SUMUTPOS.CO – Di tengah persoalan dalam Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap), Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghentikan sementara proses penghitungan suara manual berjenjang di sebagian daerah. Saat ini, proses penghitungan tengah berlangsung di level kecamatan.
KEBIJAKAN penghentian rekapitulasi itu diketahui dari beredarnya surat instruksi yang dikeluarkan beberapa KPU kabupaten/kota kepada jajaran Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Dalam surat itu dijelaskan, sesuai arahan KPU RI pada 18 Februari 2024, jadwal Pleno PPK harus ditunda sampai 20 Februari 2024.
Hingga berita ini ditulis, pihak KPU RI belum memberikan konfirmasi atau penjelasan mengenai kebijakan itu. Namun dari informasi yang diperoleh Jawa Pos (grup Sumut Pos) dari beberapa anggota KPU daerah, memang ada penghentian untuk sebagian daerah.
Tak hanya itu, sejumlah partai politik juga telah mendapatkan informasi serupa dari jajarannya di daerah. Ketua Tim Khusus Pemenangan Partai Buruh Said Salahudin mengatakan, Partai Buruh menerima laporan dari banyak pengurus daerah jika ada penghentian proses rekap di kecamatan oleh PPK, kemarin (18/2). Alasannya, telah terjadi eror pada sistem Sirekap.
Said menilai janggal, alasan atas keputusan itu. Sebab, proses rekap manual dan Sirekap merupakan dua entitas yang berbeda dan tidak boleh saling mempengaruhi satu sama lain. “Terus terang ini membuat kami bingung. Kenapa munculnya permasalahan pada Sirekap menyebabkan proses rekapitulasi harus ditunda?,” ujarnya.
Menurutnya, Sirekap hanyalah instrumen untuk memenuhi asas keterbukaan informasi publik atas hasil Pemilu sebagai bagian dari data publik yang berhak diketahui masyarakat. Data Sirekap pun bukanlah data resmi hasil Pemilu. Sehingga, ketika muncul masalah pada Sirekap, itu semata masalah teknis yang sama sekali tidak akan mempengaruhi keabsahan hasil pemilu.
“Sebab, hasil resmi pemilu justru diperoleh dari proses rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan secara berjenjang dimulai dari tingkat kecamatan oleh PPK. Begitu pengaturannya menurut Undang-undang Pemilu,” paparnya.
Oleh sebab itu, lanjut dia, terkait munculnya masalah teknis pada Sirekap yang perlu dilakukan KPU adalah cukup memperbaiki sistem pengolahan data formulir model C.HASIL dari tiap TPS ke dalam sistem Sirekap. Tak perlu dikaitkan dengan proses rekapitulasi penghitungan suara di kecamatan. ”Permasalahan yang muncul pada Sirekap tidak boleh mengganggu berjalannya proses rekapitulasi di tingkat kecamatan,” tegasnya.
Di sisi lain, agar permasalahan Sirekap tidak terus menjadi ganjalan, Said merekomendasikan KPU untuk memerintahkan Panitia Pemungutan Suara (PPS) menempelkan formulir model C.HASIL SALINAN di tiap desa/kelurahan. Dengan demikian, masyarakat tetap bisa melihat hasil pemilu. ”Permasalahnnya, hampir semua PPS tidak mau menempelkan formulir model C.HASIL SALINAN. Padahal, mengumumkan lembaran hasil pemilu oleh PPS adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan menurut ketentuan Pasal 391 UU Pemilu,” ujarnya. Bahkan, jika tidak ditempel maka PPS bisa terancam pidana kurungan selama 1 tahun dan denda sebesar Rp12 juta menurut Pasal 508 UU Pemilu.
Informasi soal penghentian rekap di kecamatan juga didapat politisi PDIP Deddy Yevri Sitorus. Anggota DPR RI yang juga Caleg PDI Perjuangan (PDIP) Dapil Kalimantan Utara (Kaltara) Deddy Yevri Sitorus mengatakan, penghentian rekapitulasi tidak dikonsultasikan dengan peserta pemilu dan Komisi II DPR RI.
Dia meminta KPU memberi penjelasan atas perintah penghentian proses rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. “Sebab, muncul dugaan adanya upaya tersistematis mengakali suara hasil pemilu demi meloloskan parpol tertentu pesanan penguasa ke parlemen,” bebernya.
Deddy mengatakan, penghentian proses rekapitulasi sah saja dilakukan oleh KPU, namun syaratnya dalam kondisi force majeure. Yang dimaksud kondisi force majeure adalah seperti kejadian gempa bumi atau kerusuhan massa.
Dia mendapatkan informasi bahwa alasan penghentian rekapitulasi karena sistem Sirekap mengalami kendala di pembacaan data. “Padahal Sirekap itu bukan metode penghitungan suara yang resmi dan sah. Rujukan perhitungan suara adalah rekapitulasi berjenjang, atau C1 manual,” kata Deddy.
Kalaupun alasannya force majeure, lanjut Deddy, seharusnya penghentian proses rekapitulasi hanya dilakukan di daerah terdampak. “Jadi misalnya gempa bumi atau kerusuhan terjadi di di daerah A, maka penghentian rekapitulasi hanya terjadi di daerah A. Ini kok kami dapat informasi bahwa penghentian terjadi di seluruh Indonesia,” urainya.
Karena itu, muncul analisa dan kecurigaan publik, ada motif tertentu di balik penghentian itu. Yaitu menyangkut persaingan ketat PDIP dengan Golkar sebagai peraih kursi terbanyak. Sebab, peraih kursi terbanyak akan mendapat jatah ketua DPR.
Menurutnya, jumlah suara kedua partai itu berhimpitan. Dari jumlah suara, PDIP memang teratas. Tapi terkait jumlah kursi, hal itu berkaitan dengan sebaran suara yang menghasilkan kursi. “Ada peluang kecil Golkar bisa didorong mendapat jumlah kursi terbanyak. Itu dugaan pertama yang banyak dibahas,” jelas Deddy.
Dugaan kedua adalah terkait adanya salah satu parpol yang sebenarnya tidak lolos parliamentary threshold, tapi akan dipaksakan lolos ke parlemen. Partai itu disebut-sebut masih dekat dengan penguasa di Istana. “Saya dengar kabar bahwa ada operasi agar suara partai kecil akan diambil untuk dialihkan, terutama Partai Perindo, Gelora dan Partai Ummat,” kata Deddy.
Untuk mengatasi kesimpangsiuran dan dugaan tersebut, maka Deddy berharap KPU memberi penjelasan selengkapnya. Jika dibiarkan, akan banyak yang menduga, KPU sedang melakukan kejahatan kepemiluan.
Sementara itu, Bwaslu secara resmi meminta KPU menghentikan tayangan Sirekap sementara waktu. Hal itu disampaikan Bawaslu melalui surat resmi kepada KPU, kemarin. Ketua Bawaslu Rahmat Bagja dalam suratnya meminta KPU melakukan perbaikan terhadap data Sirekap. Selain itu, KPU juga diminta menjelaskan ke publik bahwa Sirekap bukanlah hasil resmi. Sehingga tidak muncul kegaduhan. “Iya itu saran perbaikan kami. Sirekap ditampilkan kembali saat data telah akurat,” kata Bagja.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengingatkan, Sirekap memang bukan hasil resmi. Namun kesalahan penginputan data di Sirekap tidak bisa dianggap enteng. Sebab, dalam mencermati data rekapitulasi yang secara manual dilakukan, publik bisa menggubakan CHasil pada Sirekap sebagau acuan.
Sehingga data Sirekap harus benar-benar jujur mencerminkan perolehan hasil dari TPS. “Jadi kalau bahan awalnya kotor, maka rekap manualnya pun akan tidak bersih,” katanya.
Hadar mengutip temuan organisasinya yang mengambil 5.000 sampel data Sirekap yang tersebar di 1.172 kelurahan yang dipilih secara acak tersebar di 494 kabupaten/kota. Dari sampel sebanyak itu, ditemukan 2.66% kesalahan suara sah tidak sama dengan jumlah suara paslon, 0.88% suara sah tidak sesuai dengan foto C.Hasil, dan 1.96% satu atau lebih suara Paslon tidak sesuai dengan foto C.Hasil. ”Ada kemungkinan di antara sampel ada kesalahan yang telah diperbaiki sebelum diunduh, sehingga tingkat kesalahan sebenarnya lebih tinggi,” kata mantan Komisioner KPU RI periode 2012-2017 itu.
Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini mengatakan, fraksinya menerima banyak masukan masyarakat perihal data yang ditampilkan dalam laman resmi KPU yang dinilai tidak akurat dan kacau. Menurutnya, data perolehan suara partai-partai tidak mencerminkan realitas persentase suara masuk. “Jika dijumlahkan perolehan suara partai dan masing-masing calegnya totalnya tidak sinkron dengan yang tertulis di laman tersebut,” ungkap Jazuli Juwaini.
Anggota DPR Dapil Banten itu mengatakan, hal itu dikhawatirkan menjadi sumber masalah baru menyangkut integritas hasil pemilu. Karena setiap suara sangat berharga, maka akurasi dan validitas sistem hitung KPU harus benar-benar dijamin, bukan malah menimbulkan keragu-raguan publik. (far/lum/mia/syn)