JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Berbagai temuan dugaan kecurangan Pemilu 2024 terus dikumpulkan masyarakat sipil. Temuan itu tidak hanya terkait dengan netralitas penyelenggara negara, tapi juga mengenai praktik politik uang (money politics). Indikasi kecurangan tersebut tersebar di 12 provinsi.
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Pemilu Curang Dudy Agung menjelaskan, pelanggaran yang diadukan ke Bawaslu sejauh ini sebanyak 27 laporan dan sudah disampaikan ke Bawaslu pada Minggu (11/2) lalu. Laporan itu berkaitan dengan pidana pemilu. ’’Belum termasuk pelanggaran administrasi dan etik,’’ ujarnya kepada Jawa Pos.
Dudy mengungkapkan, pelanggaran tersebut tersebar di antaranya di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Gorontalo, hingga Maluku. Setelah pelaporan itu, Dudy menyebut Bawaslu berjanji untuk menindaklanjutinya. ’’Bisa tidaknya ditindaklanjuti akan dibahas dalam (rapat) pleno (Bawaslu, Red),’’ terangnya.
Perwakilan koalisi lain, Hemi Lavour Febrinandez menambahkan, laporan tersebut tidak hanya bisa ditindaklanjuti oleh Bawaslu. Namun, juga bisa menjadi bahan pihak lain untuk kepentingan menggugat pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). “Entah siapa nanti yang menggunakan, laporan ini akan menjadi milik publik nantinya,’’ ungkapnya.
Netralitas ASN Jadi Isu Pelanggaran Tertinggi
Berdasarkan rekap dugaan pelanggaran yang dilaporkan masyarakat melalui situs https://jagapemilu.com serta percakapan di kanal media sosial, isu pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi yang tertinggi, mencapai 39 persen. Disusul dengan isu politik uang (20%), dan pelanggaran kampanye (17%).
“Ini terhubung dengan pelaku pelanggaran terbesar, yang ditempati oleh ASN di angka 32%, dibanding calon legislatif (29%) atau salah satu pasangan calon,” kata Luky Djani, Sekretaris Perkumpulan Jaga Pemilu dalam konferensi pers terkait hasil rekap pelanggaran temuan Pemilu 2024, Senin (12/2).
Menurut Luky, dari sisi kategori, pelanggaran yang Jaga Pemilu temukan dalam periode akhir Januari-tengah Februari 2024, didominasi oleh pelanggaran yang masuk dalam kategori tertinggi yakni tindak pidana pemilu (44%), disusul dengan dugaan pelanggaran hukum lain (33%), disusul dengan dugaan pelanggaran administrasi pemilu (13%) dan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara (10%).
Sementara Rusdi Marpaung, Divisi Advokasi dan Hukum Jaga Pemilu mengatakan, sebagai organisasi pemantau pemilu, Jaga Pemilu meneruskan laporan-laporan pelanggaran kepada Bawaslu. Namun ia menyayangkan, berbagai pelanggaran yang terjadi terkait netralitas ASN cenderung bersanksi lemah. “Sanksinya lebih banyak administratif atau teguran moral, tidak ada sanksi yang cukup memberi efek jera,” kata Rusdi.
“Juga bagi kepala daerah, wali kota, gubernur, harusnya sanksi untuk mereka datang dari kementerian. Tapi walaupun ada sanksi, maka efeknya pun tidak membuat jera atau cenderung lemah,” katanya.
Ketua Bawaslu periode 2017-2022, Abhan menilai, berbagai pelanggaran yang Bawaslu terima dari Jaga Pemilu, dan berbagai organisasi pemantau lainnya, adalah laporan masyarakat yang harus ditindaklanjuti. “Bawaslu punya fungsi menginvestigasi, karena itu Bawaslu harus transparan dalam upayanya menangani potensi pelanggaran yang masyarakat temukan. Ini untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses penyelenggaraan,” katanya.
Menurut Abhan, ia tidak heran jika sanksi yang diberikan kepada pelanggar netralitas ASN lemah. Ini mengingat bahwa wali kota atau bupati adalah pejabat pembina kepegawaian di daerah itu. Jika ada laporan potensi pelanggaran terhadap ASN, maka dari Bawaslu laporan tersebut akan masuk ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), yang akan meneruskannya kepada para pejabat pembina tersebut, yang bisa jadi justru memberi ruang bagi ketidaknetralan itu sendiri.
Ia menambahkan, laporan pelanggaran ASN pada 2019 tidak terlalu banyak. Biasanya justru di pemilihan kepala daerah pelanggaran ASN justru mendominasi. Yang menarik perlu ditelusuri, apakah setelah pemilihan kepala daerah tersebut dimenangkan oleh calon yang didukung pelanggaran, apakah para subjek pelanggar itu diberi promosi. “Jika mendapat promosi, artinya target dukungan yang tidak netral itu tercapai,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Luky Djani juga memaparkan beberapa tipologi kecurangan yang dapat terjadi di hari H seperti upaya menuai dukungan salah satu paslon di masa tenang, upaya membeli suara dengan menawarkan uang, yang dikenal dengan istilah “serangan fajar,” netralitas petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS), penyampaian formulir pemberitahuan memilih, pendistribusian logistik terhambat/terlambat, mobilisasi pemilih, intimidasi terhadap penyelenggara maupun pemilih yang menggunakan hak pilih lebih dari satu kali. (tyo/c6/bay/jpg/adz)