Cerpen: Riki Utomi
Saya selalu bergidik ketika berada di dekatnya. Untuk itu saya selalu berusaha menghidarinya. Dimanapun, saya lebih cenderung untuk mawas diri. Sebuah hal yang mungkin tidak dirasakan orang lain, tetapi entah mengapa saya begitu merasakan. Ada suatu getaran hati yang membuat dada berguncang hebat. Terus menerus jantung berdebar sehingga kepala —tak jarang— ikut menjadi pening. Ah, ini tentu saja sebuah hal yang runyam apabila saya hadapi. Untuk itu, saya berusaha sekuat mungkin
untuk tidak berada didekatnya.
api, tahukah kau? Dia padahal sahabat saya yang sangat saya senangi. Sudah begitu lama saya menjadi bagian dari dirinya. Saya selalu meniru apa saja yang diperbuatnya. Baik kelakuannya, seperti kemarin dia memeragakan seperti apa sebaiknya bertindak saat kita sedang terjebak. Juga suatu kali dia menunjukkan pada saya sebuah baret merah pamannya yang menjadi anggota satuan Kopassus. Saya hanya ingin menirunya. Meniru semua dari apa yang diperagakannya kepada saya.
Tapi untuk kali ini, entah mengapa, saya tidak merasa bagian dari dirinya. Ada hal-hal lain yang menyentak batin saya. Membuat saya tidak tenang. Pikiran saya menjadi semrawut. Barangkali hal itu terjadi ketika saya pernah mendengarnya berkata bahwa di dalam matanya tersimpan sebuah pisau. Saya tidak tahu persis pisau jenis apakah itu. Pisau cukurkah, pisau masakkah, pisau lipatkah, bayonetkah, saya tidak tahu persis. Yang pasti dari perkataannya itu membuat saya lama-lama berusaha untuk menghidarinya.
Seperti yang saya duga, dia dapat membaca gerak-gerik saya. Dia juga hampir menuding saya dengan mengatakan bahwa saya telah membenci dirinya. Hal itu cepat-cepat saya tepis. Saya berkata dengan nada harap bahwa saya tidak bermaksud begitu. Dia menunjukkan sikap awas dan mulai tampak curiga sekali. Saya berusaha untuk tetap tenang, meskipun saya tak yakin betul untuk bisa tenang.
“Kau mulai dingin akhir-akhir ini…” dia bertanya datar.
“Saya tidak apa-apa,” jawab saya sambil berusaha tenang.
“Ada sesuatu hal kah?”
“Maksudmu?”
“Mungkin ada masalah?”
“Tidak…”
Dia mengangguk tak puas. Saya perhatikan wajahnya yang keruh. Tiba-tiba saya merasa bersalah. Mengapa saya menunjukkan sikap tidak bersahabat akhir-akhir ini kepadanya. Tentu —setidaknya— hatinya merasakan tidak enak pada saya.
Tapi ada sesuatu hal yang membuat relung hati saya tetap berkata lain. Seperti sesuatu yang bersifat kokoh untuk tidak dapat digubriskan. Hati saya, mungkin juga saya merasakan begitu, tidak pernah bohong. Entahlah. Saya hanya berusaha untuk dapat yakin dengan hati sendiri. Pisau itu…
***
Ya. Pisau. Hanya sebuah pisau yang menjadi beban dari dalam benak saya. Saya juga tidak mengerti mengapa benda kecil tajam itu begitu menghanyut pikiran saya. Benda itu seperti meneror saya. Bahkan saat tidur sekalipun, dia seolah selalu membuntuti diri saya.
Seperti sebuah kamera intai yang terselip tanpa kita ketahui. Diam-diam menguntit kita dan membidik dengan tepat ke jantung. Saya akan terbayang dengan pikiran dahsyat bahwa semua itu —tanpa saya katakan seolah-olah sekalipun— akan tiba menyerang saya. Pisau itu, yang pernah dikatakannya kemarin, menjadi sesuatu yang tertinggal lekat di kepala saya.
Di rumah, di sekolah, di rumah makan, di kedai, di pasar, dan di manapun saya berada tiba-tiba saya merasa aneh, saya akan ketakutan memandang pisau meski hanya pisau lipat yang kecil sekalipun. Seolah pisau itu segera menyerang saya dengan melukai nadi dan urat…
Saya memejam mata. Halusinasi itu begitu kuat. Membuat jiwa saya tidak stabil dan goyang. Lama-lama saya akan merasa mual dan saya tidak ingin untuk memuntahkan isi perut karena saya bukan sedang dalam perjalanan di laut. Saya akan berusaha. Dan hari ini, di mana saya tak dapat mengelak bertemu dengannya karena saya dan dia adalah satu profesi sebagai guru di sebuah sekolah.
Saya lihat sepintas dia berjalan di koridor ruang Tata Usaha. Barangkali dia selesai mengajar dan ada sedikit urusan hingga berbelok ke ruang itu. Biasanya dia pasti langsung masuk majelis. Seorang guru perempuan masuk sambil membawa apel dan pisau di tangan.
Saya melihat, dan dalam sekejap saya langsung menutup mata. Dan saya tiba-tiba dikejutkan olehnya, mungkin sebelumnya tanpa saya tahu dia telah juga memandang saya dengan heran.
“Mengapa Bapak kelihatan takut?” tanyanya dengan raut heran setengah mati.
Saya hanya menunduk dan menggeleng.
“Bapak sakit?”
Saya tetap menggeleng tanpa bersuara. Guru perempuan itu menghela nafas. Dia seperti putus asa melihat saya. Saya biarkan dia berlalu. Tapi dia kembali lagi dengan membawa sebuah apel dan menaruhnya ke meja saya. Oh, tak lupa dia meletakkan sebuah pisau di meja saya juga. Mungkin dia menawarkan pisau yang dipegangnya itu untuk saya segera mengupasnya. Lalu dia kembali menghilang.
Sepi. Kipas angin berputar lamban. Dalam majelis hanya saya seorang. Waktu untuk mengajar di kelas masih lama lagi. Saya manarik nafas sambil mencoba mengendurkan pikiran saya. Tapi celaka. Setiap saya melihat pisau itu, pikiran saya mendadak kacau dan pusing kembali menyerang. Sekelebat pikiran saya amburadul dan menyebar tak tentu arah. Saya pijit kuat-kuat kening dengan berusaha memoleskan minyak angin.
Pisau… pisau itu… sebuah pisau yang dapat sesegera mungkin akan membawa hasrat saya untuk menusuk sebuah ketidakadilan yang semena-mena. Pisau yang dapat menusuk ketidakadilan pada suatu hal yang rancu dan tak dapat diterima oleh sebuah keadilan yang semestinya.
“Bapak sakit?” tanya kawan saya itu. Saya terkejut hebat. Ternyata dia telah selesai dari ruang Tata Usaha.
“Ah… tidak….” jawab saya gelagapan. Saya memandangnya dengan senyum. Tapi saya merasakan sebuah senyum yang sangat terpaksa.
“Wajah Bapak terlihat pucat. Sebaiknya istirahat di ruang UKS, perlu saya antarkan?” tanyanya menawarkan diri.
Saya menggeleng sambil memandang pisau itu.
***
Saya ingin mengambil pisau itu. Pisau yang ada tersimpan dalam matanya… jerit hati saya. Saya tidak mengerti dengan perasaan ini. Mungkinkah perasaan ini muncul karena sebuah ketidakadilan? Ah… ketidakadilan. Kau tahu? Dia seorang CPNS. Seharusnya dia memenuhi tugas dengan sebaik-baiknya. Sedang saya, hanya seorang honorer biasa yang mendapatkan gaji tidak seberapa. Sikapnya selalu mencerminkan ketidakseriusan dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik. Dia lebih tepat saya katakan sebagai pembohong dalam bekerja. Dia telah membawa sesuatu yang tak lazim —sebenarnya— pada dirinya.
Selalu mengabaikan jam mengajar dan selalu berbohong dalam memberi alasan untuk datang ke sekolah. Padahal dia memiliki jam tugas yang padat. Ah, sebuah ketidakadilan untuk ukuran sebuah status kerja yang saya rasakan. Dan pisau itu… yang pernah ia katakan tersimpan dalam matanya, semakin ingin saya mengambilnya. Ingin saya meraihnya.
Malam hening. Sunyi tanpa rembulan. Kota kecamatan ini lebih layak disebut kampung meski saya tak mengerti mengapa orang-orang di sini menyebutnya kota. Sebuah ironis yang dibanggakan sendiri.
Saya tak dapat memejamkan mata. Sejenak saya ucap-ucap istighfar tapi rasa kemelut di hati tak pernah mau pergi. Barangkali setan kini telah banyak bersarang di hati dan kepala saya. Dan… saya kembali teringat pisau. Pisau dalam matanya itu. Hati saya begitu berontak, seperti saling menerjang jantung saya. Pisau dalam matanya itu… ya pisau itu…***
Telukbelitung, 15 Juli 2011
Riki Utomi, kelahiran Pekanbaru 1984. Tamat dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UIR. Pernah berproses menulis di FLP Riau. Menulis puisi, cerpen, dan esai di sejumlah media dan terangkum dalam beberapa antologi bersama. Bekerja sebagai guru. Tinggal di Selatpanjang.