25 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Gaung Suara Mumi Es

Cerpen: Tova Zen

Aku terus memacu langkah kakiku, meski kadang-kadang terasa berat saat kedua kakiku terbenam dalam tanah berlapis salju hingga setinggi tumit. Aku harus hati-hati, karena daerah ini cukup rawan dan sering terjadi runtuhan tebing es, jika aku salah menentukan pijakan pasti aku ikut terkubur bersama ribuan kubik es. Aku terus menanjak naik mengitari Ray mountain di Perque National Los Glacier yang digaung-gaungkan sebagai kawasan World Heritage Site oleh UNESCO.
“Sebentar lagi aku tiba sayangku, tunggu aku di sana”. Ah, entah sejak kapan aku sering mengalami halusinasi yang mengacak-acak pola pikir logisku. Malam ini pun aku kasmaran entah pada siapa aku merasa jatuh cinta. Aneh, bahkan aku menganggap diriku sendiri telah gila. Tidak! Aku masih waras, aku masih manusia normal yang menghuni hamparan bumi ini. Hanya saja suara syahdu yang berdengung-dengung selalu membisikkan ajakannya padaku untuk datang menemuinya. Malam ini aku melangkah mengikuti ajakan suara yang selalu merayuku, mengiba agar aku datang, dan meronta-ronta agar aku sudi menolongnya.

“Gozuarez, cepatlah sayangku. Aku takut di sini. Rasanya tubuhku kaku dan teramat dingin sekali. Bahkan tetes-tetes air mataku bergelimangan menjadi butiran es, leleran air mataku membeku menjadi bongkahan es dan aku benar-benar di tusuk hawa dingin. Kumohon datang lah, peluk lah tubuhku dalam hangat tubuhmu. Supaya aku bisa kembali hidup dalam kehangatan cintamu. Bergegas lah sayang, sebelum sinar rembulan itu redup dan aku kembali mati dalam kubur es”. Suara itu kembali meniup-niup bisikannya untuk menelusuk masuk dalam gendang telingaku, lalu meraba perasaanku oleh kesedihannya dan akhirnya aku   dibuatnya luluh dalam rasa iba. Aku akan bergegas menolongnya sebelum fajar datang menghantam. Suara itu mengatakan jika rembulan tak bersinar lagi, berarti ia akan terkubur mati dalam es. Aku akan merasa sangat bersalah seandainya aku tak bergegas datang menemuinya. Hanya dalam temaram sinar rembulan yang menyorot hamparan es Pantagonia, suara itu     sayup-sayup hidup dan terus mengusik kepekaan perasaanku.

“Tunggu aku sayang, aku akan segera tiba untuk menemuimu. Aku tak akan membiarkan sinar fajar datang sebelum aku menjumpaimu dan membebaskanmu. Aku rindu sekali untuk berjumpa denganmu. Kau tahu, aku pun menangis mendengar jerit siksa dukamu. Tenanglah sayang, aku tak lama lagi akan tiba di hadapanmu. Bersabarlah, aku pasti datang dalam temaram sinar rembulan Pantagonia untuk kembali menyatukan cinta kita”. Jawabku dalam getaran lirih pita suaraku untuk membalas jeritan pilu suaranya yang semakin jelas terdengar di benakku.

“Di sini! Kau telah menemukannya. Aku mendengarkan gerak langkah kakimu. Cepatlah sayang, sebelum awan hitam itu kembali muncul dan menutupi pancaran sinar rembulan. Tanpa energi gaib sinar rembulan aku pasti kembali mati”.
“Di mana? Di manakah kau berada”. Teriakku pada sekeliling. Aku tak melihat   apa pun yang bergerak, hanya hamparan tebing es  yang menatap pongah ke arahku.

“Langkahkan kakimu di pinggiran danau. Tepat di pinggiran danau kau akan merasakan kehangatan sinar rembulan yang berbeda, karena aku menyerap energi gaibnya. Kumohon, bebaskan aku dari kubur bumi. Aku takut di sini, sendiri di peluk sepi.” Aku bergegas menghampiri danau kecil yang terpantul bayangan bulan. Aneh, di sekitar sini terasa begitu hangat, padahal di sekelilingku adalah hamparan gunung es.
Lagi-lagi aku di usik perasaan yang aneh. Entah mengapa aku bisa jatuh cinta pada suara yang memperdengarkan dentingan merdu suaranya di telingaku. Aku seperti pria yang terbuai rindu dan mencoba untuk memecah kerinduanku, dengan menuruti ajakan suara yang terus merasuk dalam kalbuku. Suara itu, aku seperti telah mengenal suara itu. “Gozuarez! Mendekat lah ke tebing tak jauh dari danau itu. Saat kau mencium wangi katsuri maka cari lah sumbernya, maka kau akan menemukan jasadku. Kecuplah keningku, agar aku tersadar dari tidur panjangku”.

Aku segera mengayun langkah untuk menuruti ajakan suara yang terus memberikan petunjuk keberadaannya. Suasana malam di Patagonia sangat hening, hanya suara wanita yang lembut terdengar merayu-rayu gendang telingaku. Suara yang sungguh manis, bahkan aku belum pernah mendengar suara selembut ini sebelumnya.

Hidungku mengendus-endus wewangian yang harum semerbak. Aku berjalan mengikuti wangi itu yang kian lama kian menusuk rongga hidungku. Bahkan aku menutup mata saat menghayati betapa nikmatnya wewangian yang tercuim hidungku. Wangi yang menggoda hingga tulang-tulang dalam tubuhku nyaris lunglai di rundung harum. Semakin dekat                    ke sumbernya, wangi itu semakin kuat. Aku menatap tebing batu gunung Patagonia yang masih dilapisi es glatser. Aku yakin di tebing ini lah sumber wangi itu berasal. Aku masih menatapnya dengan heran. Apakah aku berjalan dalam mimpi hingga aku nekat menghadap tebing yang cukup curam? Kutatap tebing itu. Aku mendongak ke atas, untuk menyakinkan seberapa tinggi tebing gunung es ini. Cukup tinggi dan aku berdiri di lembahnya.

“Mendekat lah! Aku di depanmu, aku tertempel di dinding tebing, aku membatu dalam beku es dinding-dinding tebing. Mendekat lah! Rabalah tubuhku yang sudah rusak dan menyatu menjadi mumi. Kumohon jangan takut. Hanya kau yang bisa membangunkanku. Hanya kau yang mampu mendengar bisikanku. Kau lah pangeran impianku yang mampu membangkitkanku kembali. Gozuarez! Kecuplah keningku”.
Dengan cahaya senter aku menyoroti tebing yang tertutupi lapisan es tebal. Aku terus meraba-raba  dinding tebing untuk mencari jasadnya. Jemariku merasakan rasa hangat pada es yang seharusnya dingin. Di titik tebing ini lah sumber keharuman itu melekat. Aku dibuai rasa penasaran yang amat sangat. Kerinduan dalam diriku semakin pekat. Sementara sisi logis dalam pikiranku meremang ngeri melihat tindakanku. Dua sisi pikiran yang saling tarik merarik. Sisi pikiran normalku menyuruhku untuk segera mengambil seribu langkah agar kabur. Sementara sisi pikiranku yang telah teracuni suara itu mengajak agar aku segera melakukan pembongkaran lapisan es yang menutupi tebing, kerena di sana lah jasad itu terbenam.

“Gozuares! Adapa apa? Kenapa kau bimbang untuk segera membangunkanku. Aku bukan iblis jahat yang akan menyesatkanmu. Aku bukan peri yang ingin menggodamu. Aku hanya lah wanita yang merindu akan datangnya sosok pangeran yang bisa membangunkanku dari tidur panjangku. Aku terkubur kaku di tebing ini lebih dari empat abad dan dalam waktu yang sekian lama itu, aku menantikan sosok pria yang ditakdirkan bisa mendengarkan keluhanku dan akhirnya bisa membangunkanku. Kau lah orangnya, Gozuares! Kau lah pria yang terpilih untuk membebaskanku. Kumohon padamu untuk membangunkanku. Aku telah lama menangis sepi. Dan hanya temaram rembulan ini lah aku bisa menyuarakan keluhanku padamu. Jangan sampai kau terlambat, Gozuarez. Aku lelah menunggu di sini”.

Aku sempat gemetar. Akan tetapi suara lembutnya membuat hatiku luluh dan         dirangkul perasaan iba. Akhirnya dengan perlengkapan pahat yang sengaja ku bawa, aku mengeruk es yang menempel tebal di dinding tebing.
Peluh mulai mengaliri tubuhku yang kuyup dibanjiri keringat. Nafasku tersengal saat tenagaku terkuras habis-habisan untuk menggerus es di dinding tebing. Sampai pada suatu titik, mata pahat pisauku menggerus kayu lapuk. “Krok..krok!” bunyi khas papan kayu yang tergerus mata pisau. Aku bersihkan semua es yang menempel di permukaan kayu. Aku melihat dengan takjub hasil kerjaku. Di dinding tebing aku melihat peti kayu yang tertempel di batu tebing. Aku bergeming menatap peti kayu itu. Bimbang kembali merengkuh pikiranku.

“Buka lah peti ini, Gozuarez! Lantas kecuplah keningku! Ayolah sayang, jangan kau berlama-lama memandingi petiku”.

Aku kembali melangkah untuk membuka peti kayu. “Kraak!!”, bunyi lapuk kayu yang ku bongkar paksa begitu membahana, menggaung dan meloncat-loncat dalam pantulan gema di lembah Patagonia. Mataku mendelik ngeri melihat jasad yang terpampang di dalam peti. Ya, seongok mumi wanita yang mengenakan baju bangsawan ala Spanyol. Tubuhku merinding dalam kengerian. Mumi yang masih utuh dalam timbunan dingin es pegunungan Patagonia.
“Kecuplah keningku! Ayo jangan ragu, Gozuarez”. Pikiran normalku membayangkan kengerian, tapi pikiranku yang lain merindunya. Aku adalah pangeran yang datang untuk mengecup mumi. Tidak sama dengan dongeng putri salju, di mana pangeran mengecup putri cantik yang tertidur panjang. Di sini aku di hadapkan oleh raga busuk yang telah mengering, dan suara itu menyuruhku untuk segera mengecupnya. Aku mendengar suara itu mengiba, bahkan menangis pilu. Lagi-lagi aku direnggut perasaan haru.

Aku sering melihat mumi, bahkan aku pernah meneliti mumi Firaun yang berbau balsem itu. Mumi yang ada di depanku menyeruakkan harum katsuri. Ya, aku harus mengecupnya agar aku bisa membebaskanya dari belenggku tidurnya. Aku melangkah mendekat, mataku sayu menatap mumi yang tertongol daging kering serta tulang-tulang terngkorak. Lebih dekat aku bisa melihat warna rambut panjangnya berbias dalam temaram merah madu. Aku memompa keberanianku untuk mengecupnya. Saat bibir ini dekat dengan keningnya, rasanya kerinduan yang entah datang dari mana langsung menyerangku. Aku terbuai dalam kasih, dan rasaya aku mulai bercinta dalam gelora. Satu kecupan kasih kudaratkan di keningnya: cups!.

Mumi itu tiba-tiba tersenyum. Aku langsung meloncat ke belakang untuk menjauhinya. Jangan-jangan aku telah membangkitkan monster. Tidak! Mumi itu bergerak, tulang-tulangnya yang kering mulai menggerak-gerakkan otot garingnya. Mulutnya mengeluarkan uap dingin, nafasnya terengah dengan gerakan-gerakan dada turun naik saat mumi itu menarik pelan nafasnya. Matanya tiba-tiba melirikku yang terjungkal di hamparan salju karena takut. Matanya yang mengerikan menebarkan kasih sayang padaku, bibirnya tersenyum mesra padaku. Kembali aku dibuai perasaan rindu oleh rayuan mumi ini. Kini mumi itu berjalan mendekatiku, pelan dan konstan. Tubuhnya tiba-tiba berubah saat bias sinar rembulan menyinarinya, seketika daging-daging kering itu bergenerasi secara cepat dan menjadi muda kembali. Aku melihat perubahan itu. Di permandian sinar rembulan tubuhnya berubah sangat cantik, mengalahkan kelembutan sutra dan kehalusan porselen dari negeri Cina.

Aku benar-benar terpana melihat perubahan dari mumi ke bidadari paling indah. Matanya sangat lembut, senyumnya merekah indah, wajahnya bersinar mesra. Jemari lentiknya diacungkan untuk menyambut tanganku. “Terima kasih, Gozuarez. Kau telah membebaskanku. Sekarang aku adalah milikmu dan selamanya akan bersamamu”.

Air mataku tiba-tiba berlinang haru mendengar ungkapan manisnya. Akankah ia sudi menerimaku sebagai kekasihnya?. Aku adalah pria penyendiri yang tak cukup tampan untuk menandingi kesempurnaan jasad bidadarinya. Tiba-tiba dia mengecup pipi kiriku, merangkul pinggangku dan berbisik lirih di telingaku. “Ayo kita pulang sayangku, jangan berdiam diri di dinginnnya suhu gunung es Patagonia”. Aku menuruti ajakannya. Kami berjalan di hamparan es Ray Mountain yang putih bersih dalam siraman sinar rembulan. Enatahlah, aku merasakan mumi cantik gunung es ini milikku, kekasihku, dan belahan dari kepingan rindu dalam diriku. Aku memang mencintainya. Dunia ini memang penuh dengan fiksi gaib, yang memiliki keindahan dalam membangun hasrat cinta, begitu juga cinta yang ku bangun pada mumi cantik gunung es ini. Aku benar-benar hidup dalam dunia gaib yang orang-orang tak pikir aku berada dalam komunitas mereka bersama mumi hidup. Aku telah lama mati. (*)

Cerpen: Tova Zen

Aku terus memacu langkah kakiku, meski kadang-kadang terasa berat saat kedua kakiku terbenam dalam tanah berlapis salju hingga setinggi tumit. Aku harus hati-hati, karena daerah ini cukup rawan dan sering terjadi runtuhan tebing es, jika aku salah menentukan pijakan pasti aku ikut terkubur bersama ribuan kubik es. Aku terus menanjak naik mengitari Ray mountain di Perque National Los Glacier yang digaung-gaungkan sebagai kawasan World Heritage Site oleh UNESCO.
“Sebentar lagi aku tiba sayangku, tunggu aku di sana”. Ah, entah sejak kapan aku sering mengalami halusinasi yang mengacak-acak pola pikir logisku. Malam ini pun aku kasmaran entah pada siapa aku merasa jatuh cinta. Aneh, bahkan aku menganggap diriku sendiri telah gila. Tidak! Aku masih waras, aku masih manusia normal yang menghuni hamparan bumi ini. Hanya saja suara syahdu yang berdengung-dengung selalu membisikkan ajakannya padaku untuk datang menemuinya. Malam ini aku melangkah mengikuti ajakan suara yang selalu merayuku, mengiba agar aku datang, dan meronta-ronta agar aku sudi menolongnya.

“Gozuarez, cepatlah sayangku. Aku takut di sini. Rasanya tubuhku kaku dan teramat dingin sekali. Bahkan tetes-tetes air mataku bergelimangan menjadi butiran es, leleran air mataku membeku menjadi bongkahan es dan aku benar-benar di tusuk hawa dingin. Kumohon datang lah, peluk lah tubuhku dalam hangat tubuhmu. Supaya aku bisa kembali hidup dalam kehangatan cintamu. Bergegas lah sayang, sebelum sinar rembulan itu redup dan aku kembali mati dalam kubur es”. Suara itu kembali meniup-niup bisikannya untuk menelusuk masuk dalam gendang telingaku, lalu meraba perasaanku oleh kesedihannya dan akhirnya aku   dibuatnya luluh dalam rasa iba. Aku akan bergegas menolongnya sebelum fajar datang menghantam. Suara itu mengatakan jika rembulan tak bersinar lagi, berarti ia akan terkubur mati dalam es. Aku akan merasa sangat bersalah seandainya aku tak bergegas datang menemuinya. Hanya dalam temaram sinar rembulan yang menyorot hamparan es Pantagonia, suara itu     sayup-sayup hidup dan terus mengusik kepekaan perasaanku.

“Tunggu aku sayang, aku akan segera tiba untuk menemuimu. Aku tak akan membiarkan sinar fajar datang sebelum aku menjumpaimu dan membebaskanmu. Aku rindu sekali untuk berjumpa denganmu. Kau tahu, aku pun menangis mendengar jerit siksa dukamu. Tenanglah sayang, aku tak lama lagi akan tiba di hadapanmu. Bersabarlah, aku pasti datang dalam temaram sinar rembulan Pantagonia untuk kembali menyatukan cinta kita”. Jawabku dalam getaran lirih pita suaraku untuk membalas jeritan pilu suaranya yang semakin jelas terdengar di benakku.

“Di sini! Kau telah menemukannya. Aku mendengarkan gerak langkah kakimu. Cepatlah sayang, sebelum awan hitam itu kembali muncul dan menutupi pancaran sinar rembulan. Tanpa energi gaib sinar rembulan aku pasti kembali mati”.
“Di mana? Di manakah kau berada”. Teriakku pada sekeliling. Aku tak melihat   apa pun yang bergerak, hanya hamparan tebing es  yang menatap pongah ke arahku.

“Langkahkan kakimu di pinggiran danau. Tepat di pinggiran danau kau akan merasakan kehangatan sinar rembulan yang berbeda, karena aku menyerap energi gaibnya. Kumohon, bebaskan aku dari kubur bumi. Aku takut di sini, sendiri di peluk sepi.” Aku bergegas menghampiri danau kecil yang terpantul bayangan bulan. Aneh, di sekitar sini terasa begitu hangat, padahal di sekelilingku adalah hamparan gunung es.
Lagi-lagi aku di usik perasaan yang aneh. Entah mengapa aku bisa jatuh cinta pada suara yang memperdengarkan dentingan merdu suaranya di telingaku. Aku seperti pria yang terbuai rindu dan mencoba untuk memecah kerinduanku, dengan menuruti ajakan suara yang terus merasuk dalam kalbuku. Suara itu, aku seperti telah mengenal suara itu. “Gozuarez! Mendekat lah ke tebing tak jauh dari danau itu. Saat kau mencium wangi katsuri maka cari lah sumbernya, maka kau akan menemukan jasadku. Kecuplah keningku, agar aku tersadar dari tidur panjangku”.

Aku segera mengayun langkah untuk menuruti ajakan suara yang terus memberikan petunjuk keberadaannya. Suasana malam di Patagonia sangat hening, hanya suara wanita yang lembut terdengar merayu-rayu gendang telingaku. Suara yang sungguh manis, bahkan aku belum pernah mendengar suara selembut ini sebelumnya.

Hidungku mengendus-endus wewangian yang harum semerbak. Aku berjalan mengikuti wangi itu yang kian lama kian menusuk rongga hidungku. Bahkan aku menutup mata saat menghayati betapa nikmatnya wewangian yang tercuim hidungku. Wangi yang menggoda hingga tulang-tulang dalam tubuhku nyaris lunglai di rundung harum. Semakin dekat                    ke sumbernya, wangi itu semakin kuat. Aku menatap tebing batu gunung Patagonia yang masih dilapisi es glatser. Aku yakin di tebing ini lah sumber wangi itu berasal. Aku masih menatapnya dengan heran. Apakah aku berjalan dalam mimpi hingga aku nekat menghadap tebing yang cukup curam? Kutatap tebing itu. Aku mendongak ke atas, untuk menyakinkan seberapa tinggi tebing gunung es ini. Cukup tinggi dan aku berdiri di lembahnya.

“Mendekat lah! Aku di depanmu, aku tertempel di dinding tebing, aku membatu dalam beku es dinding-dinding tebing. Mendekat lah! Rabalah tubuhku yang sudah rusak dan menyatu menjadi mumi. Kumohon jangan takut. Hanya kau yang bisa membangunkanku. Hanya kau yang mampu mendengar bisikanku. Kau lah pangeran impianku yang mampu membangkitkanku kembali. Gozuarez! Kecuplah keningku”.
Dengan cahaya senter aku menyoroti tebing yang tertutupi lapisan es tebal. Aku terus meraba-raba  dinding tebing untuk mencari jasadnya. Jemariku merasakan rasa hangat pada es yang seharusnya dingin. Di titik tebing ini lah sumber keharuman itu melekat. Aku dibuai rasa penasaran yang amat sangat. Kerinduan dalam diriku semakin pekat. Sementara sisi logis dalam pikiranku meremang ngeri melihat tindakanku. Dua sisi pikiran yang saling tarik merarik. Sisi pikiran normalku menyuruhku untuk segera mengambil seribu langkah agar kabur. Sementara sisi pikiranku yang telah teracuni suara itu mengajak agar aku segera melakukan pembongkaran lapisan es yang menutupi tebing, kerena di sana lah jasad itu terbenam.

“Gozuares! Adapa apa? Kenapa kau bimbang untuk segera membangunkanku. Aku bukan iblis jahat yang akan menyesatkanmu. Aku bukan peri yang ingin menggodamu. Aku hanya lah wanita yang merindu akan datangnya sosok pangeran yang bisa membangunkanku dari tidur panjangku. Aku terkubur kaku di tebing ini lebih dari empat abad dan dalam waktu yang sekian lama itu, aku menantikan sosok pria yang ditakdirkan bisa mendengarkan keluhanku dan akhirnya bisa membangunkanku. Kau lah orangnya, Gozuares! Kau lah pria yang terpilih untuk membebaskanku. Kumohon padamu untuk membangunkanku. Aku telah lama menangis sepi. Dan hanya temaram rembulan ini lah aku bisa menyuarakan keluhanku padamu. Jangan sampai kau terlambat, Gozuarez. Aku lelah menunggu di sini”.

Aku sempat gemetar. Akan tetapi suara lembutnya membuat hatiku luluh dan         dirangkul perasaan iba. Akhirnya dengan perlengkapan pahat yang sengaja ku bawa, aku mengeruk es yang menempel tebal di dinding tebing.
Peluh mulai mengaliri tubuhku yang kuyup dibanjiri keringat. Nafasku tersengal saat tenagaku terkuras habis-habisan untuk menggerus es di dinding tebing. Sampai pada suatu titik, mata pahat pisauku menggerus kayu lapuk. “Krok..krok!” bunyi khas papan kayu yang tergerus mata pisau. Aku bersihkan semua es yang menempel di permukaan kayu. Aku melihat dengan takjub hasil kerjaku. Di dinding tebing aku melihat peti kayu yang tertempel di batu tebing. Aku bergeming menatap peti kayu itu. Bimbang kembali merengkuh pikiranku.

“Buka lah peti ini, Gozuarez! Lantas kecuplah keningku! Ayolah sayang, jangan kau berlama-lama memandingi petiku”.

Aku kembali melangkah untuk membuka peti kayu. “Kraak!!”, bunyi lapuk kayu yang ku bongkar paksa begitu membahana, menggaung dan meloncat-loncat dalam pantulan gema di lembah Patagonia. Mataku mendelik ngeri melihat jasad yang terpampang di dalam peti. Ya, seongok mumi wanita yang mengenakan baju bangsawan ala Spanyol. Tubuhku merinding dalam kengerian. Mumi yang masih utuh dalam timbunan dingin es pegunungan Patagonia.
“Kecuplah keningku! Ayo jangan ragu, Gozuarez”. Pikiran normalku membayangkan kengerian, tapi pikiranku yang lain merindunya. Aku adalah pangeran yang datang untuk mengecup mumi. Tidak sama dengan dongeng putri salju, di mana pangeran mengecup putri cantik yang tertidur panjang. Di sini aku di hadapkan oleh raga busuk yang telah mengering, dan suara itu menyuruhku untuk segera mengecupnya. Aku mendengar suara itu mengiba, bahkan menangis pilu. Lagi-lagi aku direnggut perasaan haru.

Aku sering melihat mumi, bahkan aku pernah meneliti mumi Firaun yang berbau balsem itu. Mumi yang ada di depanku menyeruakkan harum katsuri. Ya, aku harus mengecupnya agar aku bisa membebaskanya dari belenggku tidurnya. Aku melangkah mendekat, mataku sayu menatap mumi yang tertongol daging kering serta tulang-tulang terngkorak. Lebih dekat aku bisa melihat warna rambut panjangnya berbias dalam temaram merah madu. Aku memompa keberanianku untuk mengecupnya. Saat bibir ini dekat dengan keningnya, rasanya kerinduan yang entah datang dari mana langsung menyerangku. Aku terbuai dalam kasih, dan rasaya aku mulai bercinta dalam gelora. Satu kecupan kasih kudaratkan di keningnya: cups!.

Mumi itu tiba-tiba tersenyum. Aku langsung meloncat ke belakang untuk menjauhinya. Jangan-jangan aku telah membangkitkan monster. Tidak! Mumi itu bergerak, tulang-tulangnya yang kering mulai menggerak-gerakkan otot garingnya. Mulutnya mengeluarkan uap dingin, nafasnya terengah dengan gerakan-gerakan dada turun naik saat mumi itu menarik pelan nafasnya. Matanya tiba-tiba melirikku yang terjungkal di hamparan salju karena takut. Matanya yang mengerikan menebarkan kasih sayang padaku, bibirnya tersenyum mesra padaku. Kembali aku dibuai perasaan rindu oleh rayuan mumi ini. Kini mumi itu berjalan mendekatiku, pelan dan konstan. Tubuhnya tiba-tiba berubah saat bias sinar rembulan menyinarinya, seketika daging-daging kering itu bergenerasi secara cepat dan menjadi muda kembali. Aku melihat perubahan itu. Di permandian sinar rembulan tubuhnya berubah sangat cantik, mengalahkan kelembutan sutra dan kehalusan porselen dari negeri Cina.

Aku benar-benar terpana melihat perubahan dari mumi ke bidadari paling indah. Matanya sangat lembut, senyumnya merekah indah, wajahnya bersinar mesra. Jemari lentiknya diacungkan untuk menyambut tanganku. “Terima kasih, Gozuarez. Kau telah membebaskanku. Sekarang aku adalah milikmu dan selamanya akan bersamamu”.

Air mataku tiba-tiba berlinang haru mendengar ungkapan manisnya. Akankah ia sudi menerimaku sebagai kekasihnya?. Aku adalah pria penyendiri yang tak cukup tampan untuk menandingi kesempurnaan jasad bidadarinya. Tiba-tiba dia mengecup pipi kiriku, merangkul pinggangku dan berbisik lirih di telingaku. “Ayo kita pulang sayangku, jangan berdiam diri di dinginnnya suhu gunung es Patagonia”. Aku menuruti ajakannya. Kami berjalan di hamparan es Ray Mountain yang putih bersih dalam siraman sinar rembulan. Enatahlah, aku merasakan mumi cantik gunung es ini milikku, kekasihku, dan belahan dari kepingan rindu dalam diriku. Aku memang mencintainya. Dunia ini memang penuh dengan fiksi gaib, yang memiliki keindahan dalam membangun hasrat cinta, begitu juga cinta yang ku bangun pada mumi cantik gunung es ini. Aku benar-benar hidup dalam dunia gaib yang orang-orang tak pikir aku berada dalam komunitas mereka bersama mumi hidup. Aku telah lama mati. (*)

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/