JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Partai Golkar terancam tidak bisa ikut dalam 204 Pilkada yang akan digelar serentak pada tahun 2015 lantaran dualisme kepengurusan masih alot dan tak kunjung selesai. Kementerian Hukum dan HAM menyarankan agar dua kubu di Golkar segera islah jika ingin terlibat di Pilkada 2015.
“Mereka harus islah. Nggak ada jalan lain karena apapun yang diputuskan (Kemenkum HAM), kalau putuskan A yang satu sah pasti digugat ke pengadilan‎,” kata Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkum HAM Harkristuti Harkrisnowo, Minggu (21/12).
Tuti menerangkan, proses pengadilan untuk menentukan satu kepengurusan yang sah bisa berlangsung sekitar 90 hari sampai putusan. Namun, Pilkada akan lebih dulu berlangsung sebelum putusan itu keluar.
“90 Hari akan lewat bulan Maret (dimulainya tahapan Pilkada). Jadi paling bagus islah, jangan keukeuh-keukeuhan,” ujar Guru Besar Hukum Pidana UI itu.
‎Tuti menjelaskan, dengan penetapan Kemenkum HAM tidak mengesahkan salah satu kepengurusan baik kubu Agung maupun kubu Ical, memang kepengurusan yang masih terdaftar legal kepengurusan lama hasil Munas-IX Riau.
Namun adanya dualisme yang membuat perselisihan tak kunjung berakhir, tak serta merta membuat Golkar‎ bisa ikut Pilkada 2015. Karena jika proses islah gagal dan memilih jalur pengadilan akan membuat Golkar melewatkan proses demokrasi di 204 daerah itu.
“Kalau mereka tidak selesaikan akan bermasalah ketika ikut Pilkada. Makanya kita harapkan selesaikan secara internal,” tegas Tuti.
Sebagaimana diketahui, ada 204 pemilihan kepala daerah yang akan digelar serentak satu hari pada tahun 2015, yaitu 8 provinsi, 170 kabupaten dan 26 kota. Pemungutan suara Pilkada serentak ini akan digelar Desember 2015.
Sementara, Golkar kubu Agung Laksono bersedia islah dengan kubu Aburizal Bakrie, asal seluruh persyaratan diterima. Kader-kader Golkar di daerah diminta ikut berperan aktif mendorong islah.
“Saya tantang kepada daerah justru untuk memulai proses islah nasional, jangan tunggu elite Jakarta,” kata Waketum Golkar hasil Munas Jakarta, Agus Gumiwang, saat dihubungi.
Agus mengatakan islah di Golkar haruslah berlaku secara nasional, tak hanya pengurus yang ada di pusat. Pengurus-pengurus Golkar di daerah pun harus aktif mendorong islah dari daerahnya.
“Perlu menjadi kesepakatan kolektif dari elite-elite Partai Golkar, termasuk yang ada di daerah,” ujarnya.
Kubu Agung Laksono menyodorkan 5 syarat untuk bisa islah, yaitu Golkar harus keluar dari KMP, mendukung pemerintah, menyetujui Perppu Pilkada, mempertahankan pilpres dipilih oleh rakyat, dan pileg harus tetap proporsional terbuka. Syarat-syarat ini, terutama yang pertama, sulit dipenuhi oleh kubu Ical sehingga perselisihan kedua kubu kemungkinan besar diselesaikan di pengadilan.
BEDA TAFSIR
Surat Kementerian Hukum dan HAM soal penjelasan atas dualisme kepengurusan Partai Golkar dimaknai berbeda oleh kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono. Kubu Ical menilai surat itu bermakna kepengurusan yang sah adalah yang lama hasil Munas Riau, sementara Agung menilai yang lama tak lagi berlaku karena sudah demisioner. Mana yang betul?
“Sampai saat ini yang tercatat masih yang lama karena belum ada perubahan kepengurusan. Jadi selama belum ada perubahan kepengurusan itu yang legal,” kata Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkum HAM Harkristuti Harkrisnowo.
Kepengurusan yang lama itu dihasilkan dari Munas Partai Golkar ke-IX di Riau, tercatat ketua umum Aburizal Bakrie dan Sekjen Idrus Marham. Lengkap dengan nama-nama pengurus yang belakangan menyebut Presidium Penyelamat Partai yaitu Agung Laksono sebagai wakil ketua umum dan lainnya.
Namun Tuti enggan menegaskan makna terdaftar sebagai satu kepengurusan yang sah dan bertanggungjawab atas Partai Golkar saat ini, termasuk pemahaman demisioner yang dianggap sebagai tahap di mana kepengurusan sudah tak berlaku sehingga posisinya status quo.
“Itu politis,” kata Guru Besar Hukum Pidana UI itu singkat.
Meski demikian, Tuti menerangkan pada faktanya Partai Golkar tengah dilanda konflik yang dibuktikan dengan dua kepengurusan yang sama-sama didaftarkan ke Kemenkum HAM. Karenanya, Tuti kembali menegaskan agar kedua pihak berdamai.
“Kalau mereka tidak selesaikan akan bermasalah ketika ikut Pilkada. Makanya kita harapkan selesaikan secara internal. Kalau mau ajukan dua-duanya susah, satu ajukan si A dan satunya si B. Jadi itu tergantung keputusan politik mereka,” ucapnya. (net/bbs)