SUMUTPOS.CO – Runtuh sudah imej yang lama terbangun bahwa Golkar adalah partai modern yang lihai memenej konflik internal. Perseteruan memperebutkan kursi ketua umum menyeruak, diwarnai persinggungan fisik di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Selasa (25/11).
Partai warisan Orde Baru itu pun terancam bakal terbelah, tatkala kubu Agung Laksono dkk menyiapkan Munas tandingan. Langkah ini merupakan upaya mengganjal kelompok Aburizal Bakrie yang ingin memuluskan pria yang akrab disapa Ical itu untuk kembali duduk di kursi pucuk Beringin Rindang.
Mengapa partai yang diisi para politisi bangkotan itu tiba-tiba kehilangan kemampuan mengolah perseteruan? Berikut pandangan pengamat politik dari Charta Politica, Yunarto Wijaya saat diwawancarai wartawan Sumut Pos Soetomo Samsu di Jakarta, kemarin (26/11).
Konflik internal Golkar makin panas, apa akar masalahnya?
Menurut saya, pemicu utamanya karena ada manuver politik dari sejumlah elit di Golkar yang berusaha mengubah tradisi partai itu. Seperti kita tahu, tradisi Golkar itu selalu melakukan regenerasi kepemimpinan. Nah, yang terjadi saat ini incumbent (Ketum Partai Golkar Aburizal Bakrie, red) ingin melanggengkan kekuasaannya. Ini mendobrak tradisi di Golkar. Kali ini, incumbent ngotot ingin maju lagi.
Tapi kan sudah biasa rebutan kursi ketum, tapi mengapa kali ini begitu keras?
Selain karena ada upaya mengubah tradisi, ini juga terkait kinerja incumbent itu sendiri. Kinerja incumbent selama ini tidak memuaskan kader. Baru kali ini Partai Golkar tidak berhasil mengusung capresnya sendiri (dalam pilpres 2014). Belum lagi perolehan suara di pileg juga tidak bagus.
Bagaimana tanggapan Anda terkait adanya konflik yang sudah diwarnai keributan secara fisik itu?
Ya, karena ada dua fariabel itu tadi. Yang pertama ada upaya mengubah tradisi, yang kedua incumbent terlalu memaksakan diri maju lagi. Ini menjadikan suasana menjadi emosional. Ketika ada kelompok tertentu yang ingin melanggengkan kekuasaan sementara prestasinya tidak memuaskan, maka itu akan menjadi masalah.
Apa ini masih terkait dengan perseteruan antara Koalisi Merah Putih (KMP) versus Koalisi Indonesia Hebat (KIH)?
Persepsi itu memang tidak bisa dimungkiri. Golkar telah terjebak pada pertarungan besar pascapilpres. Ini menyangkut pertarungan besar antara KMP dengan KIH. Ini yang menyebabkan perseteruan di Golkar lebih panas.
Kira-kira, bagaimana nasib Golkar ke depan, apa mungkin pecah seperti PPP?
Memang, potensi itu ada karena akan ada munas tandingan. Siapa yang akan menang, sangat tergantung siapa yang lebih bisa menguasai DPD dan para pengurus DPP. Tapi saya juga melihat, ini juga sangat tergantung siapa yang lebih kuat mengintervensi, KMP atau KIH.
Apa maksudnya?
Seperti saya katakan tadi, Golkar telah terjebak pada pertarungan besar KMP dengan KIH. Golkar kini sudah menjadi partai sekoci. Golkar bukan lagi sebuah kapal besar yang perannya menentukan. Golkar telah mengalami degradasi.
Menurut Anda, siapa yang kira-kira akan menang, kubu Ical atau kubu Agung?
Wah, saya tidak berani main tebak-tebakan. Tapi yang terlihat saat ini, bagaimana kekuatan Ical mulai terkocok. Ini terlihat dari pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh besar Golkar yang mulai bicara evaluasi kepemimpinan Ical. Tapi andai Ical yang menang, dia tidak akan kuat secara internal.
Bagaimana Anda melihat sikap Menkopolhukam Tedjo Edy yang terang-terangan meminta Kapolri tidak mengeluarkan izin penyelenggaraan Munas kubu Ical di Bali?
Tidak semestinya menkopolhukam mengeluarkan pernyataan-pernyataan seperti itu. Ini masih wilayah politik internal Golkar. Menkopolhukam jangan masuk wilayah politik. Memang ada konflik fisik, tapi itu belum masuk ke ranah urusan negara. Kecuali jika konflik yang bersifat horisontal sudah meluas. Tapi kali ini belum perlu melibatkan negara.
Apa bisa dikatakan menkopolhukam telah mengintervensi urusan internal Golkar?
Ya, sulit dihindari adanya publik yang berspekulasi bahwa ada intervensi kekuasaan. (*)