26 C
Medan
Monday, September 30, 2024

Mata Penakluk

Cerpen  Riza Multazam Luthfy

Bagai angin, berita kesaktian Mbah Urip berseliweran dari satu loka ke loka yang lain.  Bahkan, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Serata warga desa Sugihwaras mafhum akan kesaktiannya. Kesaktian yang acap mengoyak hati teman-temannya, tetangga,  bahkan saudara sendiri. Kesaktian yang sanggup melumpuhkan cinta Markonah, Sari, Paijah, Surti, Kumala, dan ratusan betina lainnya. Kesaktian yang suatu kali menjadi berkah, dan pada kali lain menjelma malapetaka.

Telah jamak diketahui, kesaktian yang berpangkal di indra penglihat Mbah Urip mengantarkannya sebagai manusia yang musykil dipandang remeh. Meski tak berharta, ia mampu dengan enteng menumbangkan makhluk tercongah sekalipun. Tentu, ini terkhusus dalam hal percintaan. Dan ia pirsa, bahwa kesaktian itu yang menyeretnya bergelar manusia dua rupa. Sebab, di mata sebagian lelaki ia dibenci. Sedang di hadapan para wanita ia dipuja-puja.

Seusai mereguk kenikmatan sesaat kala mudanya, barangkali, kini, Mbah Urip insaf. Usianya tengah menginjak angka tujuh puluh. Kalau ditafakuri, beruntung juga si tua bangka itu. Tiadalah kesembilan istrinya lenyap sejalan dengan punahnya kesaktian. Dan naga-naganya, tumor yang menggerogoti tubuhnya itu yang menerapnya mengalihkan kesaktian yang disandang. Ya, siapa lagi kalau bukan kepada Suryo. Kan cuma dia yang bisa menyerap kesaktian tersebut.

“Kurang ajar benar si Suryo. Enak sekali dia. Cuma ongkang-ongkang kaki, tetapi ia yang malah mendapatkan kesaktian kakeknya.”
Sebiji warta yang menyebut bahwa Suryo tiba-tiba bermata sakti itu sudah dipungut kuping para warga. Mereka tak habis pikir, mengapa anak kemarin sore itu yang sekonyong-konyong beroleh anugerah luar biasa. Padahal, berbondong-bondong orang berhasrat berguru pada Mbah Urip, namun tak satu pun lulus.
***
Dari buah obrolan warga, tersimpul bahwa Suryo merupakan satu-satunya cucu yang berhak mewarisi kesaktian Mbah Urip. Kenapa? Sebab ia lahir pada tengah bulan Syura di malam Jum’at Kliwon. Usut punya usut, ternyata ia juga menggenapkan syarat lain. Yakni sebagai putra kedua dari laki-laki sulung kakek bergelang bulu kera itu.

Terang saja. Banyak dara yang tergila-gila. Saban hari, tak kurang empat gadis digandengnya. Mana nilai wajah mereka berkisar antara 8 sampai 9. Alamak. Hebat nian itu manusia. Arum saja klepek-klepek. Padahal, ratusan jejantan ditolaknya.
Pemuda-pemuda desa Sugihwaras menaruh hasad kepada Suryo. Bagaimana tidak. Dalam riwayat, belum pernah ada lelaki yang berjaya mengikat janji dengan 36 perawan dalam sebulan. (Tentu dalam hal ini, mau tidak mau, kita kudu mengecualikan Mbah Urip yang berjuluk bajul ireng itu). Untuk bulan berikutnya, pasti sudah nongol nama-nama lain. Dan hebatnya, semua masih prawan. Ting-ting lagi. Edan. Dulu sempat masyhur sih, yang namanya Bahrun. Ia sukses menggancu 7 perempuan. Masuk akallah. Lha wong, ia berwajah cahaya. Berambut malam. Tinggi badannya pas. Otot-ototnya menyembul keluar. Kalau tersenyum, gigi putihnya berderet rapi. Perempuan mana yang tidak tersetrum tiap kali bertembung. Ibu-ibu, bila direstui suami, pasti mereka mau juga dinikahi. Tetapi ini berbeda. Semua orang tahu, kalau Suryo berburuk rupa. Kerdil. Berambut keriting. Giginya naik-turun. Ditambah lagi, bulu-bulu sebesar kelingking bertunas di mana-mana.
Ya, di dunia ini, apa sih yang musykil. Gara-gara mata yang dipunyai itu, Suryo bisa kayak begini. Kemarin Sukran mencerap sendiri, kalau mata Suryo memang parak. Bagian tengahnya berona biru beraduk merah tua. Terus di selingkarnya tersua bintik-bintik hitam yang merias huruf. Ia kurang mafhum huruf apa gerangan.
***
Sebetulnya, kesaktian Mbah Urip boleh diraih oleh orang lain selain Suryo. Sayangnya, sampai detik ini belum muncul segelintir pun yang berhasil memenuhi beberapa butir syarat yang diajukan. Semisal, bergadang tujuh hari tujuh malam. Bertudung badan hanya dengan selembar daun pisang. Selalu menjauhkan diri dari cahaya. Serta menghindar dari memamah daging kambing yang ditusuk.

Untuk yang terakhir, terbilang pelengkap. Artinya, syarat ini dilakukan ketika sudah makbul mengantongi kesaktian. Untuk syarat terakhir pula, Kusmin kena getahnya. Pernah dua hari ia memiliki mata sakti itu. Tetapi ia sedang buntung. Sewaktu menghadiri undangan Kang Sadik, ia melahap sate kambing. Benar-benar celaka. Dikiranya itu daging sapi. Terpaksa ia harus menderita selamanya. Ya, selamanya. Sebab, seketika itu pula ia langsung buta.
Setelah peristiwa itu, pemuda yang berhajat mengejar kesaktian Mbah Urip malah kian bertambah. Mereka merasa tertantang untuk memperoleh kesaktian itu. Namun, untuk mewujudkannya, bukanlah perkara mudah. Ada yang rela dicuaikan istri. Ada yang badannya tinggal tengkorak. Ada yang sesat akal. Ada yang terdesak bermukim di kolong tanah. Sungguh, mereka tak meraih apa-apa kecuali kegagalan belaka.
***
Belum genap 3 bulan, Suryo sudah nekat bikin ulah. Partini, istri Pak Lurah digait. Memang agak janggal saat mendengar Suryo terpincut dengan perempuan yang bersuami. Apalagi perempuan itu berhidung pesek, berimbun bisul di muka, beranak tiga pula. Selama ini ia kan hanya mau merekrut puan lajang. Suryo punya alasan mengapa ia embat istri Pak Lurah. Suryo muak melihat Pak Lurah memperalat ayahnya. Ya, Suparman; Kusir delman yang saban yaum mengantar Pak Lurah ke balai desa itulah ayah Suryo.

Jaka pelalap wanita itu mulai berang ketika mengetahui tanah dan beberapa ekor kambing ayahnya berpindah ke tangan Pak Lurah. Ia baru paham kala ditakrifkan sang ibu, bahwa pengabdian ayahnya itu gratis, alias tak dibayar. Sedang tanah dan kambing-kambingnya itu dirampas. Tidak seperti apa yang digembor-gemborkan Pak Lurah, bahwa ia telah menebusnya. Dari cerita ibu, Suryo juga baru menyadari bahwa sekian tahun silam, ayahnya pernah berhutang pada Pak Lurah, yang kala itu masyhur sebagai orang terkaya di desa Sugihwaras. Pak Lurah tak ubahnya lintah darat yang mengikhlaskan pertolongan sekaligus mencekik leher pelan-pelan. Bunga yang digantungkan dari hutang itu melebihi batas. Hingga pada akhirnya Suparman hanya sanggup mencicil bunga, tanpa tahu kapan hutangnya lunas.

Orang seperti Pak Lurah tak akan tinggal diam, bila harga dirinya diinjak-injak. Apalagi hanya oleh cacing merah itu. Ia tidak terima dengan tingkah-polah Suryo. Pak Lurah naik darah. Mukanya merah padam. Kemudian Pak Lurah mengajak warga desa Sugihwaras menggerebek Suryo yang sedang asyik ngopi di warung Mak Minah. Para pemuda merasa diuntungkan. Pasalnya, sudah lama mereka bernafsu menghakimi Suryo. Walakin, apalah daya. Rupanya mereka belum bertemu jalan. Dalam batin mereka, inilah saat yang tepat untuk memuntahkan kedengkian yang merasuki tubuh mereka selama ini.

Eit, jangan salah kira. Tiadalah Suryo menyerah tanpa menerbitkan perlawanan. Ia bukanlah anjing yang disedekahi tulang langsung diam. Meski diimingi-imingi sawah dua hektar dan dua puluh ekor kerbau (dengan syarat: bersedia melenyapkan kesaktian matanya dan mengembalikan istri Pak Lurah), Suryo tak bergeming. Ia juga tak gentar secuil pun beradu kening dengan jejantan yang jumlahnya sekitar seratus orang.
Pada mulanya, orang-orang menduga bahwa kesaktian Suryo hanya bersarang di dua mata. Ternyata mereka salah kaprah. Ada satu hal yang belum mereka ketahui. Kesaktian yang diturunkan Mbah Urip ini akan berlipat-lipat dan menjalar ke seluruh tubuh, tatkala empunya mata berhasil menundukkan 100 wanita dalam 75 hari.

Dalam benak Pak Lurah:

“Ini bocah, paling mata saja yang sakti. Disuruh berkelahi pasti keder”.

Setelah gagal berdamai, akhirnya Pak Lurah menitahkan tiga orang yang dipercaya untuk meremukkan tulang-belulang Suryo. Mata sakti itu tenang saja mengamati lawannya. Seakan-akan ia memberi kesempatan kepada tiga musuhnya untuk mengambil kuda-kuda.
“Ciyaaaaat…”

Belum sempat mengalirkan pukulan ke arah Suryo, ketiganya dibuat gelagapan. Hanya dengan sentilan telunjuk kirinya, Sapri, Darminto, dan Yamin, terpelanting beberapa meter dari tempat semula dan membuat tubuh mereka terjengkang. Mereka mengucek mata masing-masing, berharap itu hanya sepotong mimpi. Dan mereka sadar bahwa apa yang dialami benar-benar nyata. Ya, Suryo yang kian sakti adalah sebuah kenyataan yang tak diharapkan sama sekali.

Pak Lurah dan sisa warga yang lain gemetar. Menyaksikan kesaktian Suryo, satu persatu warga mengurungkan niat. Mereka kabur. Mereka khawatir terjadi apa-apa jika menuruti kemauan Pak Lurah.

Akhirnya, tinggal Suryo dan Pak Lurah yang tersua di depan tempat tongkrongan itu. Keduanya bersitatap. Otak Pak Lurah memadat. Lehernya kaku. Bulunya menggeriap. Ia bersoal dalam batin: “adakah lusa aku masih bisa bertemu dengan anak-anak?”
Yogyakarta, 2011

Cerpen  Riza Multazam Luthfy

Bagai angin, berita kesaktian Mbah Urip berseliweran dari satu loka ke loka yang lain.  Bahkan, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Serata warga desa Sugihwaras mafhum akan kesaktiannya. Kesaktian yang acap mengoyak hati teman-temannya, tetangga,  bahkan saudara sendiri. Kesaktian yang sanggup melumpuhkan cinta Markonah, Sari, Paijah, Surti, Kumala, dan ratusan betina lainnya. Kesaktian yang suatu kali menjadi berkah, dan pada kali lain menjelma malapetaka.

Telah jamak diketahui, kesaktian yang berpangkal di indra penglihat Mbah Urip mengantarkannya sebagai manusia yang musykil dipandang remeh. Meski tak berharta, ia mampu dengan enteng menumbangkan makhluk tercongah sekalipun. Tentu, ini terkhusus dalam hal percintaan. Dan ia pirsa, bahwa kesaktian itu yang menyeretnya bergelar manusia dua rupa. Sebab, di mata sebagian lelaki ia dibenci. Sedang di hadapan para wanita ia dipuja-puja.

Seusai mereguk kenikmatan sesaat kala mudanya, barangkali, kini, Mbah Urip insaf. Usianya tengah menginjak angka tujuh puluh. Kalau ditafakuri, beruntung juga si tua bangka itu. Tiadalah kesembilan istrinya lenyap sejalan dengan punahnya kesaktian. Dan naga-naganya, tumor yang menggerogoti tubuhnya itu yang menerapnya mengalihkan kesaktian yang disandang. Ya, siapa lagi kalau bukan kepada Suryo. Kan cuma dia yang bisa menyerap kesaktian tersebut.

“Kurang ajar benar si Suryo. Enak sekali dia. Cuma ongkang-ongkang kaki, tetapi ia yang malah mendapatkan kesaktian kakeknya.”
Sebiji warta yang menyebut bahwa Suryo tiba-tiba bermata sakti itu sudah dipungut kuping para warga. Mereka tak habis pikir, mengapa anak kemarin sore itu yang sekonyong-konyong beroleh anugerah luar biasa. Padahal, berbondong-bondong orang berhasrat berguru pada Mbah Urip, namun tak satu pun lulus.
***
Dari buah obrolan warga, tersimpul bahwa Suryo merupakan satu-satunya cucu yang berhak mewarisi kesaktian Mbah Urip. Kenapa? Sebab ia lahir pada tengah bulan Syura di malam Jum’at Kliwon. Usut punya usut, ternyata ia juga menggenapkan syarat lain. Yakni sebagai putra kedua dari laki-laki sulung kakek bergelang bulu kera itu.

Terang saja. Banyak dara yang tergila-gila. Saban hari, tak kurang empat gadis digandengnya. Mana nilai wajah mereka berkisar antara 8 sampai 9. Alamak. Hebat nian itu manusia. Arum saja klepek-klepek. Padahal, ratusan jejantan ditolaknya.
Pemuda-pemuda desa Sugihwaras menaruh hasad kepada Suryo. Bagaimana tidak. Dalam riwayat, belum pernah ada lelaki yang berjaya mengikat janji dengan 36 perawan dalam sebulan. (Tentu dalam hal ini, mau tidak mau, kita kudu mengecualikan Mbah Urip yang berjuluk bajul ireng itu). Untuk bulan berikutnya, pasti sudah nongol nama-nama lain. Dan hebatnya, semua masih prawan. Ting-ting lagi. Edan. Dulu sempat masyhur sih, yang namanya Bahrun. Ia sukses menggancu 7 perempuan. Masuk akallah. Lha wong, ia berwajah cahaya. Berambut malam. Tinggi badannya pas. Otot-ototnya menyembul keluar. Kalau tersenyum, gigi putihnya berderet rapi. Perempuan mana yang tidak tersetrum tiap kali bertembung. Ibu-ibu, bila direstui suami, pasti mereka mau juga dinikahi. Tetapi ini berbeda. Semua orang tahu, kalau Suryo berburuk rupa. Kerdil. Berambut keriting. Giginya naik-turun. Ditambah lagi, bulu-bulu sebesar kelingking bertunas di mana-mana.
Ya, di dunia ini, apa sih yang musykil. Gara-gara mata yang dipunyai itu, Suryo bisa kayak begini. Kemarin Sukran mencerap sendiri, kalau mata Suryo memang parak. Bagian tengahnya berona biru beraduk merah tua. Terus di selingkarnya tersua bintik-bintik hitam yang merias huruf. Ia kurang mafhum huruf apa gerangan.
***
Sebetulnya, kesaktian Mbah Urip boleh diraih oleh orang lain selain Suryo. Sayangnya, sampai detik ini belum muncul segelintir pun yang berhasil memenuhi beberapa butir syarat yang diajukan. Semisal, bergadang tujuh hari tujuh malam. Bertudung badan hanya dengan selembar daun pisang. Selalu menjauhkan diri dari cahaya. Serta menghindar dari memamah daging kambing yang ditusuk.

Untuk yang terakhir, terbilang pelengkap. Artinya, syarat ini dilakukan ketika sudah makbul mengantongi kesaktian. Untuk syarat terakhir pula, Kusmin kena getahnya. Pernah dua hari ia memiliki mata sakti itu. Tetapi ia sedang buntung. Sewaktu menghadiri undangan Kang Sadik, ia melahap sate kambing. Benar-benar celaka. Dikiranya itu daging sapi. Terpaksa ia harus menderita selamanya. Ya, selamanya. Sebab, seketika itu pula ia langsung buta.
Setelah peristiwa itu, pemuda yang berhajat mengejar kesaktian Mbah Urip malah kian bertambah. Mereka merasa tertantang untuk memperoleh kesaktian itu. Namun, untuk mewujudkannya, bukanlah perkara mudah. Ada yang rela dicuaikan istri. Ada yang badannya tinggal tengkorak. Ada yang sesat akal. Ada yang terdesak bermukim di kolong tanah. Sungguh, mereka tak meraih apa-apa kecuali kegagalan belaka.
***
Belum genap 3 bulan, Suryo sudah nekat bikin ulah. Partini, istri Pak Lurah digait. Memang agak janggal saat mendengar Suryo terpincut dengan perempuan yang bersuami. Apalagi perempuan itu berhidung pesek, berimbun bisul di muka, beranak tiga pula. Selama ini ia kan hanya mau merekrut puan lajang. Suryo punya alasan mengapa ia embat istri Pak Lurah. Suryo muak melihat Pak Lurah memperalat ayahnya. Ya, Suparman; Kusir delman yang saban yaum mengantar Pak Lurah ke balai desa itulah ayah Suryo.

Jaka pelalap wanita itu mulai berang ketika mengetahui tanah dan beberapa ekor kambing ayahnya berpindah ke tangan Pak Lurah. Ia baru paham kala ditakrifkan sang ibu, bahwa pengabdian ayahnya itu gratis, alias tak dibayar. Sedang tanah dan kambing-kambingnya itu dirampas. Tidak seperti apa yang digembor-gemborkan Pak Lurah, bahwa ia telah menebusnya. Dari cerita ibu, Suryo juga baru menyadari bahwa sekian tahun silam, ayahnya pernah berhutang pada Pak Lurah, yang kala itu masyhur sebagai orang terkaya di desa Sugihwaras. Pak Lurah tak ubahnya lintah darat yang mengikhlaskan pertolongan sekaligus mencekik leher pelan-pelan. Bunga yang digantungkan dari hutang itu melebihi batas. Hingga pada akhirnya Suparman hanya sanggup mencicil bunga, tanpa tahu kapan hutangnya lunas.

Orang seperti Pak Lurah tak akan tinggal diam, bila harga dirinya diinjak-injak. Apalagi hanya oleh cacing merah itu. Ia tidak terima dengan tingkah-polah Suryo. Pak Lurah naik darah. Mukanya merah padam. Kemudian Pak Lurah mengajak warga desa Sugihwaras menggerebek Suryo yang sedang asyik ngopi di warung Mak Minah. Para pemuda merasa diuntungkan. Pasalnya, sudah lama mereka bernafsu menghakimi Suryo. Walakin, apalah daya. Rupanya mereka belum bertemu jalan. Dalam batin mereka, inilah saat yang tepat untuk memuntahkan kedengkian yang merasuki tubuh mereka selama ini.

Eit, jangan salah kira. Tiadalah Suryo menyerah tanpa menerbitkan perlawanan. Ia bukanlah anjing yang disedekahi tulang langsung diam. Meski diimingi-imingi sawah dua hektar dan dua puluh ekor kerbau (dengan syarat: bersedia melenyapkan kesaktian matanya dan mengembalikan istri Pak Lurah), Suryo tak bergeming. Ia juga tak gentar secuil pun beradu kening dengan jejantan yang jumlahnya sekitar seratus orang.
Pada mulanya, orang-orang menduga bahwa kesaktian Suryo hanya bersarang di dua mata. Ternyata mereka salah kaprah. Ada satu hal yang belum mereka ketahui. Kesaktian yang diturunkan Mbah Urip ini akan berlipat-lipat dan menjalar ke seluruh tubuh, tatkala empunya mata berhasil menundukkan 100 wanita dalam 75 hari.

Dalam benak Pak Lurah:

“Ini bocah, paling mata saja yang sakti. Disuruh berkelahi pasti keder”.

Setelah gagal berdamai, akhirnya Pak Lurah menitahkan tiga orang yang dipercaya untuk meremukkan tulang-belulang Suryo. Mata sakti itu tenang saja mengamati lawannya. Seakan-akan ia memberi kesempatan kepada tiga musuhnya untuk mengambil kuda-kuda.
“Ciyaaaaat…”

Belum sempat mengalirkan pukulan ke arah Suryo, ketiganya dibuat gelagapan. Hanya dengan sentilan telunjuk kirinya, Sapri, Darminto, dan Yamin, terpelanting beberapa meter dari tempat semula dan membuat tubuh mereka terjengkang. Mereka mengucek mata masing-masing, berharap itu hanya sepotong mimpi. Dan mereka sadar bahwa apa yang dialami benar-benar nyata. Ya, Suryo yang kian sakti adalah sebuah kenyataan yang tak diharapkan sama sekali.

Pak Lurah dan sisa warga yang lain gemetar. Menyaksikan kesaktian Suryo, satu persatu warga mengurungkan niat. Mereka kabur. Mereka khawatir terjadi apa-apa jika menuruti kemauan Pak Lurah.

Akhirnya, tinggal Suryo dan Pak Lurah yang tersua di depan tempat tongkrongan itu. Keduanya bersitatap. Otak Pak Lurah memadat. Lehernya kaku. Bulunya menggeriap. Ia bersoal dalam batin: “adakah lusa aku masih bisa bertemu dengan anak-anak?”
Yogyakarta, 2011

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/