MEDAN, SUMUTPOS.CO – KPU RI merilis laporan dana kampanye tiga pasang capres-cawapres pada Pilpres 2024. Berdasarkan data KPU, dana kampanye terendah yakni pasangan nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN).
BERDASARKAN informasi KPU, dana kampanye itu berasal dari uang paslon itu sendiri, partai politik atau gabungan parpol, sumbangan pihak lain perseorangan, sumbangan pihak lain kelompok, hingga sumbangan pihak lain perusahaan dan/atau Badan Usaha nonpemerintah. Dana kampanye pasangan AMIN hanya Rp1 miliar.
“Informasi yang ditampilkan bersumber dari data masing-masing aplikasi KPU. Apabila terdapat kekeliruan data, akan dilakukan koreksi dan perbaikan sebagaimana diatur dalam peraturan KPU yang berlaku,” tulis KPU dalam websitenya, Rabu (20/12).
Dalam laporan tersebut, dana kampanye terbesar dimiliki paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Pasangan capres-cawapres ini memiliki anggaran kampanye sebesar Rp31.438.800.000.
Rinciannya, yakni Rp2 miliar dari sumbangan paslon, Rp600 juta sumbangan barang dari partai politik atau gabungan partai politik, dan Rp28.838.800.000 dari sumbangan jasa partai politik atau gabungan partai politik.
Kemudian, paslon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD dengan dana kampanye sebesar Rp23.375.920.999. Rinciannya, sejumlah Rp100 juta dari sumbangan paslon, Rp2.950.000.000 dari partai politik atau gabungan partai politik, Rp1.670.999 dari sumbangan pihak lain perseorangan.
Serta Rp 20.324.250.000 dari sumbangan uang dari pihak lain perusahaan dan/atau badan usaha nonpemerintah.
‘Hamba Allah’ Dilarang Beri Sumbangan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI meminta semua peserta Pemilu untuk mencatat sumber sumbangan dan nominalnya secara terang. Bawaslu melarang penyumbang menggunakan nama anonim seperti ‘hamba Allah’.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan, kejelasan penyumbang sudah diatur dalam Peraturan KPU. Tujuannya untuk menjaga akuntabilitas sumber dana kampanye. “Itu harus jelas siapa yang nyumbang, jangan nanti ada Hamba Allah, itu tidak boleh sekarang dalam PKPU,” ujarnya di Kantor Bawaslu Selasa (19/12).
Jika terdapat nama anonim, hal itu bisa menjadi potensi persoalan. Sebab, dana kampanye akan dilakukan audit. “Penyumbang itu yang harus dipastikan sekarang. Jadi, kita mencegah hal-hal yang akan bermasalah ke depan,” imbuhnya.
Selain kejelasan penyumbang, Bawaslu juga meminta dalam laporan nominal dicantumkan secara jelas. Sebab, ada ketentuan UU Pemilu yang membatasi jumlahnya. Dalam Pasal 327 UU 7 Tahun 2017 disebutkan, sumbangan dana kampanye untuk yang bersumber dari perorangan, batasannya Rp 2,5 miliar. Sementara sumbangan dari lembaga berbadan hukum dibatasi maksimal Rp 25 miliar.
KPK Ikut Pelototi Temuan PPATK
Sementara, lembaga yang menyoroti temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi dan Keuangan (PPATK) soal transaksi janggal pada masa kampanye bertambah. Teranyar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun gunung untuk mendalami temuan PPATK.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, pihaknya telah menerima laporan hasil analisa (LHA) PPATK pada Selasa (19/12). Dan KPK saat ini bakal segera mempelajari mengenai transaksi tak wajar yang diduga digunakan untuk kepentingan Pemilu 2024 itu.
“Kami rencanakan tindak lanjutnya. Dan membahasnya bersama pimpinan KPK,” jelasnya kemarin. Alex sudah mendisposisi laporan itu untuk dipelajari. Namun, dia tak mau membocorkan detail mengenai laporan itu. Sebab, laporan PPATK tersebut masuk dalam informasi intelijen.
KPK berjanji akan ikut menelisik aliran transaksi mencurigakan tersebut. Khususnya untuk menemukan peluang adanya tindak pidana korupsi. Dengan tetap mengacu pada pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. ”Di pasal itu kan nggak hanya terkait penyelenggara negara,” tuturnya.
Tapi juga aparat penegak hukum dan kerugian di atas Rp 1 miliar. Artinya keterlibatan swasta pun bisa ditindak.
KPK akan mempelajari sumber uang dari laporan yang diserahkan oleh PPATK itu. Sebab, meski tidak ada penyelenggara negara, namun jika sumber uang berasal dari negera bisa ditelisik. Maksudnya seperti dari APBN, APBD, BUMN, hingga BUMD
Sementara itu, sikap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tidak menindaklanjuti temuan PPATK memantik keprihatinan. Dengan cara pandang tersebut, upaya untuk menciptakan pemilu bersih kian sulit dilaksanakan. Sebab, sumber pendanaan gelap akan mempengaruhi kredibilitas pemilu.
Sebelumnya, Bawaslu memutuskan hanya menjadikan temuan PPATK untuk memvalidasi laporan dana kampanye nanti. Bawaslu beralasan, data PPATK memiliki disclaimee bersifat rahasia dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti hukum.
Pakar Kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan, data PPATK semestinya bisa dijadikan rujukan untuk mengambil tindakan lanjutan. Sebab jika pengawasan yang bisa dieksekusi Bawaslu hanya berbasis pada rekening yang didaftarkan, itu tidak akan terjadi. “Sebab, pelanggaran yang dilakukan itu menggunakan rekening di luar rekening resmi peserta pemilu,” ujarnya kemarin.
Sementara rekening yang didaftarkan, biasanya hanya mencantumkan transksi yang wajar saja. Oleh karenanya, Titi menilai yang dibutuhkan adalah komitmen, konsistensi dan progresivitas Bawaslu. Mestinya, lanjut Titi, temuan PPATK ini bisa menjadi pintu masuk untuk membuktikan apakah yang dilaporkan dalam rekening dana kampanye yang sesungguhnya atau tidak.
Titi menambahkan, UU Pemilu sejatinya mengatur ketat akuntabilitas dana kampanye. Pasal 496 dan 497 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebut, setiap peserta pemilu atau orang yang menyampaikan laporan dana kampanye tidak benar akan dikenai ketentuan tindak pidana.
Selain itu, Bawaslu juga bisa mengerahkan personelnya untuk proaktif mengawasi kampanye di lapangan. Belajar dari 2019 lalu, banyak kegiatan kampanye yang tidak dilaporkan pendaannya. “Memang hal itu membutuhkan konsentrasi, tenaga, waktu, dan fokus yang tidak sederhana. Tapi itulah cara yang bisa dilakukan agar kewenangan pengawasan dana kampanye bisa membuahkan hasil,” tegasnya.
Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih menambahkan, untuk menindaklanjuti temuan PPATK terkait transaksi mencurigakan dalam pemilu sebetulnya mudah. Sebab, data dari PPATK itu sudah setengah matang dan bukan data mentah.
Data mentah sendiri misalnya data dari perbankan ke PPATK. Sementara data dari PPATK itu telah dianalisa. “Kalau tidak ditindaklanjuti justru membuat masyarakat curiga,” terangnya dihubungi Jawa Pos kemarin.
Bawaslu seharusnya menjalankan fungsinya sebagai pengawas. Dengan memastikan pemilu 2024 itu bebas dari pembiayaan hasil tindak kejahatan. “Karena ini sangat berbahaya,” jelasnya.
Dia menyarankan, Bawaslu berkoordinasi dengan penyelidik dan penyidik untuk menindaklanjuti temuan PPATK tersebut. Dalam kasus tersebut bisa jadi ada dua perkara, pertama kepemiluan dan kedua bisa jadi uang berasal dari tindak pidana. “Jangan sampai calon pemimpin kita didanai dari uang tambang ilegal, judi online atau kejahatan lainnya,” urainya. Bila dibiarkan demokrasi menjadi terancam. Masyarakat hanya disuruh mencoblos, tapi setelah terpilih aspirasi yang didengar hanya dari para pemberi dana. “Yang asal muasalnya bisa jadi dari kejahatan,” tegasnya.
Terpisah, organisasi masyarakat sipil yakni Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesian Corruption Watch melakukan pemantauan terhadap laporan dana awal kampanye. ”Untuk melihat lebih jauh, kami mencermati laporan awal dana kampanye yang dipublikasikan oleh KPU,” Program Officer Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Pratama kemarin.
Perludem ingin melihat besaran dan sumber penerimaan dana kampanye di LADK. Dia menyebutkan ada batasan yang diatur untuk diberikan. Misalnya perseorangan dibatasi memberikan dana kampanye maksimal Rp2,5 miliar. Sementara kelompok atau badan usaha non pemerintah maksimal dibolehkan memberikan sumbangan Rp25 miliar. ”Dokumen LADK yang ditampilkan di SIKADEKA (sistem informasi kampanye dan dana kampanye) berbeda,” kata Heroik.
Di sisi lain, Perludem juga menemukan adanya iklan di media sosial dari perusahaan Meta Platforms yang dilakukan oleh akun pendukung. Dia menyebut ini jumlahnya lebih banyak. Iklan tersebut tidak masuk dalam laporan. “Seharusnya masuk sumber penerimaan tidak langsung atau barang dan jasa baik pihak lain atau paslon,” imbuhnya.
Peneliti Perludem Kahfi Adlan menyatakan paslon Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar menandatangani LADK pada 1 Desember. Setelah diteliti dokumen itu merupakan dokumen perbaikan yang dimungkinkan bisa diperbaiki hingga 2 Desember. Sementara Prabowo Subianto-Gibran Rakabumingraka dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md menandatangani LADK pada 27 November. “Yang menjadi konsen kami, KPU perlu menyampaikan LADK itu disampaikan seseuai jadwal atau tidak. Melihat dokumen itu ditandatangani di akhir penyerahan,” ucapnya. Sebab LADK wajib diserahkan maksimal 27 November.
Kahfi merincikan adanya peredaan pada LADK dengan SIKADEKA. Temuannya untuk paslon 1, LADK disebutkan tidak ada penerimaan atau Rp 0. Lalu paslon 2 memiliki penerimaan dari Prabowo dan Gibran sebesar Rp 2 miliar dan dari partai politik Rp 29 miliar. Dari parpol di sini tidak didetilkan apakah dalam bentuk uang, barang, atau jasa. “Paslon 3 ada penerimaan dari pasangan calon Rp 25 juta dan gabungan dari partai politik Rp 2,9 miliar,” ungkapnya.
Jika dibandingkan dengan SIKADEKA, penerimaan sudah muncul. Misalnya saja dari paslon 1 total penerimaan dana pribadi Anies dan Muhaimin adalah Rp 1 miliar. Kemudian paslon 2 belum ada perbedaan. “Paslon nomor 3 dari Rp 2,9 miliar jadi Rp 23 miliar,” katanya. Menurutnya harus disampaikan alasan perbedaan ini.
Selain itu dia mengkritisi jika paslon perlu merincikan sumbangan dana kampanye ini dalam bentuk barang dan jasa yang harus dipublikasikan. Yang janggal adalah pada paslon 2, sumbangan dalam bentuk jasa yang diberikan partai politik jumlahnya Rp 28 miliar. “Kita perlu pahami jasa apa yang sebesar itu agar memahami transparansi dalam kampanye,” ungkapnya.
Selanjutnya pada iklan politik di media sosial milik Meta juga mengejutkan. Perludem menghitung sejak 16 November hingga 15 Desember. Pada Paslon 1, akun pengiklan semuanya bukan akun resmi Anies maupun Muhaimin. Melainkan akun pendukung mereka. Total dana yang dikeluarkan sebesar Rp443 juta. Sedangkan untuk Paslon 2 mayoritas bersumber dari akun pendukung. “Tapi ada salah satu akun yang ini merupakan badan usaha non pemerintah. Ini dibolehkan tapi tidak tahu apakah ini dilaporkan atau tidak,” bebernya. Biaya kampanye Paslon 2 di medsos milik Meta mencapai Rp778 juta.
Lalu untuk Paslon 3, juga mayoritas pengiklannya adalah akun pendukung. Ada satu akun pendukung yang iklanya jauh lebih banyak daripada iklan yang lain. Yakni pada akun Ganjar Nusantara Indonesia dengan jumlah iklan 37 kali dan memakan biaya Rp 115 juta. “Total biaya iklannya mencapai Rp 829 juta,” tuturnya.
Pada temuan ini Perludem mengambil kesimpulan biayanya mencapai ratusan juta. Selain itu sumbernya dari akun pendukung. Bukan akun paslon maupun partai pengusung. “Ini disinyalir menjadi penyebab biaya iklan tidak terlihat dalam laporan dana kampanye,” ungkapnya. Menurutnya iklan ini seharusnya dimasukan dalam sumbangan pihak lain dalam bentuk barang. “Akun-akun ini harus diidentifikasi betul oleh KPU,” imbuhnya.
Tidak transparannya pelaporan dana kampanye ini diindikasi dapat memicu celah korupsi. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Prima Yoga pada kesempatan yang sama mengatakan KPU tidak serius dalam menganggap penting transparansi dana kampanye. Menurutnya informasi dana kampanye ini merupakan hak publik. “Kedua data yang disajikan tidak rinci dan tidak mudah dipahami oleh publik secara luas,” ungkapnya. Ini untuk mengetahui apakah ada konflik kepentingan atau tidak. (far/idr/lyn/elo/syn/jpg/adz)