JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Yusril Ihza Mahendra tampak tersenyum kecut sesaat setelah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengetuk palu kemarin (20/3). Upayanya untuk menghapus presidential threshold pada pemilu presiden 9 Juli mendatang kandas. MK menolak permohonan Yusril untuk menafsirkan sejumlah pasal dalam UUD 1945.
Sedikitnya ada tiga pasal tentang pemilu yang diminta untuk ditafsirkan langsung dan dikaitkan dengan pasal 22E UUD 1945. “Permohonan pemohon untuk menafsirkan pasal 4 ayat (1) dan pasal 7C dikaitkan dengan pasal 22E ayat (1) (2) (3) dan penafsiran pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat diterima,” ujar Hamdan dalam amar putusannya.
Hamdan menyatakan, MK tidak berwenang mengadili permohonan untuk menafsirkan langsung pasal-pasal UUD yang diminta Yusril. Begitu pula, permintaan Yusril agar MK menyatakan bahwa presidential threshold bertentangan dengan UUD 1945 ditolak.
Ada empat petitum yang diputus dalam sidang tersebut. Dua di antaranya mengenai penghapusan presidential threshold. Sisanya permohonan agar MK menafsirkan sejumlah pasal di UUD 1945, terutama pasal 6A ayat (2), supaya pemilu bisa dilaksanakan serentak. “Mahkamah tidak berwenang untuk mengadili permohonan pemohon dalam petitum angka 3 dan 4 (menafsirkan UUD),” lanjutnya.
Keluar dari ruang sidang, Yusril langsung menumpahkan kekecewaannya atas putusan tersebut. “Kalau MK tidak berwenang lagi menafsirkan konstitusi, ya MK bubar saja. Untuk apa ada MK kalau tidak berwenang menafsirkan konstitusi?” ujarnya. Menurut dia, jika tidak berwenang menafsirkan konstitusi, kewenangan MK untuk menguji UU seharusnya dicabut juga.
Yusril mengaku heran saat MK secara terbuka menyatakan mereka tidak berwenang untuk menafsirkan konstitusi. Padahal, lanjut dia, selama ini MK selalu mengklaim sebagai penafsir tunggal konstitusi. “Sekarang kalau MK tidak lagi bertindak sebagai penafsir konstitusi, siapa lagi?” keluhnya.
Guru besar hukum tata negara itu menilai, jika pasal 6A UUD 1945 tidak dilaksanakan sesuai maksud konstitusi, akan ada persoalan konstitusional dan legitimasi bagi presiden. Sebab, MK telah menyatakan bahwa norma UU Pilpres bertentangan dengan UUD, namun baru diberlakukan pada 2019.
Disinggung mengenai peluangnya yang makin kecil untuk mencalonkan diri sebagai presiden, Yusril tampak berat menjawabnya. “Yah, bisa juga begitu. Bagi saya, itu tidak persoalan lah,” ucapnya.
Bagi Yusril, putusan tersebut sekaligus menepis anggapan bahwa dirinya bisa memengaruhi putusan MK karena Hamdan Zoelva merupakan mantan politikus asal PBB. Selama ini, lanjut dia, opini yang dibangun adalah permohonan akan dikabulkan karena Hamdan Zoelva merupakan bekas anak buah Yusril.
Nyatanya, majelis hakim MK yang diketuai Hamdan Zoelva malah menolak seluruh permohonannya. “Saya nanya Hamdan Zoelva saja tidak pernah, soal perkara ini,” ujarnya. Meski dia dekat dengan Hamdan, mereka mengambil jalan sendiri-sendiri dan itu terbukti dalam putusan tersebut. (byu/c6/fat)