Oleh: Muftirom Fauzi Aruan
Lelaki muda itu berjalan memasuki kedai kopi, dengan hati penuh kegelisahan. Seakan-akan kegelisahan itu adalah bayi raksasa yang ia gendong di pundaknya. Terlampau berat, demikian berat. Namun dia berusaha agar tidak ada tanda-tanda dari raut wajahnya bahwa dia sedang gelisah.
Kemudian ia duduk di bangku paling sudut di kedai kopi, lantas seorang pelayan datang dan memberikan daftar menu. Tetapi lelaki itu menolak. “Kopi segelas,” katanya. “Itu saja?” tanya pelayan. Lelaki itu mengangguk. Pelayan pergi. Kemudian lelaki itu menyandarkan tubuhnya di bangku dan kedua telapak tangannya diletakkan di belakang kepala seolah-olah menggenggam erat kepalanya. Matanya memandang langit-langit kedai kopi. Tapi pikirannya melayang entah ke mana, karena memang dia begitu teramat gelisah.
Memang dia menyadari dirinya mulai gelisah saat umurnya menginjak ke duapuluh tahun dan sekarang umurnya duapuluh empat tahun, dan selama itu pula ia merasakan kegelisahan dalam hatinya, yang selalu ia bawa ke mana pun. Kegelisahan memang membuatnya tak menentu. Dia terkadang terburu-buru dalam suatu hal. Kadang dia pun begitu lemah menghadapi suatu hal. Terkadang juga dia terlalu emosi dan amarah meluap-luap dalam hatinya. Namun kesemuanya itu tak pernah dia lampiaskan kepada orang-orang. Karena memang dalam kebiasaannya sehari-hari dia masih dalam batas kewajaran. Sehingga orang-orang tak tahu bahwa dia telah tergelisahkan selama empat tahun. Begitulah dia selalu memendam semua itu dalam diamnya.
Lelaki itu mendesah. Menghembuskan nafasnya. Seolah-olah tubuh dan hatinya tak mampu menahan beban kegelisahan yang bersemayam dalam dirinya selama empat tahun. Tubuh yang menahan kegelisahan itu, seperti terjalari angin yang bersatu dengan darah dan terus berlari dengan kecepatan paling tertinggi dan terkencang mengitari dalam keseluruhan tubuhnya, sehingga tubuhnya terasa tegang secara batin. Namun secara lahir terlihat biasa saja. Dia tak tahu pasti kegelisahan apa yang sesungguhnya yang tengah dia alami. Ini sungguh seperti sihir, yang dia sendiri tak mempercayainya. Namun ia menyadari, bahwa kegelisahannya itu adalah sebuah proses. Sebuah proses mencari jati diri. Siapa dia? Bagaimana seharusnya dia menjalani hidup? Untuk apa dia hidup? Ada apa setelah hidup? Tapi sesungguhnya dia tak tahan menjalaninya.
Seorang pelayan mengantarkan segelas kopi yang dia pesan dan meletakkannya di atas meja.
“Terima kasih.” Kata lelaki itu. Pelayan itu tersenyum dan meninggalkan lelaki itu.
Berulangkali dia datang ke kedai kopi ini dengan rasa gelisah yang terlampau dalam. Namun karena memang dia tak tahan dengan kegelisahan yang selalu dipikulnya, maka kali ini dia ingin sekali menghilangkan kegelisahannya itu. Bagaimana caranya? Apakah bisa? Itulah pertanyaan yang sedari tadi dia pikirkan sebelum sampai di kedai kopi ini. Namun apa gunanya menjadi manusia bila tak mencoba?
Dia memandangi segelas kopi yang pekat itu. Begitu pekat pula dia membayangkan kehidupannya, tak ada cahaya yang menerangi sehingga dia benar-benar tak bisa memilih jalan yang akan cepat menyelesaikan kegelisahannya selama ini. Yang melapangkan hatinya.
Pada akhirnya ia berpikir, bagaimana kalau memindahkan kegelisahannya di segelas kopi yang ada di hadapannya itu.
Sebelum dia benar-benar yakin akan memindahkan kegelisahannya ke segelas kopi itu, seperti ritual-ritual sebelumnya di kedai kopi ini, dia mengambil sebungkus rokok dari saku celananya, dan kemudian menyelipkan rokok itu ke bibirnya dan menyulutnya dengan korek. Lantas mengepullah asap rokok di depan wajahnya untuk beberapa menit ke depan hingga sebatang rokok pertamanya habis.
Orang-orang dalam kedai kopi seperti biasa dalam kebiasaanya. Pengunjung-pengunjung lain, selain dirinya, tertawa-tawa dalam kelakar mereka. Sebuah dunia yang pantas ditertawakan oleh orang-orang yang secara tak sadar menganggap dirinya bagian dari panggung pementasan sebuah komedi. Panggung komedi yang seolah-olah pemerannya memberi kesan menyindir pada orang lain, tetapi tidak lain, terkadang mereka menyindir diri sendiri.
Lelaki itu terus memandang segelas kopinya, dan terkadang hembusan asap rokok dia semburkan di segelas kopi itu. Tapi pikirannya kadang melayang pada orang-orang yang tertawa-tawa yang menertawakan entah apa, barangkali menertawakan kepedihan. Sehingga lelaki itu menafsirkan tawa mereka adalah tawa kosong yang juga menyembunyikan kegelisahan, yang sesaat akan hilang dengan cara tertawa dan akan kembali datang kegelisahan itu ketika orang-orang itu dipisahkan oleh ruang yang mengharuskan mereka berpisah dari kedai kopi untuk pulang ke rumahnya masing-masing.
Kemudian lelaki itu memikirkan bagaimana caranya, agar dia benar-benar memindahkan kegelisahannya ke segelas kopi itu, yang memang selama ini segelas kopi adalah temannya yang paling setia dalam memahami bahwa dia menyimpan kegelisahan teramat sangat dalam dan menderita. Sehingga dia berpikir bahwa yang mampu memahaminyalah yang dapat merasakan kegelisahannya, dan itu hanya segelas kopi.
Demikianlah lelaki itu berpikir bahwa sebatang pipetlah yang mejadi perantara pemindahan kegelisahannya ke segelas kopi. Karena meminum kopi tak memerlukan pipet dan dia pun tak dapat bagian pipet seperti orang yang memesan segelas jus. Maka dia meminta pipet pada pelayan.
“Ada pipet, Bang?”
Tanpa perlu bertanya, karena memang tak penting mempertanyakan sebatang pipet untuk apa, maka pelayan itu memberinya sebatang pipet. Lantas benarlah, pipet itu dia celupkan dalam segelas kopi dan bibirnya menggamit ujung pipet. Lalu seolah-olah seperti mentransfer sesuatu, yang tidak lain adalah mentransfer kegelisahan dalam dirinya ke dalam segelas kopi.
Sesungguhnya dia tak percaya bahwa di sebatang pipet itu telah mengalir kegelisahan dari dalam dirinya, bagai air yang mengalir tapi itu bukan air melainkan kegelisahan yang mengalir dan tertuang ke dalam segelas kopi, yang membuat matanya terbelalak tak yakin. Namun dia harus yakin pada kenyataan yang sebenarnya, karena memang benar bahwa kegelisahannya itu terus mengalir ke segelas kopi, tiada henti-hentinya.
Air segelas kopi itu pun berayun-ayun kian ke mari. Namun yang harus dipahami adalah air segelas kopi yang memang tak pernah diminumnya itu, tak akan luber oleh kegelisahan yang telah bersatu dan larut dengan segelas kopi pekat. Karena memang kegelisahan bukanlah benda yang memiliki berat. Kegelisahan adalah hal gaib, seperti sihir, yang tiba-tiba dapat membuat orang menjadi tidak seperti dirinya sendiri.
Kegelisahan dalam dirinya terus berkurang dan sebagian telah tertuang dalam segelas kopi melalui perantara pipet. Sehingga dia merasakan dirinya mulai kehilangan kegelisahan sedikit demi sedikit. Tubuh dan hatinya pun menjadi ringan tanpa beban kegelisahan. Lantas demikian ringan dan lapang hatinya ketika kegelisahan benar-benar telah habis dari dalam dirinya dan telah berpindah semuanya ke segelas kopi itu.
Kini dia begitu ringan tersenyum. Karena seluruh kegelisahannya telah tertuang di segelas kopi. Dia masih melihat orang-orang tertawa itu masih tertawa-tawa, yang barang kali tertawa untuk menyembunyikan kegelisahannya masing-masing. Tapi dia tidak memerdulikan orang-orang itu lagi. Karena kini dia tidak merasakan kegelisahan. Tubuhnya pun benar-benar ringan. Dadanya begitu lapang, seperti tanpa pernah merasakan kegelisahan yang bersemayam selama empat tahun lamanya.
Maka setelah kegelisahannya berpindah ke segelas kopi. Dia pun berjalan menuju kasir dan membayar segelas kopi. Tapi dia tak memberi uang sesuai harga segelas kopi, dia membayar sepuluh kali lebih banyak dari harga segelas kopi. Maka dia pun tersenyum ketika memberikan uangnya itu kepada kasir.
“Tak apa-apa! Aku pun tak meminum kopi itu. Uang ini hanya uang terima kasihku saja!” kata lelaki itu sambil tersenyum memandang kasir. Raut wajah kasir pun penuh keheranan. Namun apa gunanya memperlama keheranan, karena dapat uang lebih dari yang seharusnya?
“Uang ini bisa saja menjadi uang masuk kamu!” kata lelaki itu, penuh kesopanan.
Kemudian lelaki itu berjalan keluar dari kedai kopi dengan penuh rasa ringan dalam hatinya. Sebelum dia melangkah jauh, dia sempat mendengar suara jeritan histeris orang-orang dari kedai kopi, dan ia pun mendengar suara gelas-gelas pecah secara beruntun.
Demikian berat ternyata kegelisahan yang terbenam dalam diri lelaki itu selama ini, sehingga segelas kopi itu tak mampu menahannya, dan mengakibatkan gelas-gelas kopi yang lain turut pecah karena tertulari segelas kopi itu.
Medan, April-Mei 2013