Oleh Syaifullah Defaza
Cita-citaku ingin menjadi polwan, mana mungkin aku hanya lelaki
Oh tuhan, tolong hambamu terlahir sebagai seorang lelaki.
Cita-citaku ingin jadi bu Ahmad, mana mungkin aku hanya lelaki.
Oh ibu tolong anakmu, aku tak sudi jadi bapak Ahmad…
Petikan di atas adalah bait lagu berjudul Cita-citaku yang tenar sebab dipopulerkan oleh grup band indie asal Kota Bandung: The Panas Dalam. Lucu? Mungkin saja. Easy listening? Mungkin saja. Coba cari tahu dan dengar lagunya di mana saja, di Youtube mungkin atau bisa juga di link-link yang bakal diberikan jika kita minta langsung kepada seseorang bernama Pidi Baiq di akun twitter-nya. Dia akan dengan suka cita menyapa para follower-nya dan jika Anda meminta follow back, maka dia juga akan melakukannya dengan senang hati.
Sabtu (16/3) lalu mereka-mereka ini datang ke Medan untuk konser yang ditonton seratusan orang saja. Mereka tak kecewa karena yang nonton bukan ribuan, seperti Ariel Noah manggung. Mereka pada dasarnya adalah penyuka kesepian. Anti kemapanan mungkin? Atau apalah istilahnya, mereka sebenarnya sudah menjelma publik figure, hanya saja tak suka dianggap sudah tenar.
Ya. The Panas Dalam menggelar konser di Medan, tepatnya di Pardede Hall. Konser dimulai sejak sore dengan penampilan band-band indie Medan. Ada Beautiful Monday ada juga SPR. Lalu sekitar pukul 21.00 WIB mainlah The Panas Dalam. Sejumlah lagunya yang kebanyakan kisah-kisah di perkuliahan mendapat sambutan dari penonton yang juga kebanyakan mahasiswa.
Kisah-kisah jenaka ketika berkuliah menjadi lagu. Ada Koboy Kampus ada pula Rohim yang bercerita tentang kehidupan di kampus. Tapi lirik-liriknya memang jenaka. Memaksa yang mendengar minimal senyum. Maka tak heran, ketika mereka konser kemarin, banyak penonton yang tertawa. Pertama kening mereka berkerut, berpikir, lalu senyum. Ketika sadar betul apa maksud lagu-lagu yang dibawakan, tawa mereka pun mengakak.
Saya pribadi, pertama kenal The Panas Dalam pada kisaran 2005 atau 2006. Lagu yang pertama masuk telinga adalah Jane. Begini lirik awalnya: Jane, jika kau dipanggil wijen, aku marah Jane. Lalu beberapa kata yang ada petikan ‘jen’ nya dikutip dengan memaksa. Ini salah satu lirik lanjutannya: Jane, jika kau dipanggil Jenuddin MZ, aku marah Jane…
Dengan keseriusan menyanyi yang saat itu vokal The Panas Dalam masih diisi Pidi Baiq, lagu ini wajib membuat orang yang pertama mendengarnya senyam-senyum. Bahkan boleh ngakak.
Pidi Baiq saat ini masih menjadi ‘paket’ dengan The Panas Dalam. Jika mereka konser keluar kota, adalah perlu membawanya serta. Selain vokalis yang ada saat ini, Erwin Koboy dan Alga, Pidi Baiq pasti masih menyanyi. Lagu-lagu khas dengan suaranya seperti Jane, Cita-citaku, atau bahkan Bencong Sapoy memang menjadi lahan Pidi Baiq untuk dinyanyikan.
Ya sudah, sepanjang konser kami yang ‘sial’ harus mendengar mereka bernyanyi dan bermain musik, senang-senang saja. Ikut bernyanyi, ikut berdendang, dan jelas, tertawa renyah. Ada pula aksi ketika salah satu ‘fans’ yang menyebut diri ‘Pengidap’ diajak nanyi ke atas panggung. Hal-hal seperti itu adalah kebiasaan. Di beberapa daerah yang sempat mendengar The Panas Dalam lalu jatuh cinta, maka mereka-mereka ini selanjutnya akan disebut Pengidap. Dan mungkin saja yang namanya pengidap, berarti perlu disembuhkan. He he he.
Usai konser, saya yang sebelumnya sudah kontek-kontekan via SMS dengan Manajer The Panas Dalam, Budi, menjadwalkan sebuah waktu untuk ngobrol. Bahkan jauh-jauh hari sebelum jadwal pasti konser, kami sudah saling SMS-an dan mention-an di Twitter. Tapi karena sibuk, beberapa aktivitas koordinasi jelas bermasalah. Uniknya, di sapaan pertama dengan salah seorang yang sibuk foto sana foto sini ketika The Panas Dalam perform membuahkan hasil. “Abang dari Panas Dalam?” “Iya, kenapa?” “Oh, aku (menyebut nama) dari (menyebut nama media) yang kemaren kontak The Panas Dalam, dengan Bang Budi.” “Oh ya, saya Budi.” Kebetulan kan he he he.
Kami lantas menjadwal lagi kapan sebaiknya waktu yang tepat untuk ngobrol bersama seluruh personel The Panas Dalam. Istilah kerennya wawancara. Tak lantas serte merta. Kru sebelum memutuskan kembali ke hotel, harus makan malam dulu. Mereka makan di kawasan Multatuli. Selepas dari Multatuli, skuad The Panas Dalam dan kru mulai letih. Akhirnya diputuskan untuk kembali ke hotel di Jalan Perintis Kemerdekaan Medan.
Di depan pintu masuk hotel, kebetulan ada becak Medan. Langsung mereka serbu untuk foto-foto. Setelah puas, kami bergerak ke lobi. Saat itu para personel lainnya sudah lelah dan memilih untuk tidur duluan. Tinggallah kami bersama Pidi Baiq dan Budi. Wawancara pun dimulai.
“The Panas Dalam terbentuk pada 1995 berawal dari perasaan tidak percaya dengan pemerintahan Indonesia saat itu. Lalu kami mendirikannya di kampus ITB bersama beberapa teman,” kata Pidi Baiq.
Mereka mengibaratkannya dengan istilah negara sendiri. Karena tak senang dengan sistem pemerintahan, maka mereka membuat Republik Panas Dalam. “Luas wilayahnya 8×10 meter, di lantai dua. Kami tak diakui PBB, tapi kami juga tak mengakui PBB,” tandas Pidi lantas tertawa.
Kok The Panas Dalam? “Ya memang itu perasaan panas dari dalam diri kami saat itu soal pemerintahan,” kata Pidi.
Setelah terbentuk, beberapa tahun kemudian Presiden Soeharto mengundurkan diri. Tak kemudian, mereka memutuskan untuk menggelar Muktamar. Apakah akan terus berpisah atau menyatukan diri lagi. “Kami putuskan untuk tetap berpisah dan mengganti nama menjadi Negara Kesatuan The Panas Dalam. Lalu kami juga mengganti lagi nama menjadi Daerah Istimewa The Panas Dalam,” paparnya.
Kemudian saya bertanya soal lagu-lagu karyanya. Beberapa judul saya apungkan kepadanya dan bertanya itu ceritanya dari mana kok bisa tercipta lagu seperti itu. “Semua lagu saya ada kisah nyatanya. Apa saja yang menjadi pengalaman saya jadikan lagu. Sampai saat ini saya sudah membuat 200an lagu,” beber Pidi yang juga sudah menelurkan sejumlah buku.
Selanjutnya, perjalan The Panas Dalam pun berlanjut hingga saat ini.
Lebih Dari Sekadar Musik
Ngobrol lebih lama dengan Pidi Baiq tak terasa menjemukan. Walau sudah menyatakan serius untuk wawancara, nyatanya dia lebih suka menawarkan tawa. Pemikiran dan perbuatannya memang kocak.
Bagi siapa saja yang mulai menjadi Pengidap The Panas Dalam, mungkin Anda masih akan menganggap bahwa The Panas Dalam hanyalah sebuah band. Anda tidak salah. The Panas Dalam memang tenarnya adalah sebuah band. Tapi lebih dari itu, menurut Budi sang manajer, The Panas Dalam juga menggawangi beberapa aktivitas lain di luar musik. Mulai dari aktivitas hobi hingga sosial beriringan di bawah kendali The Panas Dalam.
“Kita buat lagi beberapa sub di bawah The Panas Dalam. Intinya siapapun yang suka kita, atau adik-adik yang kita bina, diarahkan kepada kegiatan positif. Mulai dari hobi, sosial hingga aktivitas kemasyarakatan,” papar Budi.
Well, begitulah The Panas Dalam. Siapapun yang sudah pernah dengar lagunya, atau bahkan baru akan mencoba mendengarkannya setelah membaca tulisan ini, saya ucapkan selamat menikmati. Dan saya sarankan dengarkanlah lagu Seperti Babi untuk kali pertama. Jika Anda tersinggung, maka dipastikan Anda bukan calon Pengidap The Panas Dalam. Ha ha ha. (*)