30 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Suara Munaslub Golkar Belum Reda, Tolak Sanksi Pemecatan Kader

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dewan Etik Partai Golkar memang telah memanggil sejumlah kader senior yang mendengungkan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub). Namun sejauh ini, suara-suara menuntut evaluasi kepemimpinan Ketua Umum Airlangga Hartarto tidak serta-merta mereda. Bahkan bukan tidak mungkin bakal semakin nyaring.

Sekretaris Dewan Pakar Partai Golkar Ganjar Razuni menyatakan, pihaknya tidak sepakat jika ada sanksi pemecatan terhadap pengurus DPP atau kader yang mengusulkan munaslub. Dia menyebutkan, perbedaan pendapat merupakan kewajaran. Bukan tindak pidana. “Jadi, soal pemecatan tidak tepat,” tutur dia.

Sebelumnya Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Firman Soebagyo mengusulkan sanksi bagi para kader yang mewacanakan Munaslub ke publik, Bila perlu, sanksi itu berupa pencabutan kartu tanda anggota (KTA) atau pemecatan sebagai kader partai.

Menurut Razuni, Firman tidak mempunyai kapasitas untuk mengusulkan sanksi atau pemecatan. Sebab, Firman hanya wakil ketua umum bidang penanggulangan bencana. Bukan membidangi hukum. Juga bukan anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). “Firman tidak ada kompetensi dan kewenangan untuk mengusulkan hal semacam itu,” cetusnya.

Pernyataan Razuni itu pun langsung berbalas. Ketika dikonfirmasi, Firman menampik bahwa dirinya disebut telah mengusulkan sanksi atau pemecatan terhadap kader yang menyuarakan Munaslub. “Saya tidak pernah meminta ada pemecatan kader,” terangnya saat dihubungi Jawa Pos, kemarin.

Firman menyatakan, dirinya hanya mengusulkan agar Dewan Etik Partai Golkar memanggil para kader yang menyuarakan Munaslub. Mereka bisa dipanggil untuk dimintai keterangan dan juga perlu diberi peringatan.

Sementara itu, setelah Lawrence Siburan, Selasa (18/7) lalu dewan etik juga telah memanggil Ridwan Hisjam. Anggota dewan pakar tersebut juga salah seorang yang vokal menyuarakan Munaslub. Selain dua kader senior itu, Yorrys Raweyai juga setuju dengan Munaslub.

Setelah mendatangi panggilan dewan etik, Ridwan menyatakan dimintai klarifikasi soal dorongan munaslub yang disuarakan. Politikus asal Jawa Timur tersebut kembali menjelaskan asal muasal wacana Munaslub. Dikatakan, hasil rapat dewan pakar meminta Airlangga segera membentuk poros baru koalisi dan mendeklarasikan capres-cawapres. Deklarasi itu paling lambat Agustus.

Jika Airlangga membentuk poros baru dan mendeklarasikan capres-cawapres sebelum Agustus, lanjut Ridwan, wacana munaslub tidak ada lagi. Bahkan, dia menegaskan, jika Airlangga maju sebagai capres, dirinya siap berada di barisan terdepan. “Saya siap menjadi panglimanya,” tegas mantan Ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur itu.

Diketahui, sejak Pemilu digelar pascareformasi, parpol berlambang pohon beringin itu praktis selalu berada di tiga teratas. Namun, sejak itu pula, Golkar tak kunjung berhasil mendudukkan kadernya di kursi RI-1 atau presiden. Capaian tertinggi adalah posisi wakil presiden, yakni Jusuf Kalla (JK).

Hasil Pemilu 2019, Golkar menjadi runner-up di bawah PDIP. Meraih 17,23 juta suara dan menempatkan 85 kadernya di DPR RI. Di bawah Golkar, ada Partai Gerindra dengan 78 kursi dan Nasdem (59 kursi). Namun, meski di urutan kedua, menyongsong Pilpres 2024, Golkar terbilang relatif kurang dinamis dibandingkan parpol lain di bawahnya.

Jauh-jauh hari Golkar memang telah menggalang kerja sama dengan PPP dan PAN. Mereka mengusung Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Namun, ternyata PPP telah berlabuh ke PDIP, yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres. Begitu juga PAN, yang diprediksi bakal menjatuhkan pilihan ke Ganjar atau Prabowo Subianto.

Beberapa hasil survei pun kurang menggembirakan. Karena itu, suara-suara kegalauan pun mendengung. Munaslub disebut sebagai salah satu jalan keluar. Tujuannya untuk mengevaluasi gerak organisasi kepartaian sebelum hari H pemungutan suara tiba.

Kegelisahan itu di antaranya terlontar dari pernyataan Lawrence Siburian. Wakil ketua umum SOKSI tersebut tidak ingin partainya turun kasta. Menjadi partai gurem. Indikasinya sudah tampak. Saat ini elektabilitas ada di kisaran 6 persen. Jauh di bawah perolehan Pemilu 2019 yang sekitar 14 persen.

“Jadi, kita kehilangan sekitar 8 persen. Ke mana itu? Kan kita harus evaluasi,” tutur politikus yang mengaku sudah 46 tahun menjadi kader Golkar tersebut. (far/lum/c9/hud/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dewan Etik Partai Golkar memang telah memanggil sejumlah kader senior yang mendengungkan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub). Namun sejauh ini, suara-suara menuntut evaluasi kepemimpinan Ketua Umum Airlangga Hartarto tidak serta-merta mereda. Bahkan bukan tidak mungkin bakal semakin nyaring.

Sekretaris Dewan Pakar Partai Golkar Ganjar Razuni menyatakan, pihaknya tidak sepakat jika ada sanksi pemecatan terhadap pengurus DPP atau kader yang mengusulkan munaslub. Dia menyebutkan, perbedaan pendapat merupakan kewajaran. Bukan tindak pidana. “Jadi, soal pemecatan tidak tepat,” tutur dia.

Sebelumnya Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Firman Soebagyo mengusulkan sanksi bagi para kader yang mewacanakan Munaslub ke publik, Bila perlu, sanksi itu berupa pencabutan kartu tanda anggota (KTA) atau pemecatan sebagai kader partai.

Menurut Razuni, Firman tidak mempunyai kapasitas untuk mengusulkan sanksi atau pemecatan. Sebab, Firman hanya wakil ketua umum bidang penanggulangan bencana. Bukan membidangi hukum. Juga bukan anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). “Firman tidak ada kompetensi dan kewenangan untuk mengusulkan hal semacam itu,” cetusnya.

Pernyataan Razuni itu pun langsung berbalas. Ketika dikonfirmasi, Firman menampik bahwa dirinya disebut telah mengusulkan sanksi atau pemecatan terhadap kader yang menyuarakan Munaslub. “Saya tidak pernah meminta ada pemecatan kader,” terangnya saat dihubungi Jawa Pos, kemarin.

Firman menyatakan, dirinya hanya mengusulkan agar Dewan Etik Partai Golkar memanggil para kader yang menyuarakan Munaslub. Mereka bisa dipanggil untuk dimintai keterangan dan juga perlu diberi peringatan.

Sementara itu, setelah Lawrence Siburan, Selasa (18/7) lalu dewan etik juga telah memanggil Ridwan Hisjam. Anggota dewan pakar tersebut juga salah seorang yang vokal menyuarakan Munaslub. Selain dua kader senior itu, Yorrys Raweyai juga setuju dengan Munaslub.

Setelah mendatangi panggilan dewan etik, Ridwan menyatakan dimintai klarifikasi soal dorongan munaslub yang disuarakan. Politikus asal Jawa Timur tersebut kembali menjelaskan asal muasal wacana Munaslub. Dikatakan, hasil rapat dewan pakar meminta Airlangga segera membentuk poros baru koalisi dan mendeklarasikan capres-cawapres. Deklarasi itu paling lambat Agustus.

Jika Airlangga membentuk poros baru dan mendeklarasikan capres-cawapres sebelum Agustus, lanjut Ridwan, wacana munaslub tidak ada lagi. Bahkan, dia menegaskan, jika Airlangga maju sebagai capres, dirinya siap berada di barisan terdepan. “Saya siap menjadi panglimanya,” tegas mantan Ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur itu.

Diketahui, sejak Pemilu digelar pascareformasi, parpol berlambang pohon beringin itu praktis selalu berada di tiga teratas. Namun, sejak itu pula, Golkar tak kunjung berhasil mendudukkan kadernya di kursi RI-1 atau presiden. Capaian tertinggi adalah posisi wakil presiden, yakni Jusuf Kalla (JK).

Hasil Pemilu 2019, Golkar menjadi runner-up di bawah PDIP. Meraih 17,23 juta suara dan menempatkan 85 kadernya di DPR RI. Di bawah Golkar, ada Partai Gerindra dengan 78 kursi dan Nasdem (59 kursi). Namun, meski di urutan kedua, menyongsong Pilpres 2024, Golkar terbilang relatif kurang dinamis dibandingkan parpol lain di bawahnya.

Jauh-jauh hari Golkar memang telah menggalang kerja sama dengan PPP dan PAN. Mereka mengusung Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Namun, ternyata PPP telah berlabuh ke PDIP, yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres. Begitu juga PAN, yang diprediksi bakal menjatuhkan pilihan ke Ganjar atau Prabowo Subianto.

Beberapa hasil survei pun kurang menggembirakan. Karena itu, suara-suara kegalauan pun mendengung. Munaslub disebut sebagai salah satu jalan keluar. Tujuannya untuk mengevaluasi gerak organisasi kepartaian sebelum hari H pemungutan suara tiba.

Kegelisahan itu di antaranya terlontar dari pernyataan Lawrence Siburian. Wakil ketua umum SOKSI tersebut tidak ingin partainya turun kasta. Menjadi partai gurem. Indikasinya sudah tampak. Saat ini elektabilitas ada di kisaran 6 persen. Jauh di bawah perolehan Pemilu 2019 yang sekitar 14 persen.

“Jadi, kita kehilangan sekitar 8 persen. Ke mana itu? Kan kita harus evaluasi,” tutur politikus yang mengaku sudah 46 tahun menjadi kader Golkar tersebut. (far/lum/c9/hud/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/