
“Sebetulnya, dukungan uang muka sudah ada dari Jamsostek dan lain-lainnya. Tapi, itu tak bisa serta merta membantu daya beli. Pinjaman uang muka (PUM) itu akhirnya berdampak pada anggaran untuk angsuran secara besar yang ditanggung MBR, karena mereka punya dua angsuran sekaligus dalam sebulan,” kata Sri.
Seperti diketahui, Kementerian Perumahan Rakyat merasa optimistis, bahwa program Fasilitas Pembiayaan Pembangunan Perumahan (FLPP) pada 2012 ini akan mencapai target 133.000 unit rumah. Namun, sampai September lalu capaian target tersebut masih jauh dari harapan, yaitu baru sekitar 22.000 unit rumah tapak.
Target itu sulit tercapai lantaran sejak awal banyak masalah melingkupi penyaluran kredit rumah bagi MBR ini. Contohnya adalah aturan pemberian bunga yang tidak konsekuen di awal. Awalnya, Kemenpera menetapkan bunga 8,5 persen, kemudian diturunkan menjadi 7,25 persen.
Masalah lain menyangkut regulasi yang berubah adalah soal pembiayaan FLPP. Awalnya, pemerintah membolehkan pembiayaan rumah untuk tipe 21. Di tengah jalan, peratuan itu berubah lagi menjadi minimal tipe 36, sehingga yang ambil tipe 21 saat ini tidak mendapatkan program FLPP.
Sampai akhirnya, aturan minimal membangun rumah tipe 36 itu digugat oleh Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengabulkan gugatan tersebut sehingga aturan tipe 36 kembali berubah ke aturan sebelumnya, yaitu di bawah tipe 36. (jpnn)