28 C
Medan
Thursday, November 21, 2024
spot_img

Orang Gila

Cerpen : Miftah Fadhli

Sudah tiga. Siang, pukul 12.05. Di rel yang sama. Penduduk sekitar bantalan rel berkerumun, dari atas, tampak seperti ribuan kantong sampah yang pecah berceceran di permukaan bumi. Bau tengik. Anyir. Panas seperti selimut yang berkarib dengan debu. Sepuluh menit setelah itu, polisi datang. Dua puluh menit setelahnya, mobil ambulan datang; ngiung-ngiung, membelah kerumunan kantong sampah yang pecah itu. Setidaknya perlu tiga petugas—seorang polisi, dan dua orang petugas rumah sakit—untuk mengumpulkan pecahan-pecahan tubuh itu. Kantong mayat tergeletak di samping rel, mereka harus bergegas sebab kereta selanjutnya akan datang.

Anak-anak bantalan rel sibuk memunguti kerikil yang bertebaran di sekitar rel. Berteriak. Menjerit. Saling lempar, tak peduli ada evakuasi di situ. Sebuah kerikil mengenai kepala seorang tukang sampah. Marah. Lalu mereka melarikan diri; lempar batu sembunyi tangan, semboyan yang tak asing. Saat itu memang banyak tukang sampah yang bergerobak-gerobak memarkirkan kendaraannya di samping rel.

Sekalian istirahat, mereka menyaksikan bagian-bagian tubuh itu dipungut dan disurukkan ke dalam kantong mayat. Tegang, bagai melihat pertandingan sepakbola. Ibu-ibu gembrot menyaksikan dari jauh sambil menutup hidung mereka dengan tangan—sesungguhnya bau mereka lebih tengik ketimbang potongan-potongan badan itu.
Empat puluh lima menit kemudian kereta selanjutnya lewat. Membubarkan kerumunan. Polisi dan petugas rumah sakit membelah kerumunan yang kembali ke rumah—ngiung-ngiung; anak-anak yang suka jahil mengejar mobil ambulan dan melemparinya dengan kerikil; sejam setelah itu penduduk sekitar bantalan rel tak habis-habisnya membicarakan orang gila yang bagian-bagian tubuhnya berserakan sejauh lima meter.

Di sepanjang rel itulah para penduduk ‘sederhana’ itu tinggal. Kebanyakan rumah mereka terbuat dari kardus. Kalau ada yang lebih bagus, tak lebih dari rumah yang dioplos dengan bata-bata sisa bangunan yang terbakar.
Di sepanjang gang kerdil di pemukiman anak-anak kecil mulai belajar bagaimana caranya menjambret tas ibu-ibu di pasar, atau belajar menyerampang anak-anak dari kampung sebelah dengan sandal atau kerikil. Di sepanjang gang kerdil itu juga, anak-anak belajar menjadi tikus-tikus yang suka mengerat bantalan rel, tidak jauh beda dengan bapak ibu mereka, lalu dijual kepada tukang panglong di kota. Juga lagi-lagi di sepanjang gang kerdil itu juga, anak-anak itu belajar menggodai orang-orang gila yang melintasi rel; pecahan-pecahan tubuh yang tadi itu, milik orang gila yang kemarin mereka serampang dengan kayu.

Masih terlihat bercak darah yang menutupi bantalan rel, atau jerejak kayu yang melintangi rel. Kering, telah masak sebagai kerak berwarna kecoklatan, seperti telah menyatu dengan warna besi dan kayu. Anak-anak itu masih berkerumun di situ.

Menyaksikan leleran darah kering perlahan sambil melemparinya dengan kerikil atau menyepakinya dengan pasir; kalau kereta melintas, mereka dengan segera bubar agak jauh ke samping rel, lalu memunguti kerikil dan segera melempari badan kereta yang bau besi berkarat itu.

Sebenarnya, terhitung sangat jarang kereta melintasi pemukiman padat itu. Sehari, paling hanya lima kali bahkan pernah cuma sekali. Karena pemukiman itu terletak di pinggiran bahu rel yang berkilo-kilo meter jauhnya dari stasiun, maka kereta yang melintaspun bagai lesat burung walet yang cuma bisa dilihat sekilas dengan citra yang kabur, kadang saking cepatnya, sering muncul percikapan api pada rel yang tergesek roda-roda kereta yang bergemericit itu. Jalur itu sudah tua, dan sebenarnya ada jalur baru yang jalurnya meliuk-liuk dan lebih dekat ke stasiun. Tapi beberapa masinis agak takut melewatinya sebab terhitung telah dua puluh kali terjadi kecelakaan di jalur itu, sejak pertama kali dibuka.

Masinis tidak mau ambil resiko. Lalu melesatlah mereka ke jalur yang lama; seperti kekasih yang sedang saling marah, ingin cepat bertemu akan tetapi ingin lebih cepat lagi berpisahnya—cerita lain dari jalur yang lama itu.
Dibanding jalur yang baru, jalur yang lama memang lebih aman karena didominasi oleh jalur yang lurus, atau belokan yang tumpul; meski terkadang agak was-was juga karena seratus  lima puluh meter ke depan adalah pemukiman padat penduduk; tak jarang ada penduduk yang suka menyeberangi rel meski kereta berada pada radius beberapa puluh meter sekalipun, tapi untung, sejauh ini memang tidak ada masalah selain hanya orang gila yang belakangan ini suka menyerobot jalur dan tiga di antaranya tewas. Tapi, siapa yang peduli dengan orang gila?
Setiap sore atau pukul sembilan malam memang banyak orang gila yang mendatangi pemukiman itu. Untuk sekedar mencari tempat tidur, atau beristirahat dari desing kendaraan di kota. Para penduduk sering memberikan mereka makanan basi, yang tadinya diperuntukkan untuk kucing peliharaan. Kadang beberapa orang dengan baik hati membiarkan orang-orang gila itu menginap di rumah mereka; beberapa orang gila terkadang masih mau membantu penduduk dalam hal-hal sepele seperti menyingkirkan sandal ke tempat yang lebih kering saat hujan turun, atau membantu membetulkan posisi kursi atau meja yang tak sesuai. Pagi-pagi buta, orang-orang gila itu lenyap dari tempatnya, tapi siapa yang peduli sebab sore hari mereka pasti akan kembali lagi.

Tidak hanya orang gila sebenarnya. Terkadang ada beberapa orang yang nyaris gila datang ke pemukiman itu untuk berteduh atau sekedar gelandangan berbaju lusuh yang mengais-ngais makanan di situ. Tapi, toh, semua penduduk menganggap mereka-mereka itu gila asal baju yang mereka pakai sangat jelek dan kotor atau tak memakai baju sekalipun dengan bau badan yang amat sangat busuk.

Kalau sudah dianggap gila, penduduk yang baik hati sekalipun membiarkan anak-anak mereka mengejar dan melempari orang-orang seperti itu dengan kerikil atau sampah sebab sesadar apapun mereka tapi kalau sudah gila, penduduk pikir rasa sakit sudah tak ampuh lagi karena orang gila telah hilang perasaannya, termasuk merasakan sakit sekalipun.

Beberapa orang gila memang suka mengejar, tapi tak ada penduduk yang kapok membiarkan anak-anaknya bersikap demikian karena orang gila memang punya naluri mengejar; tanpa ada perasaan sama sekali.
Masinis kereta juga tidak ambil pusing dengan orang gila. Kereta tetap tidak akan berubah kecepatannya meski orang gila tertidur nyenyak sekalipun di bantalan rel; memang ada rasa tidak enak ketika kereta melindas orang gila, tapi perasaan itu seperti anjing menggonggong kafilah berlalu. Tidak ada artinya. Masinis tidak akan menghentikan keretanya karena orang gila itu pasti akan ada yang mengurusi, ya polisi ya petugas rumah sakit. Lain lagi kalau yang tertabrak adalah penduduk setempat.

Seorang penduduk memang pernah tewas terlindas karena masinis keliru menganggapnya orang gila; kalau bukan karena teriakan histeris seorang ibu, masinis tidak akan menghentikan keretanya. Makanya, masinis yang ingin lewat jalur itu harus menyediakan teropong untuk jaga-jaga kalau ada orang yang melintasi rel; gunanya ya untuk membedakan mana orang gila mana yang cuma gelandangan.

Dari tiga orang gila yang tewas terlindas, dua di antaranya karena tidur di bantalan rel. Yang baru saja tewas adalah seorang perempuan hamil yang melintasi rel dengan mata terpejam. Tidak ada penduduk yang mau ambil pusing untuk sekedar berteriak memperingatkan kereta yang datang, apalagi membuat semacam tanda peringatan di sekitar rel. “Sia-sia,” celetuk seorang bapak, “orang gila tak pandai membaca.”

Perihal orang gila yang suka tidur di atas rel, sudah jadi pemandangan yang tak aneh bagi penduduk sekitar. Tidak ada penduduk yang mau membangunkan karena, ya itu tadi, “mereka itu orang gila, tidak mengerti bahasa manusia.” Ujar seorang gelandangan, tinggal sepuluh meter dari bantalan rel.

Pukul sebelas malam ke atas adalah waktu di mana puluhan orang gila tidur di atas rel. Berjejer-jejer seperti barisan semut mati, mencakung selayaknya udang beku. Kereta tak pernah lewat malam hari, berbahaya. Sebab selain orang gila, banyak gelandangan yang suka menjarah besi-besi rel saat malam. Tentu akan sangat sulit membedakan mana orang gila dan mana orang biasa dengan teropong, apalagi jika yang menjarah tidak hanya satu atau dua orang.
Tapi penduduk memang sudah maklum. Orang gila butuh tempat untuk tidur. Maka kalau terlalu pelit menyediakan rumah untuk para orang gila, mereka membiarkan rel menjadi tempat tinggal orang-orang gila selama beberapa jam saja, sebab kereta pertama yang akan lewat selalu pukul lima lewat sedikit.

Tapi malam itu, pukul satu pagi, terdengar bunyi kereta. Hujan turun sangat deras sehingga deru kereta dan deru hujan menyatu bagai erangan seekor monster. Orang-orang gila tidak tidur di atas rel, melainkan pindah ke tempat yang lebih hangat dan kering, agak jauh ke dalam pemukiman penduduk. Tapi, jauh di sepanjang rel, anak-anak sekitar pemukiman belum juga tidur. Seperti biasa, hujan tidak membuat nyali mereka ciut menjarah besi-besi rel tua. Gemuruh hujan juga tak membuat mereka cepat-cepat untuk menyelesaikannya, justru semakin liar bercanda dengan sesama—memercikan air hujan bagai ingus dan ludah.

Jauh, puluhan kilometer dari segerombolan anak-anak itu, masinis urung menurunkan kecepatan. Sepertinya itu kereta barang. Karena lampu lokomotif tidak berfungsi dengan baik, pandangan di depannya menjadi sangat kabur apalagi hujan menciptakan semacam kabut yang membuat penglihatan masinis agak terganggu. Masinis kereta sudah tahu reputasi jalur itu dan berpikir, bahwa hujan akan mengusir orang-orang gila itu dari rel kereta; maka, dia menambah kecepatan dan tidak membunyikan klaksonnya karena suara hujan pasti lebih besar.

Tapi beberapa kilometer ke depan, lampu lokomotif yang redup menangkap beberapa bayangan yang tak diam, mondar-mandir di tengah rel. Untuk jaga-jaga masinis membunyikan klakson namun bayangan itu tetap di situ, di tengah rel dan tak mau menyingkir. Masinis mendesah, enteng saja sebab dia pikir bayangan itu pasti orang-orang yang sangat gila yang sudah jelas tidak akan memahami hujan dan kereta.

Jadi, masinis cuma membunyikan klaksonnya sekali lagi, enteng, menyalakan rokok di mulutnya, dan agak merasa tidak enak saat keretanya melindas bayangan-bayangan itu. Tapi dengan cepat perasaan itu hilang sebab, dia juga tidak ambil pusing. Siapa yang peduli dengan orang gila?
Januari, 2011.

Cerpen : Miftah Fadhli

Sudah tiga. Siang, pukul 12.05. Di rel yang sama. Penduduk sekitar bantalan rel berkerumun, dari atas, tampak seperti ribuan kantong sampah yang pecah berceceran di permukaan bumi. Bau tengik. Anyir. Panas seperti selimut yang berkarib dengan debu. Sepuluh menit setelah itu, polisi datang. Dua puluh menit setelahnya, mobil ambulan datang; ngiung-ngiung, membelah kerumunan kantong sampah yang pecah itu. Setidaknya perlu tiga petugas—seorang polisi, dan dua orang petugas rumah sakit—untuk mengumpulkan pecahan-pecahan tubuh itu. Kantong mayat tergeletak di samping rel, mereka harus bergegas sebab kereta selanjutnya akan datang.

Anak-anak bantalan rel sibuk memunguti kerikil yang bertebaran di sekitar rel. Berteriak. Menjerit. Saling lempar, tak peduli ada evakuasi di situ. Sebuah kerikil mengenai kepala seorang tukang sampah. Marah. Lalu mereka melarikan diri; lempar batu sembunyi tangan, semboyan yang tak asing. Saat itu memang banyak tukang sampah yang bergerobak-gerobak memarkirkan kendaraannya di samping rel.

Sekalian istirahat, mereka menyaksikan bagian-bagian tubuh itu dipungut dan disurukkan ke dalam kantong mayat. Tegang, bagai melihat pertandingan sepakbola. Ibu-ibu gembrot menyaksikan dari jauh sambil menutup hidung mereka dengan tangan—sesungguhnya bau mereka lebih tengik ketimbang potongan-potongan badan itu.
Empat puluh lima menit kemudian kereta selanjutnya lewat. Membubarkan kerumunan. Polisi dan petugas rumah sakit membelah kerumunan yang kembali ke rumah—ngiung-ngiung; anak-anak yang suka jahil mengejar mobil ambulan dan melemparinya dengan kerikil; sejam setelah itu penduduk sekitar bantalan rel tak habis-habisnya membicarakan orang gila yang bagian-bagian tubuhnya berserakan sejauh lima meter.

Di sepanjang rel itulah para penduduk ‘sederhana’ itu tinggal. Kebanyakan rumah mereka terbuat dari kardus. Kalau ada yang lebih bagus, tak lebih dari rumah yang dioplos dengan bata-bata sisa bangunan yang terbakar.
Di sepanjang gang kerdil di pemukiman anak-anak kecil mulai belajar bagaimana caranya menjambret tas ibu-ibu di pasar, atau belajar menyerampang anak-anak dari kampung sebelah dengan sandal atau kerikil. Di sepanjang gang kerdil itu juga, anak-anak belajar menjadi tikus-tikus yang suka mengerat bantalan rel, tidak jauh beda dengan bapak ibu mereka, lalu dijual kepada tukang panglong di kota. Juga lagi-lagi di sepanjang gang kerdil itu juga, anak-anak itu belajar menggodai orang-orang gila yang melintasi rel; pecahan-pecahan tubuh yang tadi itu, milik orang gila yang kemarin mereka serampang dengan kayu.

Masih terlihat bercak darah yang menutupi bantalan rel, atau jerejak kayu yang melintangi rel. Kering, telah masak sebagai kerak berwarna kecoklatan, seperti telah menyatu dengan warna besi dan kayu. Anak-anak itu masih berkerumun di situ.

Menyaksikan leleran darah kering perlahan sambil melemparinya dengan kerikil atau menyepakinya dengan pasir; kalau kereta melintas, mereka dengan segera bubar agak jauh ke samping rel, lalu memunguti kerikil dan segera melempari badan kereta yang bau besi berkarat itu.

Sebenarnya, terhitung sangat jarang kereta melintasi pemukiman padat itu. Sehari, paling hanya lima kali bahkan pernah cuma sekali. Karena pemukiman itu terletak di pinggiran bahu rel yang berkilo-kilo meter jauhnya dari stasiun, maka kereta yang melintaspun bagai lesat burung walet yang cuma bisa dilihat sekilas dengan citra yang kabur, kadang saking cepatnya, sering muncul percikapan api pada rel yang tergesek roda-roda kereta yang bergemericit itu. Jalur itu sudah tua, dan sebenarnya ada jalur baru yang jalurnya meliuk-liuk dan lebih dekat ke stasiun. Tapi beberapa masinis agak takut melewatinya sebab terhitung telah dua puluh kali terjadi kecelakaan di jalur itu, sejak pertama kali dibuka.

Masinis tidak mau ambil resiko. Lalu melesatlah mereka ke jalur yang lama; seperti kekasih yang sedang saling marah, ingin cepat bertemu akan tetapi ingin lebih cepat lagi berpisahnya—cerita lain dari jalur yang lama itu.
Dibanding jalur yang baru, jalur yang lama memang lebih aman karena didominasi oleh jalur yang lurus, atau belokan yang tumpul; meski terkadang agak was-was juga karena seratus  lima puluh meter ke depan adalah pemukiman padat penduduk; tak jarang ada penduduk yang suka menyeberangi rel meski kereta berada pada radius beberapa puluh meter sekalipun, tapi untung, sejauh ini memang tidak ada masalah selain hanya orang gila yang belakangan ini suka menyerobot jalur dan tiga di antaranya tewas. Tapi, siapa yang peduli dengan orang gila?
Setiap sore atau pukul sembilan malam memang banyak orang gila yang mendatangi pemukiman itu. Untuk sekedar mencari tempat tidur, atau beristirahat dari desing kendaraan di kota. Para penduduk sering memberikan mereka makanan basi, yang tadinya diperuntukkan untuk kucing peliharaan. Kadang beberapa orang dengan baik hati membiarkan orang-orang gila itu menginap di rumah mereka; beberapa orang gila terkadang masih mau membantu penduduk dalam hal-hal sepele seperti menyingkirkan sandal ke tempat yang lebih kering saat hujan turun, atau membantu membetulkan posisi kursi atau meja yang tak sesuai. Pagi-pagi buta, orang-orang gila itu lenyap dari tempatnya, tapi siapa yang peduli sebab sore hari mereka pasti akan kembali lagi.

Tidak hanya orang gila sebenarnya. Terkadang ada beberapa orang yang nyaris gila datang ke pemukiman itu untuk berteduh atau sekedar gelandangan berbaju lusuh yang mengais-ngais makanan di situ. Tapi, toh, semua penduduk menganggap mereka-mereka itu gila asal baju yang mereka pakai sangat jelek dan kotor atau tak memakai baju sekalipun dengan bau badan yang amat sangat busuk.

Kalau sudah dianggap gila, penduduk yang baik hati sekalipun membiarkan anak-anak mereka mengejar dan melempari orang-orang seperti itu dengan kerikil atau sampah sebab sesadar apapun mereka tapi kalau sudah gila, penduduk pikir rasa sakit sudah tak ampuh lagi karena orang gila telah hilang perasaannya, termasuk merasakan sakit sekalipun.

Beberapa orang gila memang suka mengejar, tapi tak ada penduduk yang kapok membiarkan anak-anaknya bersikap demikian karena orang gila memang punya naluri mengejar; tanpa ada perasaan sama sekali.
Masinis kereta juga tidak ambil pusing dengan orang gila. Kereta tetap tidak akan berubah kecepatannya meski orang gila tertidur nyenyak sekalipun di bantalan rel; memang ada rasa tidak enak ketika kereta melindas orang gila, tapi perasaan itu seperti anjing menggonggong kafilah berlalu. Tidak ada artinya. Masinis tidak akan menghentikan keretanya karena orang gila itu pasti akan ada yang mengurusi, ya polisi ya petugas rumah sakit. Lain lagi kalau yang tertabrak adalah penduduk setempat.

Seorang penduduk memang pernah tewas terlindas karena masinis keliru menganggapnya orang gila; kalau bukan karena teriakan histeris seorang ibu, masinis tidak akan menghentikan keretanya. Makanya, masinis yang ingin lewat jalur itu harus menyediakan teropong untuk jaga-jaga kalau ada orang yang melintasi rel; gunanya ya untuk membedakan mana orang gila mana yang cuma gelandangan.

Dari tiga orang gila yang tewas terlindas, dua di antaranya karena tidur di bantalan rel. Yang baru saja tewas adalah seorang perempuan hamil yang melintasi rel dengan mata terpejam. Tidak ada penduduk yang mau ambil pusing untuk sekedar berteriak memperingatkan kereta yang datang, apalagi membuat semacam tanda peringatan di sekitar rel. “Sia-sia,” celetuk seorang bapak, “orang gila tak pandai membaca.”

Perihal orang gila yang suka tidur di atas rel, sudah jadi pemandangan yang tak aneh bagi penduduk sekitar. Tidak ada penduduk yang mau membangunkan karena, ya itu tadi, “mereka itu orang gila, tidak mengerti bahasa manusia.” Ujar seorang gelandangan, tinggal sepuluh meter dari bantalan rel.

Pukul sebelas malam ke atas adalah waktu di mana puluhan orang gila tidur di atas rel. Berjejer-jejer seperti barisan semut mati, mencakung selayaknya udang beku. Kereta tak pernah lewat malam hari, berbahaya. Sebab selain orang gila, banyak gelandangan yang suka menjarah besi-besi rel saat malam. Tentu akan sangat sulit membedakan mana orang gila dan mana orang biasa dengan teropong, apalagi jika yang menjarah tidak hanya satu atau dua orang.
Tapi penduduk memang sudah maklum. Orang gila butuh tempat untuk tidur. Maka kalau terlalu pelit menyediakan rumah untuk para orang gila, mereka membiarkan rel menjadi tempat tinggal orang-orang gila selama beberapa jam saja, sebab kereta pertama yang akan lewat selalu pukul lima lewat sedikit.

Tapi malam itu, pukul satu pagi, terdengar bunyi kereta. Hujan turun sangat deras sehingga deru kereta dan deru hujan menyatu bagai erangan seekor monster. Orang-orang gila tidak tidur di atas rel, melainkan pindah ke tempat yang lebih hangat dan kering, agak jauh ke dalam pemukiman penduduk. Tapi, jauh di sepanjang rel, anak-anak sekitar pemukiman belum juga tidur. Seperti biasa, hujan tidak membuat nyali mereka ciut menjarah besi-besi rel tua. Gemuruh hujan juga tak membuat mereka cepat-cepat untuk menyelesaikannya, justru semakin liar bercanda dengan sesama—memercikan air hujan bagai ingus dan ludah.

Jauh, puluhan kilometer dari segerombolan anak-anak itu, masinis urung menurunkan kecepatan. Sepertinya itu kereta barang. Karena lampu lokomotif tidak berfungsi dengan baik, pandangan di depannya menjadi sangat kabur apalagi hujan menciptakan semacam kabut yang membuat penglihatan masinis agak terganggu. Masinis kereta sudah tahu reputasi jalur itu dan berpikir, bahwa hujan akan mengusir orang-orang gila itu dari rel kereta; maka, dia menambah kecepatan dan tidak membunyikan klaksonnya karena suara hujan pasti lebih besar.

Tapi beberapa kilometer ke depan, lampu lokomotif yang redup menangkap beberapa bayangan yang tak diam, mondar-mandir di tengah rel. Untuk jaga-jaga masinis membunyikan klakson namun bayangan itu tetap di situ, di tengah rel dan tak mau menyingkir. Masinis mendesah, enteng saja sebab dia pikir bayangan itu pasti orang-orang yang sangat gila yang sudah jelas tidak akan memahami hujan dan kereta.

Jadi, masinis cuma membunyikan klaksonnya sekali lagi, enteng, menyalakan rokok di mulutnya, dan agak merasa tidak enak saat keretanya melindas bayangan-bayangan itu. Tapi dengan cepat perasaan itu hilang sebab, dia juga tidak ambil pusing. Siapa yang peduli dengan orang gila?
Januari, 2011.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/