Sihar Emry Prihandy
Horas terkapar di tepi jalan.
Mati. Tepat pukul 22.16 WIB.
Selasa Legi malam.
Hanya sejumlah Rp 1.500 di saku kanan celananya. Selembar uang kertas pecahan Rp 1.000 bernomor seri IHU072264 dan sekeping uang logam pecahan Rp 500 cetakan tahun 2003. Di saku kiri tertinggal selembar KTP dan sebuah ponsel buatan Finlandia yang selama 6 tahun menjadi sarana ia berkomunikasi.
Lebih dari 30 menit ia menjadi tontonan warga dan beberapa pengguna jalan yang sengaja berhenti. Sebelum polisi datang dan membawa mayatnya ke Rumah Sakit dr Pirngadi. Dari hasil visum dan olah TKP polisi menyimpulkan Horas mati kelelahan.
***
Pagi di hari ia mati, Horas mempersiapkan segala berkas proposal pelatihan dan kompetisi enterpreneurship yang digelar sebuah lembaga donor dari Britania Raya. Hari ini adalah hari ketiga sekaligus hari terakhir. Optimismenya membuncah. Ia yakin akan menjadi satu di antara 5 peserta se-Indonesia yang memenangkan dana hibah.
Ia memeriksa dompet. Hanya selembar Rp 5.000. Ia menimbang-nimbang. Jika naik angkot, uang hanya cukup untuk ongkos pergi. Sedangkan naik sepeda motor terlalu berisiko. Selembar Rp 5.000 bisa membeli seliter bensin, tapi bagaimana jika ban bocor.
“Baiklah. Cara pulang dipikirkan nanti,” ucapnya kepada diri sendiri. Horas memutuskan naik angkot. Ia tak mau konsentrasi buyar karena masalah di jalan. Hari terakhir sangat menentukan. Seluruh peserta akan membuat proposal proyek berdasar materi selama 2 hari pelatihan.
Horas meninggalkan rumah kontrakannya. Berjalan menelusuri gang sempit yang berakhir di tepi jalan raya. Tanpa menunggu lama, angkot yang melintasi hotel tujuan muncul. Di atas angkot ia gelisah memikirkan ongkos pulang. Sudahlah, pikirnya. Ia memilih merangkai harap memenangkan kompetisi.
Di tengah komat-kamit hati berdoa, benaknya mengurai perjalanan hidup yang menginjak usia 24 tahun. Ia tertawa. Terkenang bagaimana menikmati hari tanpa mengenal susah. Setiap waktu adalah perayaan hidup. Dulu. Ketika semua mudah. Jalannya nyaris tanpa aral. Memutuskan berhenti kuliah setelah meninju seorang dosen, Horas cepat mendapat aktifitas baru. Pengalaman memimpin pers mahasiswa mengantar pada pekerjaan memimpin buletin terbitan sebuah LSM. Dua tahun ia bekerja sebelum LSM tersebut tutup karena kerjasama diputus lembaga donor.
Tak sempat ia menganggur. Panggilan kemudian datang dari tim pemenangan satu pasangan calon walikota dan wakil walikota Medan. Ia menjadi koordinator jurnalis. Ia bahkan ditawari bergabung di parpol pengusung pasangan calon usai hingar bingar pilkada. Namun, ia menolak. Andai aku terima tawaran parpol itu, batinnya bergurau.
“Pinggir, Bang,” Horas menghentikan angkot. Gegas ia menuju ruang lokasi pelatihan. Sesi akan dimulai 10 menit lagi.
“Selamat pagi,” Horas menyapa peserta dan panitia yang telah berkumpul di ruang pelatihan.
Panitia memfasilitasi penginapan para peserta di hotel lokasi pelatihan. Namun, Horas memilih pulang ke kontrakan. Menginap di hotel akan membawa diri ke dalam perbincangan dengan teman sekamar. Ia tak suka. Horas bukanlah pribadi yang suka berbincang. Ia hanya bicara seperlunya.
“Selamat pagi, para peserta,” fasilitator membuka sesi. Ia kemudian menjelaskan tugas terakhir peserta. Sebelum mulai mengerjakan proposal, fasilitator meminta setiap peserta memaparkan latar belakang dan kondisi terkini proyek yang diajukan di kompetisi.
Horas sebagai pemenang kompetisi wilayah Sumut mendapat giliran kedua. “Bermula dari sakit kepala,” ujarnya. Dari seorang tua ia kemudian tahu bahwa jahe dapat menyembuhkan sakit kepala. Horas mencoba. “Berhasil. Saya jadi teringat kekayaan apotek hidup negeri ini.”
Di tengah kondisi sedang tak memiliki pekerjaan, ia meminta izin orangtuanya mengelola halaman belakang rumah mereka dengan tanaman apotek hidup. Namun, di saat bersamaan seorang pamannya mengusulkan agar mereka membuka usaha warnet di halaman belakang rumah. Menimbang keuntungan, orangtuanya mengamini usulan si paman.
Horas tak patah arang. Ia teringat tanah milik gereja yang dibiarkan terlantar. Ia meminta izin kepada penatua mengelola tanah kosong itu bersama pemuda-pemuda gereja. Pro dan kontra mengemuka. Horas lalu menawarkan pembagian hasil dan disetujui.
Horas bekerja bersama para pemuda gereja. Uang tabungan ia gunakan sebagai modal. Waktu berbicara. Jemaat memberi tanggapan positif. Horas memperkenalkan khasiat tanaman yang mereka tanam melalui majalah dinding pemuda gereja, jejaring sosial, dan blog.
Ia mencurahkan perhatian penuh kepada usaha barunya. Eksperimen ia lakukan untuk menghasilkan produk olahan yang bisa dikembangkan dan bernilai ekonomi. Demi menjaga konsentrasi, Horas memutuskan mengontrak rumah di sekitar tanah gereja. Keadaan rumah keluarganya bising oleh bisnis warnet.
“Produk inilah yang ingin kami kembangkan. Di samping memberi manfaat ekonomi bagi pemuda gereja dan jemaat, juga untuk meminimalisir risiko penggunaan obat-obat buatan pabrik,” jelas Horas kepada panitia dan peserta lain.
***
Berita kematiannya cepat menyebar. Koran-koran menyajikan di halaman pertama sebagai headline. Meski tak satu pun tepat menyebut cerita di balik kematiannya. Koran-koran bahkan menyebut Horas sebagai penggiat gerakan antisawit. Hanya karena memakai sweater bertuliskan “EKSPANSI SAWIT = KRISIS PANGAN”.
Ragam opini disajikan menanggapi kematiannya. Mulai dari masyarakat awam hingga nama-nama yang kerap muncul di media massa. Serentak menggugat kepolisian yang tak cakap memberikan rasa aman bagi masyarakat. Padahal, polisi jelas menyebutkan bahwa Horas mati akibat kelelahan.
***
Malam sebelum ia mati, Horas meninggalkan lokasi pelatihan setelah berpamitan dengan seluruh peserta dan panitia. Semua meminta agar ia menginap di hotel. Namun, Horas memilih pulang. Tak ada bedanya antara pulang esok pagi atau malam ini. Ia tetap jalan kaki.
Horas memantapkan diri. Satu langkah dimulai dan tepi jalan ditelusuri. Ia akan berjalan hingga persimpangan yang berjarak ongkos Rp 2.000 ke rumah. Dari persimpangan itu ia akan naik angkot. Tak jauh, pikirnya. Jarak ini tak ada apa-apanya dibanding gunung yang pernah aku daki.Langkahnya santai. Sambil menikmati aneka gerak warga di sepanjang jalan. Pemandangan malam membuatnya kembali menertawai diri sendiri. Tabungan terkuras dan di kantong hanya tinggal selembar Rp 2.000 lusuh. Dompet pun terpaksa ditinggal. Horas tersenyum geleng-geleng kepala. Beberapa pengguna jalan memperhatikan.
Dua puluh menit berjalan ia merasa haus. Cepat ia putuskan membeli air mineral cup seharga Rp 500. Lebih baik berjalan sedikit jauh hingga persimpangan berjarak ongkos Rp 1.500 daripada mati kehausan. Uangnya pun pecah. Tak sampai semenit air mineral habis. Horas kembali meneruskan perjalanan.
Hampir sejam berjalan dan persimpangan tinggal 100 meter. Sepasang kaki Horas goyah. Sedikit lagi, bisiknya. Ia benar-benar lelah. Energinya sungguh terkuras sehari di ruang kompetisi. Ia memaki bisikan yang tiba-tiba muncul di pikiran dan mengejek. God, suaranya tertahan berusaha menjaga kesadaran. Horas mengalami disorientasi.
Sepasang kakinya semakin goyah. Langkahnya limbung. Horas tumbang. Ia jatuh tertelungkup. Dengan sisa tenaga ia menelentangkan tubuh. Bisikannya yang meminta tolong begitu lemah. Warga sekitar tak berani mendekat. Begitupun pengendara yang sengaja berhenti. Mereka hanya memandang dari jauh.
***
Kematian Horas menyisakan sesal mendalam di hati banyak orang.
Kedua orangtuanya kehilangan penerus garis silsilah. Horas adalah putra satu-satunya. Lelaki keras hati yang mempertanggungjawabkan keputusan berhenti kuliah dengan tidak meminta uang atau apapun kepada mereka. Dalam kepedihan mereka berandai-andai kebun apotek hidup Horas ada di belakang rumah mereka. Sesal serupa ada di hati Bapak dan Ibu Mulyo. Pasangan suami-istri pemilik rumah kontrakan.
Mereka marah kepada Horas yang tak mau terbuka mengatakan kekurangan uang. Padahal Horas memiliki piutang Rp 5 juta kepada mereka. Jumlah yang Horas pinjamkan saat Bapak dan Ibu Mulyo menikahkan anak beberapa bulan lalu.
Para pemuda gereja pun demikian. Mereka kini harus berhadapan dengan penatua gereja. Para penatua yang dulu menolak rencana Horas sekarang meminta agar kebun apotek hidup itu dikelola langsung oleh gereja. Mereka beralasan para pemuda tak cakap sebab tak punya pengalaman hidup. (*)
Medan, April 2012