30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Gelas Isak

Kita pernah sadar dengan cerita-cerita yang dulu pernah tertunda. Hanya dengan segelas kopi hitam pahit, asap rokok menggeliat berputar, dan angin sore berhembus pelan. Kita merayakan kegelisahan demi kegelisahan yang keluar dari
tiap bulir asap rokok kita. Dan aku, akan menuliskannya semua.

Cerpen Restu A. Putra

KAU banyak menceritakan segala peristiwa. Dan aku tak pernah benar- benar bisa memecahkannya.

Walau untuk sementara waktu, memang rongga dada kita terasa lebih lebar. Tanpa beban. Tanpa masalah.

Namun waktu terus saja berjalan.

Menghantam tubuh kita. Membuat mata kita terbuka. Dari tepi jendela, dengan mata tegang, dan hati panik bagai angin ribut, aku melihat orangorang menggoyang-goyang pagar rumahku. Aku tetap bertahan di sudut kamarku di lantai dua.

“Keluar kau penulis kurangajar!” “Pengarang sialan!” “Kembalikan nyawa kawan kami!” “Khayalan busuk!” “Kau hanya mengeksploitasi saudara- saudara kami. Dasar penipu!” Orang-orang hampir menerobos pintu pagar rumahku yang sudah kurantai gembok lapis lima. Dan dari sudut kamar dengan tubuh gemetar aku menyaksikan mereka. Lalu aku kembali ke meja. Termangu di depan kertas-kertas berserakan. Akan kuhancurkan mereka. Kubuka note book-ku. Kepalaku sepertimau pecah.

Kalian tak bisa menghalangiku.

Maka, kutulislah kalimat pertama.

**** Warung Bu Jariyah sesak. Semua pembelinya rata-rata mahasiswa.

Warung ini yang paling banyak diminati di kampusku. Dari warung Bu Jariyah inilah anak-anak muda, dan banyak aktivis mahasiswa berkumpul.

Terkadang lokasi di sekitar WarungBuJariyahyanglumayanluas itu juga digunakan untuk acara bedah buku atau forum diskusi. Tak ada aturan baku untuk jajan di Warung Bu Jariyah, kecuali hanya satu: bayar hutang tepat waktu! Dan di Warung inilah debutku sebagai penulis cerita berawal.

Sebab segala peristiwa bisa kutemukan.

Orang-orang dengan kerut dahinya, matanya yang lebam, wajah yang kusam. Persis serupa pertemuanku dengan Isak sore ini, kawanku di satu fakultas yang tibatiba bersikap aneh dan membuatku mengerutkan dahi berkali-kali.

Masih saja asap rokok yong keluar dari mulut Isak menggeliat di depan mataku. “Kamu tahu tidak kawan, kalausebuahmasalahituibarat air dalam gelas,” ujar Isak yang dari tadi ikut nongkrong di Warung Bu Jariyah. Ia tampak menyembunyikan gusarnya sambil menyeruput kopi hitam panas buatan Bu Jariyah. Memang, tak satu apa pun pernah tegak menancap di atas tanah.

“Maksudmu?” tanyaku yang duduk di sampingnya.

“Aku ingin kamu lihat gelas ini dan bayangkan, berapa berat gelas ini apabila diisi air sampai penuh,” Ia menunjuk pada gelas kosong yang ada di meja Warung Bu Jariyah.

Tampak para mahasiswa yang mampir untuk jajan sibuk dengan urusan masing-masing. Sibuk dengan obrolan masing-masing. Begitu pun aku dan Isak.

“Kalau gelasnya seukuran ini pasti enggak berat alias lumayan ringan,” jawabku sambil membayangkan gelas yang ditunjukkan Isak. Segala praduga yang menghampiri kepalaku coba kutepis. Walau akhirnya praduga itu berakhir pada kesimpulan pertama kalau ia sepertinya sedang dirundung masalah.

“Nah seperti itulah masalah. Sekarang kalau kamu berdiri dan angkat gelas berisi air itu tinggi-tinggi selama lima belas menit saja. Apa yang kamu rasakan?” Untuk sore ini sebenarnya aku ingin sebentar saja istirahat dari niat mencari ide cerita atau mengamati peristiwa-peristiwa apa pun. Aku ingin menjadi normal untuk sementara waktu. Terlalu banyak pikiranpikiran yang berjejalan dalam kepalaku.

Tapi lagi-lagi pertanyaanpertanyaan Isak ini membuatku tak bisa mengelak. Entah mengapa.

“Hmm, sepertinya lumayan tambah berat. Berat badan sekaligus berat karena kesal ngangkat-ngangkat gituan dan lagi….tak ada kerjaan….” “Sekarang paham nggak apa maksudku?” “Nggak.” Jawabku sekenanya.

“Payah!” “Yang aku tidak paham adalah apa hubungannya antara aku dengan kamu tentang pembicaraan ini?” “Lagi-lagi kau payah! Berarti kamu belum berpikir.” Isak menyomot pisang goreng panas yang baru saja Bu Jariyah hidangkan di meja.

Beberapa orang menyapaku, “Hai Septa, nongkrong aja nih!” Aku balas senyum.

Seorang lagi menanyaiku jam berapa masuk mata kuliah tambahan besok.

Kujawab singkat juga, “Dosennya tak datang!” Ada lagi wanita mendekatiku menanyakan kepastian cinta. “Septa, kamu masih mau menerimaku kan?” Segera saja kutolak mentah-mentah dan ia bersungut habis-habisan.

Dan kepada Isak hanya ada satu orang, ketua angkatan di jurusan yang menanyakan uang kas kelas yang belum dibayarnya, cicilan buku diktat kuliah yang tinggal tiga kali lagi bayar, kepastian ikut atau tidak studi banding dengan biaya paling lambat besok lusa, dan titipan salam dari Unit Seni Mahasiswa tentang kapan mengadakan acara buat tahun ini padahal dana sudah turun. Semuanya dijawab senyum. Getir.

Akumenghelanafas. Anginberhembus pelan. Aku yakin sebelum kiamat diciptakan, udara tak akan pernah habis. Sebab bagaimana kita mau mengabdipadaTuhankalautidakada udara. Bukankah perintah mengabdi pada Tuhan yang ada dalam kitabsuci itu abadi. Hal-hal sederhana yang tak perlu banyak metafora tentunya.

Cukup. Aku sudah cukup banyak memikirkan sesuatu. Termasuk perkataan Isak tadi. “Aku paham maksudmu tentang gelas tadi,” ucapku sambil menyundut rokok filter yang kuambil dari saku celana.

“Maksudmu sebenarnya masalah itu ringan, hanya saja tergantung bagaimana kita membawanya hingga masalah itu menjadi berat.

Persis seperti teori persepsi dalam Psikologi kan,” “Masih kurang tepat!” Aku semakin mengernyitkan dahi.

Semakin tertantang. Dan semakin kesal. Pasalnya selama ini sebagai tempat curahan hati dan penulis cerita, akutakpernahsalahmenebakdan menilai sesuatu. Dan aku yakin benar untuk curahan hatinya Isak kali ini.

Tiba-tiba Bu jariyah nimbrung bicara.

“Mungkin seperti ibu, Sak, yang cuma tukang nasi uduk tapi bisa menyekolahkan anak ibu sampai SMA, ya kan.” Rupanya sedari tadi Bu Jariyah ikut menyimak perbincanganku dengan Isak.

“Ah ibu ini ikut-ikut aja. Itu sih bukan masalah, tapi kemampuan dan keyakinan ibu untuk membiayai sekolah yang akhirnya terbuka jalan.” “Yah, mungkin begitu,” kata Ibu Jariyah. Ia memang tak punya alasan untuk mendebat lagi.

“Masalah itu kalau berat ya berat.

Kalau ringan ya ringan. Gelas berisi air itu juga berat sebenarnya. Hanya beratnya tak seberapa dibanding air satu dirigen atau gentong besar,” Isak menyambung lagi pembicaraannya.

Posisi duduknya berubah, membelakangi meja kemudian menyender.

Raut mukanya datar ibarat air menggenang.

Tak berubah dan keruh.

Rambut gondrongnya menghalangi mata. Ia singkapkan kemudian jatuh lagi.

**** Langit tiba-tiba keruh. Muncul kilatan- kilatan kecil. Jantungku segera berdegup kencang saat petir dari langit sana bergelegar kencang. Kencang sekali. Angin tak lagi berhembus sendirian. Jelegar petir menemaninya mengalun gemetar. Entah pertandaapa, padahalsedaritaditakadatanda- tanda akan turun hujan. Bahkan mendung pun tidak.

MahasiswayangjajandiWarungBu Jariyah sudah banyak yang datang dan pergi. Berganti-ganti. Tinggal dua orang yang masih hanyut dalam pikiranmasing- masingdanmasihbertahan.

Aku dan Isak.

Tiga kali sudah kupesan kopi. Tiga bungkus rokok sudah kutuntaskan.

Tiga kali petir bergelegar di langit. Gerimis mulai merayap turun.

Dan satu pertanyaan lagi masih belum kutuntaskan. Anehnya aku masih saja setia menemani keanehannya ini.

“Ya, berarti kau tinggal mau atau tidak mengangkat gelas itu,” “Berarti kamu meninggalkan masalah dong. Bukankah itu suatu sikap yang tidak bijak?” “Aku tinggalkan gelas saat aku masuk ruang kuliah. Begitu juga ketika aku masuk ke kamar mandi, ke kamar tidur, ke tempat main. Aku tinggalkan gelas itu di mana pun aku suka tanpa beban.”  “Dengan cara itu kau tidak merasa berat?” “Ya,” Matanya menatap rintik hujan yang semakin deras. Kakinya kemudian dinaikan ke atas meja. “Bu, pesen kopi lagi. Masukin catatan yang kemarin ya.” “Udah, biar aku aja Sak.” “Thank’s ya!” “Tenang aja, kita kan teman lama.” Aku melihatnya seperti dalam guncangan hebat. Tapi, ah, tak seperti biasanya. Dia dulu adalah temanku di Unit Lembaga Seni Mahasiswa, tapi sebulan kemudian aku keluar. Sedangkan dia meneruskan karirnya di lembaga itu hingga kini menjabat ketua umum. Dalam pandanganku ia bukan tipe pribadi yang lemah.

Ia pernah masuk bui selama seminggu gara-garamenolakkedatangan seorang Menteri ke kampus dengan berunjuk rasa bersama mahasiswa lain. Kemudian ia menghubungiku untuk meminta bantuan pembebasan karena ia tahu ayahku seorang pengacara. Tak tampak di wajahnya rautketakutan. Malahdalampandanganku terlihat sosok yang tenang dan berwibawa.

Ia begitu luwes memainkan ‘peran’ apa pun dalam situasi setegang bagaimana pun.

Tapi ironis yang kulihat sekarang.

Sebab yang tampak olehku kini ia seperti gelombang ombak dalam ember. Begitu rapuh. Begitu lunglai.

“Nah sekarang apa hubungannya analogi gelas itu dengan kamu?” Aku melanjutkan perbincangan.

Aku sudah tak ingin menyusun rencana- rencana menulis cerita.

Keadaanku sedang berada di puncak kejenuhan sebenarnya.

Mendengar pertanyaanku, ia menunduk. Tatapannya kosong.

Semua seperti berjalan mundur. Ia seolah menyaksikan dan menengok kehidupan di waktu-waktu sebelum sekarang. Ada hal yang membuatnya gusar.

“O ya aku harus ke sekretariat seni sekarang.” Ia beranjak. “Makasih ya kopinya.” “Oke kawan, santai saja.” Namun ketika ia ingin beranjak, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara memanggilnya.

“Sak, Isak.. adikmu nih nyari kamu!” Rivo kawannya di Unit Lembaga Seni Mahasiswa membawa seorang perempuan berseragam putih biru.

Kontan saja Isak terperanjat. Ia menatap Rivo dan seorang gadis belia itu dengan lekat.

“Tiara,..” ujarnya pelan. Sangat pelan.

“Sak, adikmu tadi nyari kamu ke sekretariat. Tapi kamu nggak ada di tempat. Langsung aja aku bawa dia ke sini. Soalnya kamu biasa nongkrong di sini,” jelas Rivo.

“Tiara kamu ada apa ke sini?” Tanya Isak seraya menyingkirkan rambut gondrongnya yang turun menghalangi mata karena tergerai angin.

Hujan reda tapi langit masih pucat.

Aku benar-benar menyaksikan adegan nyata itu.

“Mmm, kak, a-aku membawa ini,” Wanita berseragam putih biru itu segera mencopot tasnya kemudian mengeluarkan surat dari dalam tas.

Aku lihat di kop amplopnya tertulis identitas sekolah perempuan itu. Isak lantas membaca surat itu. Bibirnya gemetar. Badannya seperti lemas mau jatuh.

“Jadi kamu?” “Ya kak, aku dikeluarkan dari sekolah sampai ada kejelasan kapan biaya sekolah empat bulan ini bisa lunas,” Oh Tuhan, mengapa aku baru mengerti sekarang. Mengapa ia tidak lekas saja memberi tahu masalah itu. Warung Bu Jariyah semakin lengang. Hanya ada aku.

Ada Isak. Ada Tiara. Ada angin yang masih akan berhembus. Ada petir yang masih akan menggelegar Dan gelas yang ia maksud itu… ***** Di suatu subuh yang hening. Di antara derit pohon bambu dan udara yang membuat tubuh membeku.

Beban itu ternyata adalah saat nyawa tak lagi bisa menikmati dunia.

Tujuh hari sebelum perbincanganku dengan Isak, dalam sebuah rumah, di sebuah desa, Sukmidjah ibunda Isak menghela nafas untuk akhir hidupnya.

Sakit yang menggerogoti alat-alat tubuhSukmidjahsudahtaklagimampu menahan beban hidupnya. Ia hanya meninggalkan pesan seperti yang kudengar dari mulut Isak yang kelu gemetar, “Ibuku meninggalkan pesan sebelum meninggalkan kami, agar aku harus menyelesaikan kuliahku kalau aku mau buat ibuku senang di alam sana. Kemudian, ia memintaku menjaga ketiga adikku, dan benar-benar bisa membahagiakannya…” Lalu selanjutnya tak ada yang bisa menghalangiku lagi menjadi seorang penulis cerita. Walaupun ini haruskuakhiri. Sebabsemuatakharus berhenti hanya sebagai sebuah cerita.

Kepalakuhampirmeledak. Akutak tahan melihat kenyataan seperti ini.

dan aku sudah tak percaya hukum miskin dan kaya, bahwa penderitaan hanyalah milik si miskin belaka. Dunia harus kuputar. Kujungkirbalikan.

Atau, kulenyapkan saja.

Di kamar, di depan meja dengan kertas-kertas berantakan, aku membayangkan seperti ini: Sejak seseorang yang seharusnya menjadi kepala keluarga pergi entah ke mana, Isak harus menahan beban yang patah dari langit itu sendirian. Hanya sendiri.

Iatakbisamenyembunyikanbeban itu dari dirinya sendiri meski bisa saja ia tinggalkan kapan pun ia mau seperti yang ia katakan padaku. Tentang gelas itu. Lalu di kamarnya, ia pecahkan gelas-gelas di kamarnya. Seperti memecahkan kemarahannya sendiri.

Ia datangi beberapa tempat ramai.

Taman. Kota. Mall. Plaza. Kantor-kantor.

Hotel. Ia bunuhi orang-orang yang dianggapnya pantas mati dengan pecahan beling dari gelas. Nyawa- nyawa orang berhenti begitu saja di tangan Isak. Begitu juga nyawanya sendiri, harus berhenti di kamarnya yang pengap. Namun ia tak sempat membunuh adiknya sendiri yang kini menangismeratapisekujurtubuhnya yang sudah tak bernafas lagi.

Bayangkan saja, beban itu tak pernah sekalipun ia tunjukan pada siapa- siapa. Ia lepas. Ia simpan dalam gelas. Ia tutup rapat-rapat. Bahkan mungkin tak pernah ia bawa ke mana pun. Lalu kalian tahu, tibatiba saja jari-jariku kaku dan beku.

Kupaksakan menggerakan jarijariku lagi. Aku berhasil menulis beberapa kata. Bagaimana kalau tokoh Isak kuganti dengan ‘Aku’ saja. Aku yang merasakan penderitaan- penderitaannya. Bagaimana kalau ini menjadi kenyataan saja.

**** 2008-2011

Kita pernah sadar dengan cerita-cerita yang dulu pernah tertunda. Hanya dengan segelas kopi hitam pahit, asap rokok menggeliat berputar, dan angin sore berhembus pelan. Kita merayakan kegelisahan demi kegelisahan yang keluar dari
tiap bulir asap rokok kita. Dan aku, akan menuliskannya semua.

Cerpen Restu A. Putra

KAU banyak menceritakan segala peristiwa. Dan aku tak pernah benar- benar bisa memecahkannya.

Walau untuk sementara waktu, memang rongga dada kita terasa lebih lebar. Tanpa beban. Tanpa masalah.

Namun waktu terus saja berjalan.

Menghantam tubuh kita. Membuat mata kita terbuka. Dari tepi jendela, dengan mata tegang, dan hati panik bagai angin ribut, aku melihat orangorang menggoyang-goyang pagar rumahku. Aku tetap bertahan di sudut kamarku di lantai dua.

“Keluar kau penulis kurangajar!” “Pengarang sialan!” “Kembalikan nyawa kawan kami!” “Khayalan busuk!” “Kau hanya mengeksploitasi saudara- saudara kami. Dasar penipu!” Orang-orang hampir menerobos pintu pagar rumahku yang sudah kurantai gembok lapis lima. Dan dari sudut kamar dengan tubuh gemetar aku menyaksikan mereka. Lalu aku kembali ke meja. Termangu di depan kertas-kertas berserakan. Akan kuhancurkan mereka. Kubuka note book-ku. Kepalaku sepertimau pecah.

Kalian tak bisa menghalangiku.

Maka, kutulislah kalimat pertama.

**** Warung Bu Jariyah sesak. Semua pembelinya rata-rata mahasiswa.

Warung ini yang paling banyak diminati di kampusku. Dari warung Bu Jariyah inilah anak-anak muda, dan banyak aktivis mahasiswa berkumpul.

Terkadang lokasi di sekitar WarungBuJariyahyanglumayanluas itu juga digunakan untuk acara bedah buku atau forum diskusi. Tak ada aturan baku untuk jajan di Warung Bu Jariyah, kecuali hanya satu: bayar hutang tepat waktu! Dan di Warung inilah debutku sebagai penulis cerita berawal.

Sebab segala peristiwa bisa kutemukan.

Orang-orang dengan kerut dahinya, matanya yang lebam, wajah yang kusam. Persis serupa pertemuanku dengan Isak sore ini, kawanku di satu fakultas yang tibatiba bersikap aneh dan membuatku mengerutkan dahi berkali-kali.

Masih saja asap rokok yong keluar dari mulut Isak menggeliat di depan mataku. “Kamu tahu tidak kawan, kalausebuahmasalahituibarat air dalam gelas,” ujar Isak yang dari tadi ikut nongkrong di Warung Bu Jariyah. Ia tampak menyembunyikan gusarnya sambil menyeruput kopi hitam panas buatan Bu Jariyah. Memang, tak satu apa pun pernah tegak menancap di atas tanah.

“Maksudmu?” tanyaku yang duduk di sampingnya.

“Aku ingin kamu lihat gelas ini dan bayangkan, berapa berat gelas ini apabila diisi air sampai penuh,” Ia menunjuk pada gelas kosong yang ada di meja Warung Bu Jariyah.

Tampak para mahasiswa yang mampir untuk jajan sibuk dengan urusan masing-masing. Sibuk dengan obrolan masing-masing. Begitu pun aku dan Isak.

“Kalau gelasnya seukuran ini pasti enggak berat alias lumayan ringan,” jawabku sambil membayangkan gelas yang ditunjukkan Isak. Segala praduga yang menghampiri kepalaku coba kutepis. Walau akhirnya praduga itu berakhir pada kesimpulan pertama kalau ia sepertinya sedang dirundung masalah.

“Nah seperti itulah masalah. Sekarang kalau kamu berdiri dan angkat gelas berisi air itu tinggi-tinggi selama lima belas menit saja. Apa yang kamu rasakan?” Untuk sore ini sebenarnya aku ingin sebentar saja istirahat dari niat mencari ide cerita atau mengamati peristiwa-peristiwa apa pun. Aku ingin menjadi normal untuk sementara waktu. Terlalu banyak pikiranpikiran yang berjejalan dalam kepalaku.

Tapi lagi-lagi pertanyaanpertanyaan Isak ini membuatku tak bisa mengelak. Entah mengapa.

“Hmm, sepertinya lumayan tambah berat. Berat badan sekaligus berat karena kesal ngangkat-ngangkat gituan dan lagi….tak ada kerjaan….” “Sekarang paham nggak apa maksudku?” “Nggak.” Jawabku sekenanya.

“Payah!” “Yang aku tidak paham adalah apa hubungannya antara aku dengan kamu tentang pembicaraan ini?” “Lagi-lagi kau payah! Berarti kamu belum berpikir.” Isak menyomot pisang goreng panas yang baru saja Bu Jariyah hidangkan di meja.

Beberapa orang menyapaku, “Hai Septa, nongkrong aja nih!” Aku balas senyum.

Seorang lagi menanyaiku jam berapa masuk mata kuliah tambahan besok.

Kujawab singkat juga, “Dosennya tak datang!” Ada lagi wanita mendekatiku menanyakan kepastian cinta. “Septa, kamu masih mau menerimaku kan?” Segera saja kutolak mentah-mentah dan ia bersungut habis-habisan.

Dan kepada Isak hanya ada satu orang, ketua angkatan di jurusan yang menanyakan uang kas kelas yang belum dibayarnya, cicilan buku diktat kuliah yang tinggal tiga kali lagi bayar, kepastian ikut atau tidak studi banding dengan biaya paling lambat besok lusa, dan titipan salam dari Unit Seni Mahasiswa tentang kapan mengadakan acara buat tahun ini padahal dana sudah turun. Semuanya dijawab senyum. Getir.

Akumenghelanafas. Anginberhembus pelan. Aku yakin sebelum kiamat diciptakan, udara tak akan pernah habis. Sebab bagaimana kita mau mengabdipadaTuhankalautidakada udara. Bukankah perintah mengabdi pada Tuhan yang ada dalam kitabsuci itu abadi. Hal-hal sederhana yang tak perlu banyak metafora tentunya.

Cukup. Aku sudah cukup banyak memikirkan sesuatu. Termasuk perkataan Isak tadi. “Aku paham maksudmu tentang gelas tadi,” ucapku sambil menyundut rokok filter yang kuambil dari saku celana.

“Maksudmu sebenarnya masalah itu ringan, hanya saja tergantung bagaimana kita membawanya hingga masalah itu menjadi berat.

Persis seperti teori persepsi dalam Psikologi kan,” “Masih kurang tepat!” Aku semakin mengernyitkan dahi.

Semakin tertantang. Dan semakin kesal. Pasalnya selama ini sebagai tempat curahan hati dan penulis cerita, akutakpernahsalahmenebakdan menilai sesuatu. Dan aku yakin benar untuk curahan hatinya Isak kali ini.

Tiba-tiba Bu jariyah nimbrung bicara.

“Mungkin seperti ibu, Sak, yang cuma tukang nasi uduk tapi bisa menyekolahkan anak ibu sampai SMA, ya kan.” Rupanya sedari tadi Bu Jariyah ikut menyimak perbincanganku dengan Isak.

“Ah ibu ini ikut-ikut aja. Itu sih bukan masalah, tapi kemampuan dan keyakinan ibu untuk membiayai sekolah yang akhirnya terbuka jalan.” “Yah, mungkin begitu,” kata Ibu Jariyah. Ia memang tak punya alasan untuk mendebat lagi.

“Masalah itu kalau berat ya berat.

Kalau ringan ya ringan. Gelas berisi air itu juga berat sebenarnya. Hanya beratnya tak seberapa dibanding air satu dirigen atau gentong besar,” Isak menyambung lagi pembicaraannya.

Posisi duduknya berubah, membelakangi meja kemudian menyender.

Raut mukanya datar ibarat air menggenang.

Tak berubah dan keruh.

Rambut gondrongnya menghalangi mata. Ia singkapkan kemudian jatuh lagi.

**** Langit tiba-tiba keruh. Muncul kilatan- kilatan kecil. Jantungku segera berdegup kencang saat petir dari langit sana bergelegar kencang. Kencang sekali. Angin tak lagi berhembus sendirian. Jelegar petir menemaninya mengalun gemetar. Entah pertandaapa, padahalsedaritaditakadatanda- tanda akan turun hujan. Bahkan mendung pun tidak.

MahasiswayangjajandiWarungBu Jariyah sudah banyak yang datang dan pergi. Berganti-ganti. Tinggal dua orang yang masih hanyut dalam pikiranmasing- masingdanmasihbertahan.

Aku dan Isak.

Tiga kali sudah kupesan kopi. Tiga bungkus rokok sudah kutuntaskan.

Tiga kali petir bergelegar di langit. Gerimis mulai merayap turun.

Dan satu pertanyaan lagi masih belum kutuntaskan. Anehnya aku masih saja setia menemani keanehannya ini.

“Ya, berarti kau tinggal mau atau tidak mengangkat gelas itu,” “Berarti kamu meninggalkan masalah dong. Bukankah itu suatu sikap yang tidak bijak?” “Aku tinggalkan gelas saat aku masuk ruang kuliah. Begitu juga ketika aku masuk ke kamar mandi, ke kamar tidur, ke tempat main. Aku tinggalkan gelas itu di mana pun aku suka tanpa beban.”  “Dengan cara itu kau tidak merasa berat?” “Ya,” Matanya menatap rintik hujan yang semakin deras. Kakinya kemudian dinaikan ke atas meja. “Bu, pesen kopi lagi. Masukin catatan yang kemarin ya.” “Udah, biar aku aja Sak.” “Thank’s ya!” “Tenang aja, kita kan teman lama.” Aku melihatnya seperti dalam guncangan hebat. Tapi, ah, tak seperti biasanya. Dia dulu adalah temanku di Unit Lembaga Seni Mahasiswa, tapi sebulan kemudian aku keluar. Sedangkan dia meneruskan karirnya di lembaga itu hingga kini menjabat ketua umum. Dalam pandanganku ia bukan tipe pribadi yang lemah.

Ia pernah masuk bui selama seminggu gara-garamenolakkedatangan seorang Menteri ke kampus dengan berunjuk rasa bersama mahasiswa lain. Kemudian ia menghubungiku untuk meminta bantuan pembebasan karena ia tahu ayahku seorang pengacara. Tak tampak di wajahnya rautketakutan. Malahdalampandanganku terlihat sosok yang tenang dan berwibawa.

Ia begitu luwes memainkan ‘peran’ apa pun dalam situasi setegang bagaimana pun.

Tapi ironis yang kulihat sekarang.

Sebab yang tampak olehku kini ia seperti gelombang ombak dalam ember. Begitu rapuh. Begitu lunglai.

“Nah sekarang apa hubungannya analogi gelas itu dengan kamu?” Aku melanjutkan perbincangan.

Aku sudah tak ingin menyusun rencana- rencana menulis cerita.

Keadaanku sedang berada di puncak kejenuhan sebenarnya.

Mendengar pertanyaanku, ia menunduk. Tatapannya kosong.

Semua seperti berjalan mundur. Ia seolah menyaksikan dan menengok kehidupan di waktu-waktu sebelum sekarang. Ada hal yang membuatnya gusar.

“O ya aku harus ke sekretariat seni sekarang.” Ia beranjak. “Makasih ya kopinya.” “Oke kawan, santai saja.” Namun ketika ia ingin beranjak, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara memanggilnya.

“Sak, Isak.. adikmu nih nyari kamu!” Rivo kawannya di Unit Lembaga Seni Mahasiswa membawa seorang perempuan berseragam putih biru.

Kontan saja Isak terperanjat. Ia menatap Rivo dan seorang gadis belia itu dengan lekat.

“Tiara,..” ujarnya pelan. Sangat pelan.

“Sak, adikmu tadi nyari kamu ke sekretariat. Tapi kamu nggak ada di tempat. Langsung aja aku bawa dia ke sini. Soalnya kamu biasa nongkrong di sini,” jelas Rivo.

“Tiara kamu ada apa ke sini?” Tanya Isak seraya menyingkirkan rambut gondrongnya yang turun menghalangi mata karena tergerai angin.

Hujan reda tapi langit masih pucat.

Aku benar-benar menyaksikan adegan nyata itu.

“Mmm, kak, a-aku membawa ini,” Wanita berseragam putih biru itu segera mencopot tasnya kemudian mengeluarkan surat dari dalam tas.

Aku lihat di kop amplopnya tertulis identitas sekolah perempuan itu. Isak lantas membaca surat itu. Bibirnya gemetar. Badannya seperti lemas mau jatuh.

“Jadi kamu?” “Ya kak, aku dikeluarkan dari sekolah sampai ada kejelasan kapan biaya sekolah empat bulan ini bisa lunas,” Oh Tuhan, mengapa aku baru mengerti sekarang. Mengapa ia tidak lekas saja memberi tahu masalah itu. Warung Bu Jariyah semakin lengang. Hanya ada aku.

Ada Isak. Ada Tiara. Ada angin yang masih akan berhembus. Ada petir yang masih akan menggelegar Dan gelas yang ia maksud itu… ***** Di suatu subuh yang hening. Di antara derit pohon bambu dan udara yang membuat tubuh membeku.

Beban itu ternyata adalah saat nyawa tak lagi bisa menikmati dunia.

Tujuh hari sebelum perbincanganku dengan Isak, dalam sebuah rumah, di sebuah desa, Sukmidjah ibunda Isak menghela nafas untuk akhir hidupnya.

Sakit yang menggerogoti alat-alat tubuhSukmidjahsudahtaklagimampu menahan beban hidupnya. Ia hanya meninggalkan pesan seperti yang kudengar dari mulut Isak yang kelu gemetar, “Ibuku meninggalkan pesan sebelum meninggalkan kami, agar aku harus menyelesaikan kuliahku kalau aku mau buat ibuku senang di alam sana. Kemudian, ia memintaku menjaga ketiga adikku, dan benar-benar bisa membahagiakannya…” Lalu selanjutnya tak ada yang bisa menghalangiku lagi menjadi seorang penulis cerita. Walaupun ini haruskuakhiri. Sebabsemuatakharus berhenti hanya sebagai sebuah cerita.

Kepalakuhampirmeledak. Akutak tahan melihat kenyataan seperti ini.

dan aku sudah tak percaya hukum miskin dan kaya, bahwa penderitaan hanyalah milik si miskin belaka. Dunia harus kuputar. Kujungkirbalikan.

Atau, kulenyapkan saja.

Di kamar, di depan meja dengan kertas-kertas berantakan, aku membayangkan seperti ini: Sejak seseorang yang seharusnya menjadi kepala keluarga pergi entah ke mana, Isak harus menahan beban yang patah dari langit itu sendirian. Hanya sendiri.

Iatakbisamenyembunyikanbeban itu dari dirinya sendiri meski bisa saja ia tinggalkan kapan pun ia mau seperti yang ia katakan padaku. Tentang gelas itu. Lalu di kamarnya, ia pecahkan gelas-gelas di kamarnya. Seperti memecahkan kemarahannya sendiri.

Ia datangi beberapa tempat ramai.

Taman. Kota. Mall. Plaza. Kantor-kantor.

Hotel. Ia bunuhi orang-orang yang dianggapnya pantas mati dengan pecahan beling dari gelas. Nyawa- nyawa orang berhenti begitu saja di tangan Isak. Begitu juga nyawanya sendiri, harus berhenti di kamarnya yang pengap. Namun ia tak sempat membunuh adiknya sendiri yang kini menangismeratapisekujurtubuhnya yang sudah tak bernafas lagi.

Bayangkan saja, beban itu tak pernah sekalipun ia tunjukan pada siapa- siapa. Ia lepas. Ia simpan dalam gelas. Ia tutup rapat-rapat. Bahkan mungkin tak pernah ia bawa ke mana pun. Lalu kalian tahu, tibatiba saja jari-jariku kaku dan beku.

Kupaksakan menggerakan jarijariku lagi. Aku berhasil menulis beberapa kata. Bagaimana kalau tokoh Isak kuganti dengan ‘Aku’ saja. Aku yang merasakan penderitaan- penderitaannya. Bagaimana kalau ini menjadi kenyataan saja.

**** 2008-2011

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/