29 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Mari Berpesta tanpa Ada Cela

Ramadhan Batubara

Mari bicara soal pesta; baju warna-warni, musik hingar-bingar, hingga dana tak terkira. Tentu hal ini menjadi sesuatu yang ditunggu, seperti anak SD yang dijanjikan sepeda baru; siang malam menjadi mimpi baginya Terus terang, lantun kali ini menyinggung Pesta Danau Toba yang akan digelar beberapa pekan lagi.

Sejatinya saya banyak berharap pada even yang katanya bertaraf nasional itu; setelah tinggal di Medan, ada rasa enggan untuk menyaksikannya. Padahal, ketika masih beraktivitas di Pulau Jawa, target saya adalah menyaksikan pesta ini. Saya bayangkan pesta seperti Festival Kebudayaan Yogyakarta atau sekadar persis dengan Oktoberfest di Jerman sana. Dalam dua even tadi, ada semacam situasi yang menarik. Contohnya di Festival Kebudayaan Yogyakarta, sebagai kota yang dikenal sebagai kawasan budaya tentunya even ini sangat dinanti.

Bahkan, kala even ini digelar, saat itulah kesempatan saya untuk berbincang dengan seniman asal daerah lain. Acaranya malah tidak muluk-muluk hingga butuh persiapan yang luar biasa dengan dana yang tak terhitung. Ya, biasa saja namun memberikan pengaruh besar pada penikmatnya. Contohnya adalah pembentukan kampung budaya Nitiprayan. Di desa ini beberapa acara digelar, mulai dari pementasan teater, musik, hingga pameran lukisan. Konsep acaranya adalah dengan melibatkan masyarakat setempat. Para seniman kaliber nasional bahkan internasional dibaur dengan masyarakat.

Saat itu, semua adalah seniman. Lalu, para penikmat, dibebaskan untuk menyaksikan yang mana; tinggal datang ke kampung itu dan langsung menikmatinya tanpa harus capek menunggu kata-kata sambutan dari pejabat terkait selesai. Ya, tinggal melihat agenda kegiatan, langsung datang dan langsung menikmati. Menariknya selain Nitiprayan, Yogya juga menciptakan desa-desa budaya lainnya. Memang, ada juga , acara yang dipusatkan di Taman Budaya Yogyakarta. Lalu, bagaimana dengan kraton? Secara kasar, kraton malah tidak begitu berperan. Kraton sepertinya membiarkan warganya untuk berkreasi tanpa harus memaksakan diri memunculkan karya adiluhung kraton. Begitu pun pemerintah setempat, kesan yang didapat, mereka tidak begitu terlibat.

Kalaupun ada, mungkin sebatas penyedia izin dan dana saja. Soal dana, menariknya, tidak semata wilayah pihak pemerintah saja; founding dari luar negeri hingga sponsor seakan berebut untuk even tersebut.Tapi sudahlah, itu di Yogyakarta yang notebene sudah melek budaya.

Jadi, membuat festival atau budaya sudah semacam kegiatan sehari-hari saja. Yang harus digarisbawahi dari Yogyakarta adalah keberhasilan mereka menciptakan sesuatu yang baru dengan konsep tersendiri hingga mendarah daging. Lalu, bagaimana dengan festival atau pesta yang ada di Jerman sana. Fiuh… kalau yang ini tidak usah repot. Pasalnya agenda tahunan ini sudah seperti darah daging bagi mereka. Oktoberfest mungkin sudah seperti momen unjuk diri. Di bulan Oktober, dari sejarahnya, warga Jerman memang saling memamerkan hasil karya mereka (baca bir).

Di saat itu, warga lain bebas minum bir sesuka hati karena saat itulah para pengusaha bir berpromosi: saling bersaing soal rasa. Nah, menariknya, Jerman berhasil menjadikan even tahunan itu sebagai festival yang berbeda. Mereka setia dalam upaya menjaga tradisi tersebut. Hingga, sampai saat ini, setiap Oktoberfest digelar, busana dan kesenian yang dimunculkan adalah persis dengan pertama kali Oktoberfest ada. Maka, gaya Bavarian adalah wajib di festival ini. Jadi tidak mengherankan kalau wisatawan asing yang hadir di sana pun wajib berkostum semacam itu.

Tidak ada keharusan memang, namun adalah lucu dan terkesan tak pantas jika tidak menyesuaikan diri bukan? Dua pesta di atas jelas menunjukkan sesuatu yang menarik. Pertama yang di Yogyakarta, di festival itu, warga non-Yogya, seakan berebut untuk mencari dan melihat apa yang akan disuguhkan. Ya, sebuah even baru yang bukan lahir dari tradisi, namun mampu mencuri perhatian khalayak. Kedua yang di Jerman, warga dunia seakan ingin larut dalam suasana yang terus dijaga keasliannya. Nah, bagaimana dengan Pesta Danau Toba yang dibanggakan Sumatera Utara? Kalau soal ini, Bupati Samosir Mangidar Simbolon malah sempat mengkritisi.

Katanya, festival ini ‘payah’ karena panitianya terus berganti hingga tak ada perkembangan dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, ketika panitia terus berganti, maka kekurangan di tahun sebelumnya jadi terbiarkan. Dari tahun ke tahun yang ada hanya mengulang dan yang sebelumnya tak tuntas, ya, tetap tak tuntas. Bayangkan, seorang bupati yang wilayahnya dijadikan lokasi Pesta Danau Toba saja mengatakan semacam itu. Fiuh… Saya jadi teringat dengan pernikahan kawan saya.

Begini, dia dan istrinya itu beraktivitas di Yogya. Nah, ketika resepsi pernikahannya, malah digelar di kampung keluarga sang istri yang ada di Sulawesi. Emamng, acaranya cukup mewah, tapi adakah pesta itu terasa nikmat bagi yang dating dan juga yang sedang dipestakan? Hal seperti inilah yang saya rasakan terhadap rencana Pesta Danau Toba. Seniman lokal (dalam artian wilayah karena banyak seniman Sumatera Utara berlevel nasional dan internasional) kurang dilibatkan.

Yang dihadirkan adalah seniman-seniman nasional (dalam artian tinggal di Pulau Jawa, namun prestasinya biasa saja) tanpa seleksi yang transparan dari panitia. Baiklah jika yang dipanggil itu memiliki darah Toba, namun apakah dia masih kental dengan suasana Sumatera Utara dan khususnya Danau Toba? Tapi sudahlah, itukan urusan panitia – yang kata Mangindar tadi selalu berubah-ubah itu. Kegelisahan saya hanya pada konsep Pesta Danau Toba yag membingungkan.

Maksud saya, mau di bawa ke mana pesta yag menjadi even tahunan itu? Adakah terpikir oleh pengambil kebijakan agar even itu menjadi sesuatu yang khas, yangmemilikikonsepmatang dan bukan sekadar pesta semata. Seperti kata orang bijak, pesta di mana saja ada, tapi bagaimana pesta bisa berkesan. Hm, kita tunggu sajalah. (*)

Ramadhan Batubara

Mari bicara soal pesta; baju warna-warni, musik hingar-bingar, hingga dana tak terkira. Tentu hal ini menjadi sesuatu yang ditunggu, seperti anak SD yang dijanjikan sepeda baru; siang malam menjadi mimpi baginya Terus terang, lantun kali ini menyinggung Pesta Danau Toba yang akan digelar beberapa pekan lagi.

Sejatinya saya banyak berharap pada even yang katanya bertaraf nasional itu; setelah tinggal di Medan, ada rasa enggan untuk menyaksikannya. Padahal, ketika masih beraktivitas di Pulau Jawa, target saya adalah menyaksikan pesta ini. Saya bayangkan pesta seperti Festival Kebudayaan Yogyakarta atau sekadar persis dengan Oktoberfest di Jerman sana. Dalam dua even tadi, ada semacam situasi yang menarik. Contohnya di Festival Kebudayaan Yogyakarta, sebagai kota yang dikenal sebagai kawasan budaya tentunya even ini sangat dinanti.

Bahkan, kala even ini digelar, saat itulah kesempatan saya untuk berbincang dengan seniman asal daerah lain. Acaranya malah tidak muluk-muluk hingga butuh persiapan yang luar biasa dengan dana yang tak terhitung. Ya, biasa saja namun memberikan pengaruh besar pada penikmatnya. Contohnya adalah pembentukan kampung budaya Nitiprayan. Di desa ini beberapa acara digelar, mulai dari pementasan teater, musik, hingga pameran lukisan. Konsep acaranya adalah dengan melibatkan masyarakat setempat. Para seniman kaliber nasional bahkan internasional dibaur dengan masyarakat.

Saat itu, semua adalah seniman. Lalu, para penikmat, dibebaskan untuk menyaksikan yang mana; tinggal datang ke kampung itu dan langsung menikmatinya tanpa harus capek menunggu kata-kata sambutan dari pejabat terkait selesai. Ya, tinggal melihat agenda kegiatan, langsung datang dan langsung menikmati. Menariknya selain Nitiprayan, Yogya juga menciptakan desa-desa budaya lainnya. Memang, ada juga , acara yang dipusatkan di Taman Budaya Yogyakarta. Lalu, bagaimana dengan kraton? Secara kasar, kraton malah tidak begitu berperan. Kraton sepertinya membiarkan warganya untuk berkreasi tanpa harus memaksakan diri memunculkan karya adiluhung kraton. Begitu pun pemerintah setempat, kesan yang didapat, mereka tidak begitu terlibat.

Kalaupun ada, mungkin sebatas penyedia izin dan dana saja. Soal dana, menariknya, tidak semata wilayah pihak pemerintah saja; founding dari luar negeri hingga sponsor seakan berebut untuk even tersebut.Tapi sudahlah, itu di Yogyakarta yang notebene sudah melek budaya.

Jadi, membuat festival atau budaya sudah semacam kegiatan sehari-hari saja. Yang harus digarisbawahi dari Yogyakarta adalah keberhasilan mereka menciptakan sesuatu yang baru dengan konsep tersendiri hingga mendarah daging. Lalu, bagaimana dengan festival atau pesta yang ada di Jerman sana. Fiuh… kalau yang ini tidak usah repot. Pasalnya agenda tahunan ini sudah seperti darah daging bagi mereka. Oktoberfest mungkin sudah seperti momen unjuk diri. Di bulan Oktober, dari sejarahnya, warga Jerman memang saling memamerkan hasil karya mereka (baca bir).

Di saat itu, warga lain bebas minum bir sesuka hati karena saat itulah para pengusaha bir berpromosi: saling bersaing soal rasa. Nah, menariknya, Jerman berhasil menjadikan even tahunan itu sebagai festival yang berbeda. Mereka setia dalam upaya menjaga tradisi tersebut. Hingga, sampai saat ini, setiap Oktoberfest digelar, busana dan kesenian yang dimunculkan adalah persis dengan pertama kali Oktoberfest ada. Maka, gaya Bavarian adalah wajib di festival ini. Jadi tidak mengherankan kalau wisatawan asing yang hadir di sana pun wajib berkostum semacam itu.

Tidak ada keharusan memang, namun adalah lucu dan terkesan tak pantas jika tidak menyesuaikan diri bukan? Dua pesta di atas jelas menunjukkan sesuatu yang menarik. Pertama yang di Yogyakarta, di festival itu, warga non-Yogya, seakan berebut untuk mencari dan melihat apa yang akan disuguhkan. Ya, sebuah even baru yang bukan lahir dari tradisi, namun mampu mencuri perhatian khalayak. Kedua yang di Jerman, warga dunia seakan ingin larut dalam suasana yang terus dijaga keasliannya. Nah, bagaimana dengan Pesta Danau Toba yang dibanggakan Sumatera Utara? Kalau soal ini, Bupati Samosir Mangidar Simbolon malah sempat mengkritisi.

Katanya, festival ini ‘payah’ karena panitianya terus berganti hingga tak ada perkembangan dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, ketika panitia terus berganti, maka kekurangan di tahun sebelumnya jadi terbiarkan. Dari tahun ke tahun yang ada hanya mengulang dan yang sebelumnya tak tuntas, ya, tetap tak tuntas. Bayangkan, seorang bupati yang wilayahnya dijadikan lokasi Pesta Danau Toba saja mengatakan semacam itu. Fiuh… Saya jadi teringat dengan pernikahan kawan saya.

Begini, dia dan istrinya itu beraktivitas di Yogya. Nah, ketika resepsi pernikahannya, malah digelar di kampung keluarga sang istri yang ada di Sulawesi. Emamng, acaranya cukup mewah, tapi adakah pesta itu terasa nikmat bagi yang dating dan juga yang sedang dipestakan? Hal seperti inilah yang saya rasakan terhadap rencana Pesta Danau Toba. Seniman lokal (dalam artian wilayah karena banyak seniman Sumatera Utara berlevel nasional dan internasional) kurang dilibatkan.

Yang dihadirkan adalah seniman-seniman nasional (dalam artian tinggal di Pulau Jawa, namun prestasinya biasa saja) tanpa seleksi yang transparan dari panitia. Baiklah jika yang dipanggil itu memiliki darah Toba, namun apakah dia masih kental dengan suasana Sumatera Utara dan khususnya Danau Toba? Tapi sudahlah, itukan urusan panitia – yang kata Mangindar tadi selalu berubah-ubah itu. Kegelisahan saya hanya pada konsep Pesta Danau Toba yag membingungkan.

Maksud saya, mau di bawa ke mana pesta yag menjadi even tahunan itu? Adakah terpikir oleh pengambil kebijakan agar even itu menjadi sesuatu yang khas, yangmemilikikonsepmatang dan bukan sekadar pesta semata. Seperti kata orang bijak, pesta di mana saja ada, tapi bagaimana pesta bisa berkesan. Hm, kita tunggu sajalah. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/