32 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Lelaki Purnama

Cerpen: Lalu Hamidi Atmaja

Aku menyebutnya lelaki purnama. Dia tidak datang dari purnama seperti para alien yang datang dari planet lain dan singgah ke bumi. Bukan itu. Aku menyebutnya begitu karena kesetiaannya pada purnama.

Entah sejak kapan tepatnya ia mulai melakukan ritual sucinya itu. Duduk berlama-lama di bawah baluran sinar purnama. Tak pernah memerdulikan siapapun. Sebaliknya orang pun tak ada yang pernah peduli __ tepatnya tak lagi peduli __ dengan yang dilakukannya. Apalah artinya dia bagi orang-orang yang lalu-lalang. Mungkin tak lebih berharga dari jalan yang selalu dilalui itu.

Tak jelas apa sebetulnya yang ia lakukan dengan menyendiri dan menatap purnama sepanjang malam. Tertawakah, menangiskah? Tak ada yang pernah berusaha mencari tahu.
Di salah satu purnama, aku terpaksa membuka jendela kamarku setelah mendengar suara tangis yang panjang menyusul suara teriakan yang terdengar ditahan cukup dalam. Begitu tahu suara itu dari lelaki purnama, maka kututup kembali jendela kamar dan berbaring kembali di tempat tidur. Namun, suara lelaki purnama itu terlanjur mengusikku. Aku merasa terlalu peka untuk menyimpulkannya sebagai ekspresi kepedihan yang teramat dalam. Dan semalaman, mataku tak terpejam kembali.

Tanpa sepengetahuan siapapun,  aku menjadi sering memperhatikannya. Di setiap purnama akan kubuka jendela selebar-lebarnya.

Di situ, di tempat ia duduk menunggu purnama, adalah sebuah batu besar. Hanya berjarak beberapa meter dari jalan raya. Dari jendela kamarku, aku dapat melihatnya dengan cukup jelas. Tak ada pepohonan di sekitarnya. Sehingga, bila purnama tiba, maka cahaya yang datang akan sampai sempurna.  Di situlah, dulu, ia dan aku selalu bertemu. Selalu di bawah purnama. Di lain waktu ia tak akan datang menemuiku.
Setiap pertemuan adalah ajang kami saling berkeluh kesah mengumpat pahit getir kehidupan ini. Bagi kami mengetahui setiap hal yang pahit pada masing-masing, itu lah hal yang manis dan membuat aku merindukannya. Hubungan kami juga tak bisa dikatakan hubungan kasih. Tak pernah ada adegan ciuman, pelukan atau adegan lain layaknya sepasang kekasih. Tidak juga kata-kata cinta yang melena. Tapi, bila ada yang ingin menjadi kekasihku, selalu aku akan mengingatnya dan menjatuhkan pilihan untuk tidak menerima lelaki lain.

Suatu kali ia meminta pendapatku tentang niatnya untuk membunuh ibu tiri dan saudara tirinya. Aku tahu persis bagaimana ia membenci ibu tiri dan saudara tirinya. Sebab, semua waktu yang kusisakan untuknya selalu saja keluh kesah dan kata-kata kebencian tentang ibu tiri dan saudara tirinya. Kunasehati ia untuk tidak menjalankan niat buruknya itu.

“Kalau kau lakukan, maka akan berkurang keluh kesahmu padaku.” ujarku waktu itu. dan ia menyetujuinya. Jadi anggap saja aku punya andil dalam keselamatan ibu tiri dan saudara tirinya. Setidaknya untuk sementara. Ya, tak sampai pada purnama kedua setelah ia menyatakan niat jahatnya, saudara tirinya mati gantung diri. Setidaknya itu menjadi dugaan kuat orang-orang. Meskipun ia tak dianggap menjadi pembunuh saudaranya, aku mendengar cerita ia mulai jarang terlihat di rumahnya.

Purnama setelah kematian saudara tirinya, ia tak datang. Aku menunggunya. Terus menunggu sampai purnama berikutnya. Namun, ia tak kunjung datang. Aku sebetulnya berharap ia selalu datang ke tempat pertemuan itu, bahkan seandainya ia datang tidak hanya ketika purnama saja, aku pasti akan sangat senang. Setelah ayahku dikabarkan menikah di Malaysia,  ibuku selang tak berapa lama tiba-tiba menghilang bersama seorang tukang ojek entah kemana. Mungkin hamil dan tak siap menanggung malu lalu memilih untuk kabur dari kampung. Semenjak itu aku tak punya teman berkeluh kesah yang bisa kupercaya.

Ia tetap tak datang sampai purnama terahir aku di kampung. Itu satu-satunya kesempatan untuk mengucapkan selamat berpisah. Aku  akan pergi ke Arab Saudi. Seorang calo menawariku menjadi TKW. Semua ongkos pemberangkatan akan dipotong dari gaji selama bekerja. Maka aku menyutujuinya.

Apakah setelah kepergianku ia masih datang ke tempat pertemuan kami pada purnama-purnama berikutnya? Entahlah. Aku tak pernah bertanya tentangnya. Aku malah berharap dia akan melupakanku. Dan beberapa bulan di negeri tempat aku bekerja, aku mengabarkan kepada sisa-sisa kerabatku di rumah bahwa aku akan menikah.. Tanpa memberitahu secara rinci calon suamiku.
***

Di lain waktu selain purnama. Aku sebetulnya telah cukup sering berpapasan dengannya di jalan. Kadang, berada di satu tempat tanpa sengaja. Tapi tak sekalipun ia akan menoleh apalagi untuk sekedar menyapa. Aku mengingat seseorang pernah berkata padaku “Lelaki itu sudah tidak mengingat siapa-siapa.”

Sekarang, sudah enam purnama, ia tak pernah datang lagi ke tempat pertemuan kami itu. Barangkali dia telah merasa bosan atau menemukan tempat menunggu purnama yang lebih baik. Mungkin lukisan-lukisan hidup dari purnama telah dihapusnya dan mencari sesuatu yang lain yang lebih indah dilihat. Entahlah.

***
Purnama telah tiba. Dari jendela kamar yang terbuka, aku menatap haru batu tempat pertemuan itu. Ia benar-benar tak datang lagi. Ingin sekali rasanya menunggunya di sana. Di batu itu ingin aku kembali menumpahkan keluh kesah tentang pahit hidup. Akan kukatakan padanya semua rahasia yang kusimpan dalam-dalam. Hanya kepadanya. Karena aku tidak begitu mempercayai orang bernasib baik untuk jadi tempat berkeluh-kesah. Akan kuakui, aku tidak pernah benar-benar menikah. Tidak pernah menikah. Aku terdampar di Arab Saudi di tempat pelacuran, lunaslah penjagaanku atas keperawanan pada calo yang membawaku. Saudara pibumiku yang biadab. Di antara lelaki-lelaki Arab keparat ia melepasku layaknya sepiring makanan lezat. Satu-persatu, bergiliran, dan terus berlanjut menggerayangiku tanpa pengaman hingga aku hamil. Dan anakku tak jelas siapa bapaknya. Orang Arab, India, Bangladesh, atau sesama pribumi yang kebetulan melacur padaku kah? Aku tidak tahu. Maka kabar tentang pernikahan hanya menjadi sebuah persiapan saat akan pulang membawa seorang anak.

Dari jendela yang terbuka aku melihat purnama. Seperti terlukis segala-galanya tentang hidup. Tak kurasakan seperti menunggu seseorang. Hanya ingin berkeluh kesah. Memuntahkan segala pedih di hati. Barangkali seperti lelaki purnamaku.

Mataram

Cerpen: Lalu Hamidi Atmaja

Aku menyebutnya lelaki purnama. Dia tidak datang dari purnama seperti para alien yang datang dari planet lain dan singgah ke bumi. Bukan itu. Aku menyebutnya begitu karena kesetiaannya pada purnama.

Entah sejak kapan tepatnya ia mulai melakukan ritual sucinya itu. Duduk berlama-lama di bawah baluran sinar purnama. Tak pernah memerdulikan siapapun. Sebaliknya orang pun tak ada yang pernah peduli __ tepatnya tak lagi peduli __ dengan yang dilakukannya. Apalah artinya dia bagi orang-orang yang lalu-lalang. Mungkin tak lebih berharga dari jalan yang selalu dilalui itu.

Tak jelas apa sebetulnya yang ia lakukan dengan menyendiri dan menatap purnama sepanjang malam. Tertawakah, menangiskah? Tak ada yang pernah berusaha mencari tahu.
Di salah satu purnama, aku terpaksa membuka jendela kamarku setelah mendengar suara tangis yang panjang menyusul suara teriakan yang terdengar ditahan cukup dalam. Begitu tahu suara itu dari lelaki purnama, maka kututup kembali jendela kamar dan berbaring kembali di tempat tidur. Namun, suara lelaki purnama itu terlanjur mengusikku. Aku merasa terlalu peka untuk menyimpulkannya sebagai ekspresi kepedihan yang teramat dalam. Dan semalaman, mataku tak terpejam kembali.

Tanpa sepengetahuan siapapun,  aku menjadi sering memperhatikannya. Di setiap purnama akan kubuka jendela selebar-lebarnya.

Di situ, di tempat ia duduk menunggu purnama, adalah sebuah batu besar. Hanya berjarak beberapa meter dari jalan raya. Dari jendela kamarku, aku dapat melihatnya dengan cukup jelas. Tak ada pepohonan di sekitarnya. Sehingga, bila purnama tiba, maka cahaya yang datang akan sampai sempurna.  Di situlah, dulu, ia dan aku selalu bertemu. Selalu di bawah purnama. Di lain waktu ia tak akan datang menemuiku.
Setiap pertemuan adalah ajang kami saling berkeluh kesah mengumpat pahit getir kehidupan ini. Bagi kami mengetahui setiap hal yang pahit pada masing-masing, itu lah hal yang manis dan membuat aku merindukannya. Hubungan kami juga tak bisa dikatakan hubungan kasih. Tak pernah ada adegan ciuman, pelukan atau adegan lain layaknya sepasang kekasih. Tidak juga kata-kata cinta yang melena. Tapi, bila ada yang ingin menjadi kekasihku, selalu aku akan mengingatnya dan menjatuhkan pilihan untuk tidak menerima lelaki lain.

Suatu kali ia meminta pendapatku tentang niatnya untuk membunuh ibu tiri dan saudara tirinya. Aku tahu persis bagaimana ia membenci ibu tiri dan saudara tirinya. Sebab, semua waktu yang kusisakan untuknya selalu saja keluh kesah dan kata-kata kebencian tentang ibu tiri dan saudara tirinya. Kunasehati ia untuk tidak menjalankan niat buruknya itu.

“Kalau kau lakukan, maka akan berkurang keluh kesahmu padaku.” ujarku waktu itu. dan ia menyetujuinya. Jadi anggap saja aku punya andil dalam keselamatan ibu tiri dan saudara tirinya. Setidaknya untuk sementara. Ya, tak sampai pada purnama kedua setelah ia menyatakan niat jahatnya, saudara tirinya mati gantung diri. Setidaknya itu menjadi dugaan kuat orang-orang. Meskipun ia tak dianggap menjadi pembunuh saudaranya, aku mendengar cerita ia mulai jarang terlihat di rumahnya.

Purnama setelah kematian saudara tirinya, ia tak datang. Aku menunggunya. Terus menunggu sampai purnama berikutnya. Namun, ia tak kunjung datang. Aku sebetulnya berharap ia selalu datang ke tempat pertemuan itu, bahkan seandainya ia datang tidak hanya ketika purnama saja, aku pasti akan sangat senang. Setelah ayahku dikabarkan menikah di Malaysia,  ibuku selang tak berapa lama tiba-tiba menghilang bersama seorang tukang ojek entah kemana. Mungkin hamil dan tak siap menanggung malu lalu memilih untuk kabur dari kampung. Semenjak itu aku tak punya teman berkeluh kesah yang bisa kupercaya.

Ia tetap tak datang sampai purnama terahir aku di kampung. Itu satu-satunya kesempatan untuk mengucapkan selamat berpisah. Aku  akan pergi ke Arab Saudi. Seorang calo menawariku menjadi TKW. Semua ongkos pemberangkatan akan dipotong dari gaji selama bekerja. Maka aku menyutujuinya.

Apakah setelah kepergianku ia masih datang ke tempat pertemuan kami pada purnama-purnama berikutnya? Entahlah. Aku tak pernah bertanya tentangnya. Aku malah berharap dia akan melupakanku. Dan beberapa bulan di negeri tempat aku bekerja, aku mengabarkan kepada sisa-sisa kerabatku di rumah bahwa aku akan menikah.. Tanpa memberitahu secara rinci calon suamiku.
***

Di lain waktu selain purnama. Aku sebetulnya telah cukup sering berpapasan dengannya di jalan. Kadang, berada di satu tempat tanpa sengaja. Tapi tak sekalipun ia akan menoleh apalagi untuk sekedar menyapa. Aku mengingat seseorang pernah berkata padaku “Lelaki itu sudah tidak mengingat siapa-siapa.”

Sekarang, sudah enam purnama, ia tak pernah datang lagi ke tempat pertemuan kami itu. Barangkali dia telah merasa bosan atau menemukan tempat menunggu purnama yang lebih baik. Mungkin lukisan-lukisan hidup dari purnama telah dihapusnya dan mencari sesuatu yang lain yang lebih indah dilihat. Entahlah.

***
Purnama telah tiba. Dari jendela kamar yang terbuka, aku menatap haru batu tempat pertemuan itu. Ia benar-benar tak datang lagi. Ingin sekali rasanya menunggunya di sana. Di batu itu ingin aku kembali menumpahkan keluh kesah tentang pahit hidup. Akan kukatakan padanya semua rahasia yang kusimpan dalam-dalam. Hanya kepadanya. Karena aku tidak begitu mempercayai orang bernasib baik untuk jadi tempat berkeluh-kesah. Akan kuakui, aku tidak pernah benar-benar menikah. Tidak pernah menikah. Aku terdampar di Arab Saudi di tempat pelacuran, lunaslah penjagaanku atas keperawanan pada calo yang membawaku. Saudara pibumiku yang biadab. Di antara lelaki-lelaki Arab keparat ia melepasku layaknya sepiring makanan lezat. Satu-persatu, bergiliran, dan terus berlanjut menggerayangiku tanpa pengaman hingga aku hamil. Dan anakku tak jelas siapa bapaknya. Orang Arab, India, Bangladesh, atau sesama pribumi yang kebetulan melacur padaku kah? Aku tidak tahu. Maka kabar tentang pernikahan hanya menjadi sebuah persiapan saat akan pulang membawa seorang anak.

Dari jendela yang terbuka aku melihat purnama. Seperti terlukis segala-galanya tentang hidup. Tak kurasakan seperti menunggu seseorang. Hanya ingin berkeluh kesah. Memuntahkan segala pedih di hati. Barangkali seperti lelaki purnamaku.

Mataram

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/