Kepemilikan properti untuk orang asing di Indonesia (WNA) menimbulkan reaksi. Munculnya reaksi tersebut dinilai karena ketidakpahaman atas aturan undang-undang dan peraturan pemerintah yang sudah mengatur hak kepemilikan properti oleh orang asing.
Demikian terungkap dalam paparan yang disampaikan Ketua Umum DPP REI Setyo Maharso, Kamis (13/12), menanggapi pandangan Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (APERSSI) Ibnu Tadji HN. Setyo berharap, masyarakat tidak salah mengartikan soal kepemilikan properti asing.
“Jika regulasi tentang hak kepemilikan asing diperbaiki dengan tetap membatasi hanya pada produk properti tertentu dan dengan harga tertentu yang bisa dibeli oleh orang asing, pemerintah justru akan mendapatkan devisa, baik dari pajak maupun dampak ikutan lainnya,” kata Setyo.
Sebelumnya, APERSSI mengutarakan keberatannya atas kepemilikan properti oleh asing di Indonesia. Menurut Ibnu, membuka jalan bagi kepemilikan properti oleh asing akan berefek negatif bagi penduduk Indonesia, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
“Ada batasan-batasannya. Lagipula, properti untuk asing hanya ada di kota-kota besar. Kekhawatiran MBR itu tidak ada. Saya pikir ini jangan dipolitisir,” lanjut Setyo.
Sementara itu, menurut Wakil Sekretaris Jenderal DPP REI Yoke Prayogo mengatakan, sebetulnya undang-undang sudah memberikan jalan untuk kepemilikan asing. Undang-undang agraria memberikan hak pakai. Intinya, menurut Yoke, pihak asing tidak dapat membeli, melainkan hanya mendapatkan hak pakai.
“Sayangnya, hal ini tidak diatur dalam undang-undang rusun yang baru,” ujarnya.
Adapun pembatasan atau syarat kepemilikan oleh asing tersebut meliputi harga minimum properti hingga Rp2,5 miliar, PPN BM sebesar 40 %, serta penduduk asing tersebut sudah tinggal setidaknya 14 hari di Indonesia.
“Hak pakai itu ada batas waktunya. Sebenarnya sama dengan hak guna bangunan. Sistem perpanjangan juga bagus karena memberikan manfaat bagi pemasukan pajak negara,” tambah Yoke.
Namun, agar sistem ini berjalan dengan baik, tentu harus ada kejelasan regulasi. Dengan kata lain, ada political will antarlembaga dan kementrian, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Perumahan Rakyat, Menteri Keuangan, dan Kementerian Kehakiman.
Sementara itu, Setyo Maharso menambahkan, regulasi tersebut harus segera disiapkan, tidak bisa sembarangan.
Hal ini yang diminta oleh REI. REI sendiri telah menyiapkan kajian draft hukum kepemilikan properti bagi warga negara asing pada 2001-2004, tepatnya pada periode kepemimpinan Yan Mogi. Setyo berjanji akan memperbarui draft tersebut agar tetap aktual dengan keadaan saat ini.(kcm)