Ini bukan tentang pejuang perempuan yang hidup melawan buta aksara. Ini hanya tentang seorang perempuan, pekerja keras. Itu saja.
Cerita oleh Muram Batu
Kalaupun saya ceritakan kisahnya di sini tak lain karena kemarin sore dia berada tepat di depan pintu rumah saya sambil memaki, “Woi! Bujang! Sudah tak bisa juga kau sisihkan uang dua ribu untukku hari ini!”
Seandainya saya berada di Sumatera Bagian Selatan, tentunya kata ‘bujang’ tadi tidak begitu masalah, tapi kini saya berada di Medan. Langsung saja, ketika mendengar makiannya itu, terbayang dalam otak saya pikiran tetangga. Tentunya, karisma saya sebagai jurnalis ternoda. “Masa’ dua ribu saja nunggak, katanya wartawan andal,” seperti itulah kalimat dalam otak tetangga, bayangan saya.
Kisah ini bermula dari liputan saya beberapa bulan yang lalu. Saat itu, koran tempat saya bekerja, memaksa saya untuk mencari kisah seorang perempuan pekerja keras. Terus terang, saat itu saya ingin sekali menolak. Bagi saya, kisah itu sangat tidak propasar. Ayolah, di zaman sekarang, siapa lagi yang mau membaca kisah semacam itu. Zaman sudah susah, kenapa koran harus menambahi dengan cerita susah juga? Bah! Saat ini pasar butuh mimpi; bukan lagi kisah motivasi yang penuh air mata lalu berubah menjadi tokoh yang bergelimpangan harta. Basi!
Pun, meliput berita semacam itu sangat tidak ekonomis. Coba bayangkan, saya harus memasang telinga dan mata untuk mencari sosok semacam itu. Tentunya, itu butuh biaya. Lalu, saya harus membeli bensin untuk membuat sepeda motor saya berjalan menuju alamat yang dituju (tentunya setelah saya temukan sosoknya). Dan, itu juga butuh biaya. Nah, bandingkan jika saya ditugaskan untuk menulis berita soal visi dan misi tokoh yang akan maju dalam Pilkada. Fiuh, selain wawancaranya di lobi hotel ternama, pulangnya saya juga dapat uang bensin. Nah, kalau tulisan saya bagus, ujung-ujungnya dia pasang iklan dan saya dapat komisi.
Tapi, begitulah, tugas tetaplah tugas. Setelah setengah hari sibuk berkeliling kota sambil terus mencari informasi melalui rekan-rekan melalui telepon genggam (pulsa habis uang tak kembali), saya bertemu dengan perempuan yang akan saya ceritakan ini.
Namanya Kartini Br Regar. Dia tinggal di Pasar 12 di daerah Amplas, tepatnya di Timbangan Deli. Bagi yang pernah ke Medan, bisa bayangkan jarak rumahnya ke rumah saya yang berada di Sei Sikambing. Gambarannya begini, kawasan rumahnya itu hanya beberapa kilometer dari Gerbang Selamat Datang di Kota Medan dari arah Lubukpakam, sementara rumah saya hanya beberapa kilometer dari Gerbang Selamat Datang di Kota Medan dari arah Binjai.
“Ibuku Jawa, bapakku yang Batak,” jawabnya ketika wawancara sudah mulai ke sekian pertanyaan.
“Mungkin karena itulah aku memiliki keuletan dan tekad yang keras,” tambahnya.
Saya senyum saja. “Aku lahir tepat 21 April, bapakku mau aku kaya’ Kartini. Tapi, kami melarat, jadi kekmana aku bisa berkirim surat dengan orang di luar negeri sana kan… “ mulutnya berbunyi lagi.
“Terus, Kak, bagaimana ceritanya sampai berbisnis ini?” saya balas dengan pertanyaan.
Lalu, dia pun bercerita. Katanya, setelah sekian kali gagal menjadi pegawai negeri sipil, dia putus asa. Harapan sempat membuncah ketika ada seorang lelaki yang melamar. Lelakinya seorang pengusaha kecil yang bergerak di pembuatan sepatu dan sandal. Menikahlah mereka. Ketika anak mereka masuk sekolah dasar, perekonomian berubah. Bisnis suaminya dikalahkan barang-barang dari China yang harganya jauh lebih murah. Tanpa menjual peralatan usahanya, sang suami pun beralih menjadi penarik becak motor. Memang, pendapatan suaminya bisa mencapai lima puluh ribu lebih per hari, tapi itu ternyata tak cukup. Belum lagi, pendapatan itu semakin berkurang ketika semakin menjamurnya penarik becak motor karena banyak usaha kecil yang bangkrut dan tidak ada ketegasan pemerintah soal pembatasan becak tersebut. Nah, dari situlah dia mengambil keputusan untuk membantu suami.
Dari hasil penjualan peralatan suami dan pinjaman dari orangtuanya, Kartini Br Regar pun memperoleh modal. Tak banyak memang, namun cukuplah. Dari uang tersebut, dibelinya beberapa unit kompor gas tidak termasuk tabungnya. Lalu, dia pun mulai menawarkan kompor itu kepada tetangga dengan sistem kredit. Pembayarannya dua ribu rupiah per hari selama setahun. Dengan hitungan itu, untuk satu kompor gas seharga empat ratus ribu, modalnya bisa kembali dalam dua ratus hari saja. Dan, dia meraup untung sebesar tiga ratus tiga puluh ribu.
“Siapa yang peduli dengan uang dua ribu? Uang sebesar itu kan untuk anak beli jajan sehari, jadi mereka merasa tak keberatan. Apalagi tak kuminta mereka pakai uang muka apalagi agunan, cukup alamat jelas dan fotokopi KTP saja. Begitu kutawarkan, langsung mau mereka,” jelasnya.
“Terus, Kak, kabarnya sudah menyebar hampir ke seluruh Medan?”
“Gak juga lah, tak sampai ke Belawan,” kekehnya.
“Jadi, tiap hari Kakak kutipi uang dua ribu itu dari semua pelanggan?”
“Iyalah. Harus tiap hari, itu perjanjiannya. Kalau pun dia kasih sepuluh ribu untuk lima hari, pasti kutolak. Perjanjiannya, sehari dua ribu. Jadi, tidak ada alasan menunggak karena dia bayar duluan pun aku tak mau. “
“Sendirian?”
“Awalnya iya, tapi karena semakin banyak yang berminat, sekarang sudah kuajak saudara dari kampung untuk membantu.”
Begitulah, setelah selesai wawancara (tetap saja tak dapat uang bensin) dan menulisnya di kantor, saya pulang. Sampai di rumah, sebagai suami yang baik, saya ceritakan hal itu pada istri. Maksudnya, saya kagum dengan Kartini Br Regar itu. Ya, untung-untung kalau istri bisa termotivasi. Bayangkan saja, dari dua ribu rupiah per hari, Kartini Br Regar, meski tidak begitu mewah kini telah memiliki sebuah mobil dan sebuah rumah.
“Memang sudah berapa tahun dia usaha semacam itu, Bang,” tanya istri saya.
“Sekitar sepuluh tahun.”
“Pantaslah.”
“Kok?”
“Iyalah. Memangnya sudah berapa banyak pelanggannya?”
“Katanya, kalau dihitung sejak awal sudah lebih dari seribu orang.”
“Itu dia, berarti dia sudah untung lebih dari tiga ratus tiga puluh juta kan?”
Dan saya, tersenyum saja. Entahlah, istri saya ini memang sangat konvensional. Bagi dia, sebagai kepala keluarga, lelakilah yang harus bekerja. Perempuan cukup mengurusi urusan domestik. Ya, sudah. Perbincangan kami pun beralih ke bidang lain. Biasalah, membicarakan tetangga yang baru saja membeli kulkas baru.
Beberapa hari berselang, setelah tulisan saya dimuat, masalah mulai datang. Ketika malam, selesai melakukan tugas mulia bersama istri di pembaringan, dia pun mulai merayu. Katanya, kompor minyak milik kami sudah mulai tak beres. Dan, tetangga juga sudah mulai meninggalkan kompor minyak. Singkatnya, dia minta dibelikan kompor gas.
“Belum ada uang kita,” jawab saya saat itu.
Mendengar jawaban saya, dia tidak merengut seperti biasa ketika permintaannya ditolak. Dia keluar kamar dan mengambil koran yang memuat tulisan saya tentang Kartini Br Regar itu.
“Cukup dua ribu per hari, Bang!” ucapnya dengan semangat.
Ya, sudah, selang dua hari Kartini Br Regar datang lengkap dengan kompor gasnya. Fotokopi KTP saya pun berpindah tangan, lengkap dengan uang dua ribu sebagai cicilan pertama. Besoknya dia datang lagi, kehadirannya tepat seperti kemarin. Benar-benar tepat waktu. Sumpah, salut harus saya berikan untuknya. Bagaimana tidak, dengan sepeda motor, dia hadir setiap hari dengan tatapan yang sama; penuh semangat. Terus terang saja, jika saya menjadi dia, tentunya saya tak akan sanggup. Ayolah, mengendarai sepeda motor dari kawasan Amplas ke Sei Sikambing demi dua ribu rupiah! Terbayang dalam otak saya kesumpekan Jalan Sisimangaraja, Jalan Juanda, Jalan Mongonsidi, lalu masuk ke Jalan Iskandar Muda, Jalan Gadjah Mada, Jalan Sei Batanghari, belok ke kanan melintasi Jalan Sunggal, dan berakhir dengan belok kiri memasuki Jalan Garuda tempat kediaman saya. Bayangkan energi, waktu, dan biaya yang dia keluarkan untuk dua ribu rupiah itu.
“Tak hanya kau yang kredit kompor gasku ini, di Jalan Beo dan Kutilang ada juga,” jawabnya ketika saya utarakan kekaguman itu.
Nah, lepas dua ratus hari, cicilan saya mulai tak beres. Bukan karena saya tahu modalnya telah kembali, tapi karena keteledoran istri saya. Kebetulan saat itu saya sedang tugas ke luar kota. Entah karena alpa, istri saya tidak menyetor. Tiba-tiba saya ditelpon Kartini Br Regar. Dia marah-marah. Langsung aja saya minta maaf.
“Kalau bukan wartawan, sudah kuhabisi kau! Sudahlah, cicilan hari ini tak usah bayar, tapi ingat, besok tak ada istilah tak bayar!” ancamnya sambil mematikan telepon.
Malamnya, langsung saja saya marahi istri. Bukan karena takut dengan Kartini Br Regar, tapi saya ingin istri saya disiplin.
“Alah! Cuma dua ribu aja pun!” balas istri saya pula.
Bisa ditebak, setelah itu istri saya malah tak bayar. Untung saya wartawan. Lagi-lagi Kartini Br Regar hanya bisa mengancam. Terhitung sudah puluhan kali kami menunggak cicilan. Praktis, cicilan hanya terbayar hingga hari kedua ratus.
Maka, jangan salahkan Kartini Br Regar ketika kemarin dia menjadi beringas. Ya, sampai kata ‘bujang’ pun keluar dari mulutnya. Tak mau membuat heboh kampung, kemarin saya langsung mengajaknya masuk ke dalam rumah.
“Sekarang gini sajalah, sudah empat puluh lima kali kau menunggak. Mau kau apa sebenarnya?” buka Kartini Br Regar.
Saya tak bisa menjawab.
“Dua ribu pun tak bisa kau sisihkan untukku?”
“Sudahlah, Kak, kuselesaikan sekarang semuanya. Maaflah, kemarin-kemarin memang ada yang tidak benar dengan keuangan kami.”
“Bah, wartawan tak punya dua ribu?”
Entah kenapa, begitu dia bicara seperti itu, emosi saya naik. “Gampang, Kak, kalau soal uang, tapi janganlah bawa-bawa pekerjaanku itu. Kakak juga makin hebat karena tulisanku itu kan?”
“Hati-hati kau bicara, kau pikir tulisan kau itu membuat usahaku makin maju? Kau lihat bukuku ini, sejak kau tulis aku, penambahan pelangganku cuma nama kau saja!” amuknya sambil mencapakkan bukunya di meja.
“Kasihan ya, padahal Kakak semakin terkenal.”
“Terkenal? Kau pikir itu yang kucari? Hu, harusnya aku yang minta uang sama kau karena setelah menulis tentang aku, kau menang lomba tulisan. Ya kan? Tulisan tentang aku yang kau menang kan?”
“Bagus-bagus Kakak cakap ya, aku menang bukan karena Kakak jadi tokoh ditulisanku! Itu karena tulisanku yang bagus!”
“Banyak gaya kau, dua ribu saja tak bisa kau bayar….”
“Sekarang mau Kakak apa? Nih kulunasi sekarang!” balas saya sambil mencampakkan uang tiga ratus tiga puluh ribu. Sumpah, saat itu saya begitu ingin tak mau berhubungan dengannya lagi.
Kartini Br Regar tertawa. “Tidak perlu, aku kemari hanya mau mengutip uang dua ribu.”
“Sudahlah ambil semuanya, biar tak perlu lagi kita jumpa!”
“Kontrak kita setahun!”
“Aku tak mau!”
“Jadi, tak mau kau bayar dua ribu!”
“Kubayar semuanya!”
“Sekali lagi, aku hanya mau mengutip dua ribu, mau kau bayar atau tidak?”
“Kalau mau semuanya ambil, kalau tidak ya sudah! Tak akan kubayar sampai kapanpun!” sengaja saya besarkan suara agar tetangga dengar. Ya, saya tak mau kalau dianggap sebagai orang yang tidak bisa bayar cicilan.
“Ya, sudah. Kalau begitu aku pulang. Tapi harus kau ingat, aku tidak bodoh!” kata Kartini Br Regar.
“Oh, begitu ya. Mau menuntutku? Silakan, Kakak lupa kalau aku wartawan. Masalah pengadilan dan polisi, bukan masalah besar bagiku, Kak.”
Kartini Br Regar tak menjawab. Dia mengambil bukunya dan langsung pulang. Saya menang.
Sayangnya, kasus ini ternyata menjadi berita seksi bagi koran kompetitor. Hari ini saya mendapati itu di halaman mereka. Ya, pengaduan Kartini Br Regar mereka liput. Bahkan, mereka jadikan berita utama.
‘Gara-gara tak Bayar Cicilan Rp2000 Oknum Wartawan Dituntut’ begitu judul besar mereka di halaman satu. Lalu, lead beritanya berbunyi: Kartini Br Regar (45), Selasa (29/3) melaporkan RB, seorang wartawan dari sebuah koran ternama di Medan karena menunggak cicilan kredit sebesar Rp2000. Kartini mengaku melaporkan hal itu karena sebagai wartawan seharusnya RB tak menjual profesinya untuk mendapat kemudahan.
Begitulah, saya ceritakan soal perempuan bernama Kartini Br Regar ini pada Anda. Dan, berharap ada yang simpati dengan apa yang saya hadapi kini.
Medan Maret 2011