25 C
Medan
Wednesday, December 4, 2024
spot_img

Apapun Putusan MK Soal Sistem Pemilu Hari ini, KPU: Tahapan tak Terganggu

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kepastian soal sistem pemilu akan diketahui hari ini, Kamis (15/6). Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan bakal membacakan putusan pagi ini. Menanggapi hal itu, Komisi Pemilihan Umum menegaskan, apapun putusan MK, akan dilaksanakan

“Prinsip berkepastian hukum menjadi salah satu prinsip yang harus kami pedomani dalam menyelenggarakan tahapan Pemilu,” kata komisioner KPU RI Idham Holik mengomentari putusan MK, kemarin.

Untuk itu, pihaknya akan menunggu keputusan MK. Yang pasti, apapun keputusannya, tahapan Pemilu akan jalan sesuai jadwal. “Insya Allah semua ini akan berjalan sesuai apa (jadwal) yang ditetapkan KPU,” imbuhnya.

Sementara itu, pakar kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini memperkirakan, MK akan bersikap bijak. Yakni dengan menyerahkan kebijakan sistem Pemilu pada pembuat UU. Hal itu dilihat dari pendapat yang banyak disampaikan para ahli juga pihak terkait dalam persidangan.

Titi juga berpendapat, tidak ada persoalan konstitusionalitas dalam sistem Pemilu. Baik terbuka maupun tertutup, keduanya boleh digunakan. “Tidak ada norma undang-undang dasar yang disimpangi,” ujarnya, kemarin.

Di dalam UUD 1945, konstitusi tidak mengatur harus menggunakan sistem apa. Sehingga penentuan kebijakan diserahkan pada pembentuk UU yakni DPR dan Pemerintah.

Masing-masing sistem Pemilu, lanjut Titi, memiliki implikasi teknis. Jika terbuka misalnya, konsekuensinya akan memicu kompetisi tidak hanya antar partai tapi dalam satu partaipun akan berkompetisi. “Kalau tertutup, yang kampanye hanya partai dan caleg nomor urut atas. Caleg dengan nomor urut bawah peluang keterpilihan kecil,” imbuhnya.

Analis Politik Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menambahkan, masing-masing sistem memiliki kekurangan yang di sisi lain menjadi kelebihan sistem sebaliknya. Sistem terbuka misalnya, minusnya bisa memunculkan persaingan di internal partai, melemahkan posisi partai politik, mengesampingkan tautan platform, visi dan misi partai hingga kekuatan party ID.

Kemudian, sistem ini juga merusak sistem meritokrasi dan kaderisasi parpol. “Yang tadinya bukan kader partai, lalu tiba-tiba bisa nyelonong jadi caleg,” ujarnya. Berbagai kekurangan itu, relatif tidak ditemukan di sistem tertutup.

Namun sebaliknya, sistem tertutup juga punya banyak kelemahan jika dibanding. Yang paling utama adalah mengurangi interaksi kader partai dengan pemilih. “Caleg tidak mau bekerja keras untuk mengkampanyekan dirinya dan partai, sebab mereka percaya yang bakal dipilih adalah caleg prioritas nomor urut satu, bukan basis suara terbanyak,” imbuhnya.

Kelemahan lainnya, lanjut Pangi, sistem tertutup akan menguatkan oligarki di internal partai politik. Sebab, ada kemungkinan elit lebih mengutamakan kelompok. Bagi pemilih, proporsional tertutup juga seperti memilih kucing dalam karung.

Sementara itu, partai politik harap-harap cemas menunggu putusan MK. Bendahara Umum DPP Partai Nasdem Ahmad Sahroni mengatakan, para caleg saat ini tengah ‘wait and see’ menunggu sikap MK.

Para caleg, kata Sahroni, khawatir MK memutuskan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. Menurutnya, para caleg pasti akan mundur, jika MK memutuskan proporsional tetutup. Sebab, partai yang dipilih, bukan memilih caleg secara langsung. “Seluruh caleg akan ramai-ramai mundur,” terangnya.

Dengan sistem coblos partai, para caleg tidak bisa bersaing mendapatkan suara. Jadi, buat apa lagi mereka maju sebagai caleg, kalau mereka tidak bisa bersaing secara terbuka. Tentu, kata dia, akan terjadi gejolak di internal partai politik. Partai akan kelabakan jika para calegnya mundur. Sebab, selama ini para caleg yang berjuang meraih suara. “Gejolak itu akan sangat terasa, kalau diputuskan sistem tertutup,” terang Wakil Ketua Komisi III itu.

Sahroni berharap, MK bisa memberikan putusan yang menggembirakan bagi para caleg. Yaitu, tetap dengan sistem proporsional terbuka. “Mudah-mudahan MK mengeluarkan putusan yang bijak dan menggembirakan,” bebernya.

Ketua DPW NasDem Sumatera Utara, Iskandar ST menilai, sistem pemilu proporsional terbuka adalah sistem yang terbaik. Dimana masyarakat, bisa memilih langsung dan terbuka. Tidak melalui partai politik. “(Sistem Pemilu proporsional tertutup) seperti beli kucing dalam karung,” kata Iskandar di Kantor DPW NasDem Sumut, di Kota Medan, Rabu (14/6) sore.

Iskandar mengungkapkan, NasDem merupakan partai politik yang mendukung MK memutuskan Pemilu 2024, sistem Pemilu terbuka. “Kami adalah salah satu partai, yang terus konsisten menyuarakan demokrasi terpelihara. Sehingga dapat melibatkan masyarakat luas dalam rangka memilih calon-calon di Legislatif. Ini salah satu, isu yang kami kembangkan,” ucapnya.

Senada, Wakil Ketua Kordinator Bidang Pemenangan Pemilu DPD Golkar Sumut, Irham Buana Nasution menegaskan, sikap Partai Golkar bersama tujuh partai politik lainnya, mendukung sistem pemilu terbuka dan menolak proporsional tertutup. “Kalau Partai Golkar melalui DPP, sikap resmi bahwa, Partai Golkar tetap berkeinginan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Karena itu, wujud sesungguhnya dari demokrasi. Yang sudah kita anut, berpuluh-puluh tahun. Artinya, berkali-kali Pemilu kita sudah melaksanakan pemilihan terbuka,” kata Irham kepada Sumut Pos, kemarin.

Irham yang juga Wakil Ketua DRPD Sumut itu mengatakan, sosok Caleg ada yang diinginkan masyarakat secara personal. Bukan, keinginan masyarakat hanya memilih caleg melalui partai politik. “Kita juga menghasilkan anggota DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota secara personal sudah memenuhi kepentingan rakyat. Kita kembali pemilu tertutup, sama artinya menolak dengan demokrasi kita bangun lagi pasca demokrasi,” ucap mantan Ketua KPU Sumut itu.

Irham mengungkapkan, pasti ada dampak negatif bagi penyelenggara dan parpol sebagai peserta pemilu jika MK mengubah sistem pemilu saat ini. “Sampai saat ini, sistem pemilu kita menganut proporsional terbuka, belum ada pembatalan dan perubahan. Untuk menjalankan, KPU sudah melakukan tahapan-tahapan, 60 persen sudah berlangsung. Kalau ini, tertutup akan mengembalikan ke nol,” sebutnya.

Ia menilai, perubahan sistem pemilu dari terbuka menjadi tertutup akan merusak rencana yang sudah disiapkan KPU. “Mereka harus melakukan perubahan besar dalam pelaksanaan Pemilu. Di luar itu, partisipasi pemilih juga akan rendah pada Pemilu 2024. Masyarakat pemilih datang ke TPS bukan semata-mata atas kesadaran diri. Tapi mereka datang untuk Caleg yang dia kenal dan dia dukung,” tandas Irham.

Terpisah, bakal Caleg petahana untuk DPRD Kota Medan, Dedy Aksyari Nasution mengatakan, dirinya sangat berharap agar Pemilu tahun 2024 tetap berjalan dengan sistem proporsional terbuka seperti halnya Pemilu 2019. “Harapan kita, pemilu tetap dalam sistem proporsional terbuka,” ucap Dedy yang saat ini duduk sebagai Anggota Komisi IV DPRD Medan tersebut.

Politisi Partai Gerindra itu mengatakan, melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka, hubungan emosional antara rakyat dengan sosok yang akan dipilihnya sebagai wakil rakyat itu akan terbangun. “Karena dengan sistem itu, interaksi antara pemilih dan yang dipilih itu ada kontak emosinal secara langsung, sehingga masyarakat pemilih tahu siapa yg akan dipilihnya,” ujarnya.

Selain itu, kata Dedy, bila tetap dengan sistem proporsional terbuka, keputusan atas siapa sosok yang akan duduk sebagai wakil rakyat ada di tangan rakyat itu sendiri. Sementara bila proporsional terbuka, maka sosok yang akan menjadi wakil rakyat sepenuhnya menjadi kewenangan partai politik. “Kalau sistem proprosional tertutup, secara teknis keputusan di partai. Sedangkan kalau sistem proporsional terbuka, ini tergantung masyarakat pemilih,” katanya.

Selanjutnya, sambung Dedy, pemerintah juga tidak bisa serta merta merubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. “Jadi kalau itu pun tertutup, kan harus ada revisi undang-undang pemilu yang harus diajukan oleh pemerintah ke DPR RI. Ada proses lagi untuk revisi UU pemilunya,” sambungnya.

Kemeriahan pemilu proporsional tertutup juga diyakini tidak akan terasa bila dibandingkan dengan pemilu proporsional terbuka seperti halnya Pemilu 2019. Salah satu indikatornya, setiap sudut kota tidak akan diramaikan baliho-baliho caleg yang akan menyemarakkan pemilu itu sendiri. “Kemudian, tidak caleg yang wara-wiri menjumpai masyarakat untuk mendengar dan menjemput aspirasi mereka juga akan sepi. Masyarakat akan sangat jarang melihat caleg turun ke masyarakat untuk menyampaikan visi misinya guna diperjuangkan saat nanti telah terpilih sebagai wakil rakyat,” terangnya.

Terakhir, sambung Dedy, setelah dewan terpilih, dipastikan tidak akan banyak Anggota DPRD yang menjaga silaturahmi dan menjaga hubungan sosialnya dengan para pemilih. “Untuk itu, pemilu proporsional terbuka itu sudah yang paling baik di Indonesia, supaya sistem demokrasi dan sosial kultural tetap terjaga antara masyarakat dan legislatif. Untuj “ tutupnya.

Sementara itu, Bacaleg DPRD Kota Medan dari PDI Perjuangan, Boydo HK Panjaitan mengatakan, dirinya mendukung Pemilu dengan sistem propoesional tertutup. “Harapan saya sama dengan keputusan partai (PDI Perjuangan) yang menginginkan pemilu proporsional tertutup. Kita ikut dengan keputusan partai,” tutur Boydo kepada Sumut Pos, Rabu (14/6).

Dijelaskan Boydo, seyogiyanya sistem politik yang ada di Indonesia adalah sistem kepartaian, bukan sistem perorangan. “Sistem politik kita kan kepartaian, jadi sudah saatnya masyarakat melihat partai dan seluruh visi misi partai, khususnya dalam memilih caleg,” jelas mantan Anggota DPRD Medan periode 2014 – 2019 tersebut.

Boydo juga menerangkan, dengan sistem proporsional, tubuh partai politik menjadi lebih sehat. Pasalnya dengan menerapkan sistem proporsional tertutup, sistem pengkaderan partai dapat berjalan dengan lebih baik. “Jadi sistem pengkaderan partai juga berjalan, sehingga partai dapat menempatkan kader-kader terbaiknya,” terangnya.

Tak cuma itu, Boydo juga menjelaskan bahwa dengan menerapkan sistem proporsional tertutup, maka praktik politik uang yang dilakukan oknum caleg dapat ditekan semaksimal mungkin. “Kemudian juga dapat mengurangi praktik money politik yang dilakukan oknum legislatif yang mempunyai banyak uang,” jelasnya.

Untuk itu, sambung Boydo, pihaknya tidak mempermasalahkan kapan MK akan mengumumkan sistem pemilu di Indonesia. “Untuk kita di PDI Perjuangan, tidak masalah diumumkan (MK) kapan saja, karena sistem dan aturan partai kita sudah ada dan berjalan dalam menentukan serta menyusun para caleg,” pungkasnya. (far/lum/jpg/gus/map/adz)

 

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kepastian soal sistem pemilu akan diketahui hari ini, Kamis (15/6). Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan bakal membacakan putusan pagi ini. Menanggapi hal itu, Komisi Pemilihan Umum menegaskan, apapun putusan MK, akan dilaksanakan

“Prinsip berkepastian hukum menjadi salah satu prinsip yang harus kami pedomani dalam menyelenggarakan tahapan Pemilu,” kata komisioner KPU RI Idham Holik mengomentari putusan MK, kemarin.

Untuk itu, pihaknya akan menunggu keputusan MK. Yang pasti, apapun keputusannya, tahapan Pemilu akan jalan sesuai jadwal. “Insya Allah semua ini akan berjalan sesuai apa (jadwal) yang ditetapkan KPU,” imbuhnya.

Sementara itu, pakar kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini memperkirakan, MK akan bersikap bijak. Yakni dengan menyerahkan kebijakan sistem Pemilu pada pembuat UU. Hal itu dilihat dari pendapat yang banyak disampaikan para ahli juga pihak terkait dalam persidangan.

Titi juga berpendapat, tidak ada persoalan konstitusionalitas dalam sistem Pemilu. Baik terbuka maupun tertutup, keduanya boleh digunakan. “Tidak ada norma undang-undang dasar yang disimpangi,” ujarnya, kemarin.

Di dalam UUD 1945, konstitusi tidak mengatur harus menggunakan sistem apa. Sehingga penentuan kebijakan diserahkan pada pembentuk UU yakni DPR dan Pemerintah.

Masing-masing sistem Pemilu, lanjut Titi, memiliki implikasi teknis. Jika terbuka misalnya, konsekuensinya akan memicu kompetisi tidak hanya antar partai tapi dalam satu partaipun akan berkompetisi. “Kalau tertutup, yang kampanye hanya partai dan caleg nomor urut atas. Caleg dengan nomor urut bawah peluang keterpilihan kecil,” imbuhnya.

Analis Politik Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menambahkan, masing-masing sistem memiliki kekurangan yang di sisi lain menjadi kelebihan sistem sebaliknya. Sistem terbuka misalnya, minusnya bisa memunculkan persaingan di internal partai, melemahkan posisi partai politik, mengesampingkan tautan platform, visi dan misi partai hingga kekuatan party ID.

Kemudian, sistem ini juga merusak sistem meritokrasi dan kaderisasi parpol. “Yang tadinya bukan kader partai, lalu tiba-tiba bisa nyelonong jadi caleg,” ujarnya. Berbagai kekurangan itu, relatif tidak ditemukan di sistem tertutup.

Namun sebaliknya, sistem tertutup juga punya banyak kelemahan jika dibanding. Yang paling utama adalah mengurangi interaksi kader partai dengan pemilih. “Caleg tidak mau bekerja keras untuk mengkampanyekan dirinya dan partai, sebab mereka percaya yang bakal dipilih adalah caleg prioritas nomor urut satu, bukan basis suara terbanyak,” imbuhnya.

Kelemahan lainnya, lanjut Pangi, sistem tertutup akan menguatkan oligarki di internal partai politik. Sebab, ada kemungkinan elit lebih mengutamakan kelompok. Bagi pemilih, proporsional tertutup juga seperti memilih kucing dalam karung.

Sementara itu, partai politik harap-harap cemas menunggu putusan MK. Bendahara Umum DPP Partai Nasdem Ahmad Sahroni mengatakan, para caleg saat ini tengah ‘wait and see’ menunggu sikap MK.

Para caleg, kata Sahroni, khawatir MK memutuskan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. Menurutnya, para caleg pasti akan mundur, jika MK memutuskan proporsional tetutup. Sebab, partai yang dipilih, bukan memilih caleg secara langsung. “Seluruh caleg akan ramai-ramai mundur,” terangnya.

Dengan sistem coblos partai, para caleg tidak bisa bersaing mendapatkan suara. Jadi, buat apa lagi mereka maju sebagai caleg, kalau mereka tidak bisa bersaing secara terbuka. Tentu, kata dia, akan terjadi gejolak di internal partai politik. Partai akan kelabakan jika para calegnya mundur. Sebab, selama ini para caleg yang berjuang meraih suara. “Gejolak itu akan sangat terasa, kalau diputuskan sistem tertutup,” terang Wakil Ketua Komisi III itu.

Sahroni berharap, MK bisa memberikan putusan yang menggembirakan bagi para caleg. Yaitu, tetap dengan sistem proporsional terbuka. “Mudah-mudahan MK mengeluarkan putusan yang bijak dan menggembirakan,” bebernya.

Ketua DPW NasDem Sumatera Utara, Iskandar ST menilai, sistem pemilu proporsional terbuka adalah sistem yang terbaik. Dimana masyarakat, bisa memilih langsung dan terbuka. Tidak melalui partai politik. “(Sistem Pemilu proporsional tertutup) seperti beli kucing dalam karung,” kata Iskandar di Kantor DPW NasDem Sumut, di Kota Medan, Rabu (14/6) sore.

Iskandar mengungkapkan, NasDem merupakan partai politik yang mendukung MK memutuskan Pemilu 2024, sistem Pemilu terbuka. “Kami adalah salah satu partai, yang terus konsisten menyuarakan demokrasi terpelihara. Sehingga dapat melibatkan masyarakat luas dalam rangka memilih calon-calon di Legislatif. Ini salah satu, isu yang kami kembangkan,” ucapnya.

Senada, Wakil Ketua Kordinator Bidang Pemenangan Pemilu DPD Golkar Sumut, Irham Buana Nasution menegaskan, sikap Partai Golkar bersama tujuh partai politik lainnya, mendukung sistem pemilu terbuka dan menolak proporsional tertutup. “Kalau Partai Golkar melalui DPP, sikap resmi bahwa, Partai Golkar tetap berkeinginan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Karena itu, wujud sesungguhnya dari demokrasi. Yang sudah kita anut, berpuluh-puluh tahun. Artinya, berkali-kali Pemilu kita sudah melaksanakan pemilihan terbuka,” kata Irham kepada Sumut Pos, kemarin.

Irham yang juga Wakil Ketua DRPD Sumut itu mengatakan, sosok Caleg ada yang diinginkan masyarakat secara personal. Bukan, keinginan masyarakat hanya memilih caleg melalui partai politik. “Kita juga menghasilkan anggota DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota secara personal sudah memenuhi kepentingan rakyat. Kita kembali pemilu tertutup, sama artinya menolak dengan demokrasi kita bangun lagi pasca demokrasi,” ucap mantan Ketua KPU Sumut itu.

Irham mengungkapkan, pasti ada dampak negatif bagi penyelenggara dan parpol sebagai peserta pemilu jika MK mengubah sistem pemilu saat ini. “Sampai saat ini, sistem pemilu kita menganut proporsional terbuka, belum ada pembatalan dan perubahan. Untuk menjalankan, KPU sudah melakukan tahapan-tahapan, 60 persen sudah berlangsung. Kalau ini, tertutup akan mengembalikan ke nol,” sebutnya.

Ia menilai, perubahan sistem pemilu dari terbuka menjadi tertutup akan merusak rencana yang sudah disiapkan KPU. “Mereka harus melakukan perubahan besar dalam pelaksanaan Pemilu. Di luar itu, partisipasi pemilih juga akan rendah pada Pemilu 2024. Masyarakat pemilih datang ke TPS bukan semata-mata atas kesadaran diri. Tapi mereka datang untuk Caleg yang dia kenal dan dia dukung,” tandas Irham.

Terpisah, bakal Caleg petahana untuk DPRD Kota Medan, Dedy Aksyari Nasution mengatakan, dirinya sangat berharap agar Pemilu tahun 2024 tetap berjalan dengan sistem proporsional terbuka seperti halnya Pemilu 2019. “Harapan kita, pemilu tetap dalam sistem proporsional terbuka,” ucap Dedy yang saat ini duduk sebagai Anggota Komisi IV DPRD Medan tersebut.

Politisi Partai Gerindra itu mengatakan, melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka, hubungan emosional antara rakyat dengan sosok yang akan dipilihnya sebagai wakil rakyat itu akan terbangun. “Karena dengan sistem itu, interaksi antara pemilih dan yang dipilih itu ada kontak emosinal secara langsung, sehingga masyarakat pemilih tahu siapa yg akan dipilihnya,” ujarnya.

Selain itu, kata Dedy, bila tetap dengan sistem proporsional terbuka, keputusan atas siapa sosok yang akan duduk sebagai wakil rakyat ada di tangan rakyat itu sendiri. Sementara bila proporsional terbuka, maka sosok yang akan menjadi wakil rakyat sepenuhnya menjadi kewenangan partai politik. “Kalau sistem proprosional tertutup, secara teknis keputusan di partai. Sedangkan kalau sistem proporsional terbuka, ini tergantung masyarakat pemilih,” katanya.

Selanjutnya, sambung Dedy, pemerintah juga tidak bisa serta merta merubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. “Jadi kalau itu pun tertutup, kan harus ada revisi undang-undang pemilu yang harus diajukan oleh pemerintah ke DPR RI. Ada proses lagi untuk revisi UU pemilunya,” sambungnya.

Kemeriahan pemilu proporsional tertutup juga diyakini tidak akan terasa bila dibandingkan dengan pemilu proporsional terbuka seperti halnya Pemilu 2019. Salah satu indikatornya, setiap sudut kota tidak akan diramaikan baliho-baliho caleg yang akan menyemarakkan pemilu itu sendiri. “Kemudian, tidak caleg yang wara-wiri menjumpai masyarakat untuk mendengar dan menjemput aspirasi mereka juga akan sepi. Masyarakat akan sangat jarang melihat caleg turun ke masyarakat untuk menyampaikan visi misinya guna diperjuangkan saat nanti telah terpilih sebagai wakil rakyat,” terangnya.

Terakhir, sambung Dedy, setelah dewan terpilih, dipastikan tidak akan banyak Anggota DPRD yang menjaga silaturahmi dan menjaga hubungan sosialnya dengan para pemilih. “Untuk itu, pemilu proporsional terbuka itu sudah yang paling baik di Indonesia, supaya sistem demokrasi dan sosial kultural tetap terjaga antara masyarakat dan legislatif. Untuj “ tutupnya.

Sementara itu, Bacaleg DPRD Kota Medan dari PDI Perjuangan, Boydo HK Panjaitan mengatakan, dirinya mendukung Pemilu dengan sistem propoesional tertutup. “Harapan saya sama dengan keputusan partai (PDI Perjuangan) yang menginginkan pemilu proporsional tertutup. Kita ikut dengan keputusan partai,” tutur Boydo kepada Sumut Pos, Rabu (14/6).

Dijelaskan Boydo, seyogiyanya sistem politik yang ada di Indonesia adalah sistem kepartaian, bukan sistem perorangan. “Sistem politik kita kan kepartaian, jadi sudah saatnya masyarakat melihat partai dan seluruh visi misi partai, khususnya dalam memilih caleg,” jelas mantan Anggota DPRD Medan periode 2014 – 2019 tersebut.

Boydo juga menerangkan, dengan sistem proporsional, tubuh partai politik menjadi lebih sehat. Pasalnya dengan menerapkan sistem proporsional tertutup, sistem pengkaderan partai dapat berjalan dengan lebih baik. “Jadi sistem pengkaderan partai juga berjalan, sehingga partai dapat menempatkan kader-kader terbaiknya,” terangnya.

Tak cuma itu, Boydo juga menjelaskan bahwa dengan menerapkan sistem proporsional tertutup, maka praktik politik uang yang dilakukan oknum caleg dapat ditekan semaksimal mungkin. “Kemudian juga dapat mengurangi praktik money politik yang dilakukan oknum legislatif yang mempunyai banyak uang,” jelasnya.

Untuk itu, sambung Boydo, pihaknya tidak mempermasalahkan kapan MK akan mengumumkan sistem pemilu di Indonesia. “Untuk kita di PDI Perjuangan, tidak masalah diumumkan (MK) kapan saja, karena sistem dan aturan partai kita sudah ada dan berjalan dalam menentukan serta menyusun para caleg,” pungkasnya. (far/lum/jpg/gus/map/adz)

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/