Adi Zamzam
Langit penuh jingga ketika Mbak Runi melangkah riang ke pantai. Cakrawala malah sudah mulai berjelaga. Langkah Mbak Runi yang terus ke utara menumbuhkan benih kekhawatiran dalam benakku.
“Katakan saja kalau aku ke rumah Rohmah!” jawabnya ketika kutanya hendak ke mana.
“Nanti Bapak marah!” teriakku, yakin bahwa ia membohongiku.
“Aku ke rumah Rohmah!” suaranya hampir tertelan debur ombak.
Entah mengapa aku merasa ombak terlihat tak seperti biasanya. Aku seperti mendengar riuh suara Bapak dan Emak di debur ombak. Bapak tengah mencari utangan ke beberapa juragan ikan. Sedang Emak mungkin juga nanti malam baru pulang. Ikan sulit didapat kala musim angin barat tiba. Hujan selalu membuat Emak dan Bapak sibuk sehingga jarang di rumah.
Kekhawatiranku membesar ketika di ujung mataku Mbak Runi terlihat bercakap riang dengan Dayat—seorang pemuda yang selalu berbau jelek di mulut Bapak. Seorang pemuda yang baru saja menamatkan pendidikannya di kota namun kini lontang-lantung setelah pulang ke desa. Kulihat mereka naik ke perahu itu.
“Nanti Bapak marah!!” teriakku sekuat tenaga.
Mbak Runi hanya memberi senyum. Sementara itu Dayat telah mengayuh perahu menuju lautan warna emas. Mereka menuju utara, arah kekhawatiranku berasal. Cerita-cerita keangkeran Pulau Larangan kembali terngiang.
***
Pulau Larangan adalah pulau kecil tak berpenghuni tak jauh di muka perkampungan kami. Cuma butuh satu setengah jam berperahu untuk ke sana. Ada mitos-mitos mengerikan bersemayam di pulau itu, yang selama ini amat diyakini oleh semua orang di perkampungan nelayan sepanjang pantai kami.
Sejak aku masih SD, Bapak selalu mengulang cerita bahwa pulau itu amat terlarang bagi muda-mudi untuk menyinggahinya. Pulau itu hanya boleh disinggahi oleh orang-orang yang sudah bersuami ataupun beristri.
“Memangnya kenapa, Pak?” Mbak Runilah yang paling penasaran. Meski perempuan, ia paling suka bertualang. Perangai bengalnya tak kalah dengan anak lelaki.
“Siapa yang melanggarnya, akan terkena kutukan.”
“Seperti apa kutukannya, Pak?” cecar Mbak Runi.
“Pokoknya jangan sekali-kali ke pulau itu.”
Tak ada yang tahu persis tentang kutukan seperti apa yang bakal didapat. Tapi kurasa Mbak Runi pun pernah mendengar juga dari orang-orang bahwa si pelanggar pantangan itu hidupnya akan dipenuhi kesedihan dan kesulitan. Bencana demi bencana akan menghampirinya.
“Bapak bohong,” ujar Mbak Runi suatu ketika.
“Bohong apa?” keningku berkerut.
“Tentang kutukan itu.”
Aku terpaku. Kulihat ada binar kemenangan di kedua matanya.
“Aku sudah pernah ke sana. Pemandangannya amat menakjubkan. Semuanya masih belum terjamah. Benar-benar mirip surga,” ceritanya, berbisik.
“Mbak sendirian ke sana?”
Menggeleng, “Dengan Dayat.”
Ya, kupikir siapa dia yang berani melanggar larangan turun-temurun itu? Orang-orang sini lebih senang mencari pekerjaan sampingan daripada melakukan hal yang tidak-tidak. Kecuali Dayat, yang terkenal berani dan sering melakukan hal-hal yang tak pernah dilakukan kebanyakan pemuda sini.
“Mau ikut jika aku ke sana lagi?”
Aku buru-buru menggeleng.
“Takut kena kutukan?” bersungut-sungut menahan tawa.
Aku hanya diam.
“Jangan bilang siapa-siapa,” ujarnya kemudian.
Ya, tentu saja aku akan terus diam. Aku menunggu kebenaran cerita itu—kutukan apakah yang akan datang menimpa Mbak Runi?
Sebenarnya ingin kuhilangkan ketakutan tak beralasan itu. Kenapa Mbak Runi justru menceritakan kenyataan berbeda tentang keadaan di sana?
“Kamu masih tak mau ikut?” sepertinya Mbak Runi telah ketagihan. Dua kali dalam seminggu dia selalu diam-diam menyelinap ke sana. Tentu saja saat Bapak Emak tak di rumah.
Aku menggeleng. Aku benar-benar masih menunggu hal buruk apakah yang akan terjadi dengan kakak sulungku. Mengapa semua orang begitu memercayai sebuah pantangan jika hal itu tak terbukti kebenarannya?
“Kamu cuma akan jadi kembang lapuk kalau terus berada dalam rumah.”
Lima bulan silam aku memang pernah marah dengan Bapak lantaran beliau tak mendukung keinginanku melamar bangku SMA. Kini jadilah aku seorang gadis rumahan yang kesehariannya harus mati-matian melawan bosan membelah ikan-ikan untuk diolah menjadi ikan asin, atau kadang juga membuat terasi.
***
“Ke mana?!” amarah Bapak memuncak, karena mulutku yang masih juga merapat. Emak baru saja pulang dari rumah Rohmah, membuktikan kebohonganku.
“Apa aku harus memukulmu agar kau mau bicara?!” tangan kiri Bapak terangkat.
“Pu… Pulau Larangan, Pak,” membuat desisan kecil itu terpaksa keluar.
Kulihat dada Bapak semakin naik turun mengais nafas.
“Dengan pemuda tengik itu?!”
Aku mengangguk kaku.
Langsung saja Bapak membalikkan tubuh, “Kamu harus ikut aku mencari anak keparatmu itu,” menoleh Emak.
Sepertinya malam ini Bapak takkan pergi melaut. Ada api yang akan segera membesar.
***
Hingga pagi mengantar burung-burung keluar sarang, perahu Dayat belum juga nampak menepikan Mbak Runiku. Bapak semakin sibuk menanyakan keberadaan Mbak Runi setelah semalam tak menemukan jejak siapapun di Pulau Larangan.
“Ya, semalam aku melihat perahu itu. Tapi cuma kulihat seorang saja di atasnya. Ke Pulau Larangan,” ujar Pak Rozar
Bapak menolehku dengan binar kemarahan di mata. Ingin kuutarakan bahwa Bapak seharusnya tenang-tenang saja dengan keadaan Mbak Runi. Toh Mbak Runi sebenarnya telah lama diam-diam melanggar larangan itu dan tak terjadi apa-apa.
“Tapi sepertinya orang di atas perahu itu tak berambut panjang. Aku tak yakin itu anakmu.”
“Tapi kau yakin bahwa itu perahu berandal tengik kan?”
“Iya. Aku tak mungkin salah. Bapaknya membeli perahu itu dariku,” Pak Rozar geleng-geleng kepala.
“Oh iya, aku melihat bayangan orang berambut panjang di atas perahu itu,” ujar Pak Rikin, menambahi keterangan.
“Sebaiknya kau nikahkan saja setelah mereka pulang,” tambah Pak Rikin. “Kau tahu pantangan pulau itu kan? Daripada mereka mengajakmu kucing-kucingan seperti ini.”
Dan keterangan-keterangan yang didapat dari orang-orang yang melaut malam itu memang membentuk sebuah kisah yang utuh. Ada perahu yang dikayuh menuju Pulau Larangan. Sesekali terlihat bayang orang berambut pendek di atasnya. Sesekali juga terlihat bayang orang berambut panjang di atasnya. Apa yang dilakukan bayang yang tampak dan yang tak tampak di atas perahu itu langsung menjadi menu utama pergunjingan di kampung ini.
“Hei, Sani! Apa tak pernah kau didik anak lelakimu itu, ha?!” meledaklah amarah Bapak di depan rumah orangtua Dayat.
“Ada apa dengan anakku?” Pak Sani, yang sama-sama seorang nelayan itu, menampakkan ketidaktahuan.
“Bapak apa kau ini, tak mengetahui ulah anaknya, ha?! Anakmu melarikan anakku ke Pulau Larangan! Ayo cari mereka sebelum langit kembali gelap! Atau kuseret kau ke Pengadilan jika cuma diam!”
Ombak kembali terdengar riuh di telingaku,.membisikkan bahwa akan terjadi sesuatu yang besar setelah ini. Bahkan hingga langit berjelaga, Bapak dan Pak Sani sama-sama tak menemukan jejak siapapun di Pulau larangan. Daun-daun cemara yang berjatuhan mengabarkan gelisah tak berkesudahan.
***
Pencarian demi pencarian akhirnya dihentikan ketika memasuki hari keempat. Aku tahu, dalam diamnya Bapak masih menyimpan bara. Karena itulah tak kuceritakan apa-apa yang aku ketahui tentang Pulau Larangan yang pernah diceritakan Mbak Runi.
Yang membuatku tak tega adalah Emak. Sering kulihat perempuan itu terisak jika lamunannya telah penuh dengan Mbak Runi.
“Apa benar pulau itu sangat mengerikan, Mak?” ujarku, sambil sibuk merendam belahan ikan petek, layur, kadalan, dan abangan ke dalam air garam.
Emak menoleh.
“Kata Mbak Runi, pulau itu malah seperti surga.”
“Tidak, mbakyumu bohong. Mungkin itu adalah ulah para penunggu pulau itu. Mereka menjebak mbakyumu dengan memperlihatkan alam khayalan. Kini kau sudah tahu akibatnya kan? Lihatlah, mbakyumu jadi lupa rumah, lupa orangtua.”
***
Pagi itu hari ketujuh setelah kepergian Mbak Runi. Aku tak bermimpi apapun yang kiranya bisa kusebut sebagai firasat pertanda. Semuanya serba sepi dan hening. Hanya ayam-ayam yang tedengar riuh bersahut-sahutan di halaman rumah. Khas bau tanah sehabis hujan menguar di hidung tatkala sosok itu kulihat berjalan lesu.
“Mbak, dari mana?! Bapak marah besar!”
Gadis itu tersenyum, “Dari pulau itu,” kulihat kebahagiaan di kedua matanya. Meski tubuhnya kulihat kuyu dan lebih kurus dibanding delapan hari silam.
“Mbak bohong. Bapak bilang Mbak tak ada di pulau itu.”
“Oya? Bapaklah yang telah bohong. Kenapa mesti malu kalau semua orang tahu aku telah pergi ke pulau itu? Toh aku bukan gadis ingusan lagi.”
***
Bapak meledak-ledak sejak saat itu. Berkali-kali beliau membawa amarahnya ke rumah Pak Sani—menuntut pertanggungjawaban segera dilaksanakan. Pak Sani bilang ia tak keberatan menebus kesalahan itu. Beliau meminta waktu untuk mengumpulkan segala persiapan upacara penebusan. Bapak bilang ia tak peduli lagi dengan pemuda tengik yang masih pengangguran itu. Bapakpun tak peduli dengan nasib Mbak Runi kelak. Pokoknya upacara penebusan harus segera ditunaikan sebelum bencana demi bencana beruntunan datang.
Berjalan hari aku mulai menyaksikan sendiri perihal apa yang selama ini dikhawatirkan. Kulihat, perut Mbak Runi membuncit dan semakin membuncit seiring bertambahnya hari. Entah apa itu yang tumbuh di dalamnya. Wajah ayunya yang semakin terlihat pucat dan kuyu dalam pingitan membuat Bapak semakin hilir-mudik menagih janji ke rumah Pak Sani. Bapak bilang, inilah buahnya melanggar pantangan itu.
Namun yang membuatku heran, tak pernah kulihat kesedihan di kedua mata Mbak Runi. Malah sering kudengar nyanyian-nyanyian riang dari dalam kamarnya. Membuatku semakin penasaran tentang kebenaran cerita-cerita tentang Pulau Larangan. Apalagi kini diam-diam ada seorang pemuda yang terus membujukku berlayar bersama ke sana.*****