Dengan kepak, aku mencoba berteman dengan burung-burung dan mengusir rasa sepi yang bertahun-tahun, membikin sarang di sini. Di kepalaku.
Selepas dari musola untuk solat zuhur, aku membuka laptop untuk melanjutkan pekerjaanku yang tertunda. Di situ ada beberapa fail yang mesti kuedit untuk diterbitkan besok. Aku bekerja sebagai redaktur di majalah lokal. Pekerjaan yang selalu menumpuk adalah rutinitas yang biasa. Terkadang jika waktu bisa tiba-tiba lengang, aku mampir melihat orang sedang mengerjakan batu bata yang terletak persis di seberang rumahku.
Rumah ini–yang sengaja kubangun setelah mengontrak di sana-sini–baru selesai dibangun beberapa bulan lalu. Berdiri di atas tanah warisan yang sekian tahun sempat menunggu untuk digunakan. Awalnya aku berpikir untuk menyumbangkannya saja guna dibangun sebuah mesjid. Di tempatku tinggal hanya ada sebuah musola kecil. Orang-orang agak sulit jika harus jum’atan karena mesjid terletak agak jauh di dusun sebelah.
Namun karena beberapa alasan, aku kemudian membatalkan niat itu dan membangun rumah agak besar di sini. Di rumah ini hanya aku tinggal seorang diri. Sesekali memang ada orang yang datang sekedar bersilaturahim. Tapi kehidupanku sekarang lebih banyak dihuni sepi dari yang sebelum-sebelumnya. Sewaktu-waktu aku sering merasa kaget mengetahui bahwa kehidupan yang dulu seperti dipaksa dibelesakkan sampai sesak tiba-tiba berubah menjadi lengang yang begitu lapang. Meski pekerjaanku masih sama menumpuknya, tetap tak mengubah apapun. Kesepian itu memang harus datang.
Beberapa saat lamanya kutunggu laptop sampai selesai loading dengan membaca majalah, terbitan tempatku bekerja dan terbitan majalah lain. Beberapa minggu ini majalahku seperti bersaing dengan majalah itu. Saling berebut berita. Rapat redaktur menjadi lebih sengit demi mendapatkan kualitas berita yang mampu menandingi kualitas majalah saingan. Tak pelak aku dan kawan-kawan mesti bekerja ekstra keras supaya tidak kecolongan berita.
Rutinitas yang melelahkan itu sering membuatku babak belur. Setiap hari kami harus mengadakan rapat ini-itu, pertemuan di sana-sini, yang memaksaku pulang larut malam setiap harinya. Aku biasanya akan langsung jatuh di atas kasur dan terlelap beberapa saat, sebab tengah malam aku mesti bangun dan menyiapkan berita. Lalu aku tidur sekitar sejam dan bangun untuk sholat subuh. Setelah itu tak ada waktu bagiku untuk tidur lagi.
Sambil menggumamkan berita yang kubaca di majalah, aku terhempas ke waktu di mana kelengangan seperti tak butuh tempat bagiku. Tempatku (waktu itu) adalah kesibukan yang begitu membahagiakan sambil ditemani isteri dan dua anak kembar yang terus rewel menanyakan ini-itu. Wajah mereka menggantikan wajah tokoh-tokoh terkenal dalam foto di majalah tersebut, membuatku serasa ingin benar-benar kembali ke masa itu. Memperbaiki kesalahan sehingga perceraian itu tak mesti terjadi.
“Pikirkanlah sekali lagi.” Bujuk isteriku.
“Aku sudah mengajukan gugatan ke pengadilan. Tidak ada yang harus dipikirkan lagi. Keputusanku sudah bulat.” Kataku tegas.
Tangisnya pecah. Ia terduduk di sofa sambil menutup wajahnya. Airmata merembes di sela-sela jarinya. Untung saat itu anak-anak sudah tidur sehingga mereka tidak perlu menyaksikan keadaan seperti itu. Aku bersikeras untuk tidak menatap tajam wajahnya lagi.
Mira menyeka airmatanya dengan saputangan. Lalu ia beranjak ke kamar dan membanting pintu. Saat itu aku mungkin tak sadar airmataku telah merembes di bulu-bulu mataku. Tak kurasakan basah, hanya sakit di perih di sekitar mata yang bisa kutahan.
Perpisahan memang harus terjadi. Dan sejak itu, sejak hakim mengabulkan gugatan, aku sering pindah mengontrak rumah di sana-sini. Rumahku, rumah kami, maksudku kuserahkan untuk Mira, sebagai pembuktian bahwa aku masih seorang lelaki.
Karena kesal laptop yang belum juga selesai loading, kutekan tombol restart sedikit keras. Laptop mati lagi. Beberapa saat menyala lagi untuk booting. Aku berjalan ke teras rumah sambil menunggu laptop siap. Kulihat pekerja batu bata–yang kesemuanya perempuan–masih bekerja membuat batu bata dengan tanah liat.
Sebenarnya tanah yang mereka gunakan sebagai bahan pembuat batu bata adalah tanah warisan milikku juga. Sengaja kusewakan karena berpikir tanah tersebut pasti akan kosong sia-sia jika tidak digunakan. Sementara uang sewanya kuserahkan kepada abangku yang petani yang kebetulan tinggal di samping rumah. Mereka lebih butuh, pikirku.
Pekerja-pekerja itu sudah datang pukul setengah tujuh pagi. Mereka biasanya selesai pukul tiga siang hari. Aku sering melihat beberapa di antaranya membuat batu bata sambil menggendong bayinya. Aku berpikir betapa perkasanya perempuan-perempuan itu. Apakah mereka juga sejahat Mira? Aku menggeleng. Kembali ke meja kerja untuk memastikan laptop sudah siap digunakan.
“Assalamualaikum….” Ucap seseorang dari arah ruang tamu.
Kutinggalkan pekerjaanku dan bergegas menemui orang tersebut.
Pak Gani, kepala dusun itu ternyata ingin memberikan KTP baruku. Kupersilakan dia masuk namun ia menolak. Katanya ia harus bergegas pulang karena akan pergi ke suatu tempat bersama anak dan isteri. Sebelum pamit, ia menyerahkan sebuah amplop kepadaku.
“Terima kasih, Pak.” Ucapku.
Kuletakkan amplop itu di meja karena kupikir pengirim amplop itu tidak lebih penting ketimbang pekerjaan yang mesti kuselesaikan saat ini. Saat tengah mengetik, tiba-tiba sesuatu yang basah jatuh di atas kepalaku. Kurasakan hangat serta lendir yang merembes di kepalaku.
“Ciiss.”
Aku berlari ke kamar mandi untuk mencuci rambutku. Lalu kubuat galah dengan sebilah bambu agak panjang dengan pengait kawat di ujungnya. Bagaimana bisa ada burung bersarang di rumah ini?
Kicau serak mereka menggangguku. Ada beberapa sangkar burung bertengger di sudut rangka kayu genteng rumahku. Mungkin mereka masuk dari celah-celah atap karena memang rumahku belum dipasang plafon. Dengan kesal kukibas-kibaskan ujung galah ketika seekor burung berseliweran di atas. Seperti sedang mengejek.
Aku cukup kewalahan mengatasi burung-burung yang suka mencicit di kala malam itu. Kotoran mereka sering nemplok di lantai dan sofa. Rumahku seperti sarang raksasa bagi mereka. Tak kusadarai ternyata mereka sudah beranak-pinak. Bayi-bayinya mencicit ribut, ditingkahi induknya yang seperti tak ada habisnya bercinta.
Tapi setelah beberapa lama aku mulai terbiasa dengan kehadiran burung-burung itu. Mereka sering kuperhatikan bertengger di perabotan rumahku. Hendak kuberi makan, namun segera terbang ketika aku mendekat. Aku bahkan berani memanjat genting rumah untuk memastikan anak-anak burung itu baik-baik saja. Bahkan kubuatkan sarang baru untuk mereka dengan rumput-rumput kering.
Telah kusadari burung-burung itu menjadi teman setiaku. Saat menonton televisi, memasak, makan, bahkan mandi mereka sering berseliweran di atasku. Mereka seperti jatuh cinta dengan kebaikanku memberikan tempat tinggal yang begitu mewah untuk mereka. Kepak halus sayap mereka dan suara ribut ketika sayap mereka menyambar genting adalah keributan baru kehidupanku.
Suatu malam ketika aku sedang membersihkan lantai dari kotoran burung, aku mendengar pintu diketuk. Sangat lembut hingga ketukan itu terkadang terdengar ada, terkadang tidak. Setelah meletakkan kain lap di dapur, aku segera membuka pintu. Betapa terkejutnya aku ketika melihat Mira dengan senyum memelas tengah berdiri di hadapanku. Ia tak membawa serta anak-anak. Hidung dan matanya merah. Ia memakai pakaian kerjanya.
“Dirman–.” Sapanya datar.
“Silakan masuk.” Aku menyilakannya masuk. Merapikan dan memastikan tidak ada kotoran burung di sofa.
Kami tidak langsung bercakap-cakap. Ada rentang yang begitu panjang dan lengang terjadi hingga aku memutuskan permisi ke dapur membuatkan minum.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil menyeruput tehnya.
Aku mengangguk, tersenyum. Kutanyakan padanya kenapa tiba-tiba datang ke rumah dan tidak menghubungi terlebih dahulu.
“Lho, bukannya aku sudah mengirimkan surat kepadamu?” katanya.
Aku diam, berpikir. Ya, mungkin surat yang waktu itu diberikan Pak Gani kepadaku. Ternyata masih tergeletak di meja. Mira melihatnya, kemudian menatapku penuh haru dan senyum.
“Aku bisa mengerti, Dirman.” Dia mengangguk. “Aku pikir, setelah lama kita berpisah ada keinginan kita untuk….. bertemu.”
ku diam saja. Membiarkan kekosongan membuat spasi yang ganjil di antara kami berdua. Dia menunduk. Airmatanya jatuh membasahi roknya.
“Setelah lama berpisah, aku pikir, aku mulai terbiasa dengan ini.” Kataku dingin.
“Anak-anak sering menanyakanmu. Izinkanlah mereka bertemu denganmu. Mungkin….mungkin kita bisa mengembalikan hubungan kita lagi, Dirman.” Katanya sendu.
“Tidak ada yang perlu dikembalikan, Mira. Keputusan ini tetap sama seperti beberapa tahun lalu. Kita membuat kesalahan. Kau membuat kesalahan, Mira.” Kataku tanpa memandang wajahnya.
Tangisnya pecah. Persis ketika kulayangkan gugatan cerai kepadanya waktu itu. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan, cukup lama. Lagi-lagi seperti ada batas yang tebal di antara kami berdua. Tak ada niatanku untuk membujuknya diam.
Setelah beberapa lama, Mira berhenti menangis. Ia berdiri sambil sesekali menyeka airmatanya. Masih dengan wajah yang memelas, ia berpamitan denganku. Mengatakan bahwa ia masih menaruh harapan kepadaku. Tapi aku hanya diam. Tak bereaksi apa-apa.
***
Semalaman aku terus memikirkan Mira. Begitu berani dia datang ke rumahku. Bahkan mungkin tak langsung pulang. Namun masih ada kemarahan berkecamuk dalam dada. Pengakuan bahwa ia berselingkuh benar-benar membuatku sulit memaafkannya.
Burung-burung berseliweran di atasku. Bulu-bulu mereka gugur di wajahku. Aku menghalau bulu-bulu itu dan menuju dapur untuk minum. Tiba-tiba saja aku merasa sangat kehausan. Beberapa gelas air tetap tak mampu menghilangkan rasa haus yang semakin menjadi. Rasa haus itu kemudian menjalar hingga menjadi panas di seluruh tubuhku. Burung-burung berputar di kepalaku. Kicau mereka membuatku sulit mendengar suara-suara lain, selain gemeretak tubuh yang tiba-tiba merasa gatal.
Aku mencoba menuju kamar mandi. Namun sebelum sempat kudorong pintu kamar mandi, semua menjadi gelap.
***
Siang itu Mira datang lagi ke rumah dengan membawa anak-anak. Ia mengetuk-ngetuk pintu namun tak ada yang membuka. Anak-anak kembarnya sungguh rewel menanyakan tentang ayah mereka.
Karena tidak segera dibuka, Mira mengintip jendela. Namun ia pasti tak dapat melihat apa-apa karena aku lupa menguak horden jendela. Ia melongok ke garasi yang tertutup rapat. Ia yakin bahwa aku belum pergi karena tidak ada jejak ban mobil di tanah.
Sekali lagi ia mengetuk pintu rumahku agak keras. Mengetuk-ngetuk jendela beberapa kali. Bahkan bertanya pada orang-orang yang lewat apakah aku ada di rumah. Namun orang-orang itu hanya menjawab tidak tahu. Akan tetapi Mira tak langsung pergi. Ia menggamit gagang pintu dan memutarnya berulang kali hingga terdengar bunyi klik yang agak tertahan.
Mira membuka pintu perlahan. Terlihat anak-anaknya mencoba menerobos masuk tapi lekas ditahan olehnya. Tapi ketika pintu telah dibuka lebar, sekumpulan burung tiba-tiba terbang ke arahnya. Melesat dengan cepat mematuki tubuhnya. Anaknya berteriak ketakutan melihat ibu mereka dikeroyok burung-burung yang merasa rumahnya diganggu.
Mira mencoba menghalau burung-burung itu namun ia terjatuh hingga sulit berdiri lagi. Anak-anaknya kemudian berlari dan meminta pertolongan kepada orang-orang yang berada di dekat situ. Saat kembali dilihatnya ibu mereka telah terkulai lemas dengan luka patuk di sekitar wajah dan tangan. Aku bisa mendengar rintih sakitnya dan tangis anak-anaknya mengantarkan ibu mereka ke rumah sakit dengan dibantu beberapa orang warga.
Ah, Mira. Telah kusadari siapa sesungguhnya yang bersalah. Akulah yang jahat tak bisa menjaga pernikahan kita yang seharusnya abadi. Seharusnya aku yang malu.
Mira, seandainya aku tak bergabung dengan teman-teman burungku saat ini, aku tentu akan meminta maaf padamu.
Tumpatan, 8 Januari 2010.